Selasa, 23 Desember 2014

Dunia Batin Orang Jawa: Telaga Jernih yang Luas

Dulu, para sepuh sempat menganalogikan dunia batin dan kehidupan orang Jawa dengan arif dan cantik. Konon, apabila digambarkan secara simbolis, dunia batin orang Jawa diibaratkan sebuah telaga yang luas dan dalam. Airnya tenang, jernih. Sejak berabad-abad lalu bermacam-ragam flora dan fauna hidup di dalamny. Seperti lumut, ganggang, cacing, ikan, ketam, anggang-anggang, ular, dan lain-lain. Termasuk juga, mungkin makhluk-makhluk berbadan halus. Karena letaknya dilereng gunung, dikelilingi hutan, udaranya sejuk, maka siapapun yang dating akan jadi merasa tenang, nyaman, dan kerasan.

Setelah nemoni rejaning jaman (menemukan kesejahteraan zaman) dan lingkungan itu berkembang menjadi kawasan wisata, tidak mengherankan jika banyak wisatawan yang berkunjung kesana. Ada yang jalan kaki mengelilingi telaga. Ada yang menyempatkan diri bersampan dan memancing ikan dengan riang gembira. Jika yang ada ingin berenang, silahkan saja asal sudah pandai berenang dan paham terhadap tabiat iklim, cuasa, air, dan seluk beluk telaga, baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Sebab jika tidak, akan sangat berbahaya lantaran te;aga ini cukup dalam. Kalau sampai tenggelam akibatnya sangat fatal. Besar kemungkinan, dia hanya akan kembali ke permukaan (mengapung) beberapa waktu kemudian setelah menjadi mayat. Artinya, pulang tinggal nama!

Renung Senja #24

Ada seorang dengan pengetahuan mumpuni. Ia berwawasan luas, tahu sepak bola, pakar di bidang hukum, ahli srategi politik, dari soal pendidikan hingga ekonomi kapitalis, dari wacana kebangsaaan hingga penipuan global. Tampaknya ia menjadi pusat informasi dari segala pengetahuan yang ia kuasai. Ia adalah model dari orang yang tahu banyak tentang banyak hal.

ia dikasih Tuhan rahmat berupa ingatan tajam, kuat, dhobid, sehingga tidak perlu ia belajar berjam-jam. Ia dengan kelebihannya, mampu hafal segala akses informasi hanya dari hitungan menit. Ia lebih dari Yudi Lesmana, pemuda Indonesia yang mendapat gelar Grand Master of Memory dari Malaysia itu. Jika  Yudi Lesmana mampu hafal 880 digit angka dalam waktu satu jam, ia (sebu saja namanya Abdun) mampu hafal 1000 digit angka dalam waktu setengah jam.

Pun juga itu, ia ‘disidak’ banyak orang lantaran ke-wawasan pengetahuannya. namun, rasanya tidak fair karena beberapa orang mengeksploitasinya demi tendensi dan tujuannya masing-masing.
Beberapa kali ia diminta untuk pasang badan demi membela ‘kepentingan’ orang. Ia begitu baik, begitu lugu, begitu jujur, hingga semua ‘syahadat’ kebaikannya dieksploitir, dimanipulir, oleh orang-orang yang punya ambisi dan niat tertentu.

Kasihan. Ia menjadi lilin semua ruang, menerangi dan memberi cahaya ditengah kegelapan. Ia memancar benderang dikebutaan malam. Tapi malam maupun gelap tidak peduli, untuk sejenak saja menoleh, menengok, pada cahayanya yang memancar yang membuat dirinya meleleh meninggalkan bekas keredupan.

Ia tidak terekam oleh tinta sejarah. Ia pernah mengatakan “ Saya tidak peduli tidak ditulis oleh sejarah, karena saya yang menulis sejarah”. Sejarah hanya ditulis oleh mereka yang menang. Dan arti kemenangan buat dia adalah justru menghilangkan dirinya dalam cetakan-cetakan sejarah yang dibaca orang.

Ia tidak pernah dikenal orang. Ia mengutuk filsafat eksistensialisme. Dimana orang sibuk hati dan fikirannya untuk berlomba-lomba menegakkan kepala demi tertancap eksistensi kepribadiaanya—maupun prestasi-prestasi hidupnya.

ia melebur dalam konsep tauhid. Garis lurus vertikal menembus cakrawala langit tujuh. Ia melakukan banyak hal, mengurai pemahaman atas kebodohan nasional maupun universal, terjun ke parit, merangkul mereka yang terjerembab, mengajak untuk percaya diri, berani menghadapi segala kemungkinan kebobrokan dunia, membuat lingkaran-leingkaran yang penuh kemesraan dan cinta. Ia lakukan semua itu atas dasar perintah Tuhan. Karena sesungguhnya manusia adalah khalifatullah fil ard.

Kata ikhlas dan tulus tidak mampu menakar apa yang sudah ia lakukan. Karena sesungguhnya manusia lebih besar, lebih tinggi, dari derajat keduanya. Dunia menjadi enteng, ringan, karena dunia hanya sebesar kerikil yang berada digenggaman.

Yang besar adalah Allah. Yang tertinggi adalah Allah. Allah maha detail atas segala sesuatu. Allah maha mesra, maha romantis, dari segala kisah roman yang ditulis oleh sejarah manusia.

Ikhlas itu tidak ada. Yang ada hanyalah kemurnian. Kebaikan ya kebaikan. Kemulyaan ya kemulyaan. Anda menolong orang kecelakaan di jalan itu adalah kebaikan. Sedekah adalah kebaikan. Tidak usah menuntut ganjaran, pahala, balasan, dari semua kebaikan yang sudah anda lakukan—termasuk balasan dari Tuhan.

Jika Tuhan berbaik hati membalas atas kebaikan yang anda lakukan, itu adalah romantisme kemesraan. Tuhan tahu bahwa manusia itu lemah, tidak kuatan hatinya, maka Tuhan menghibur hati manusia dengan memberi balasan terhadap kebaikannya. Apapun bentuk dan modusnya. Satu kebaikan dibalas sepuluh ganjaran, jika engkau mendekat ke Tuhan dengan berjalan, maka Ia mendekatimu dengan berlari. Jika engkau menyapa Tuhan dengan senyuman, maka ia menyapamu dengan ribuan rahmad dan kecintaan.

Selasa, 18 November 2014

Bertapa demi mereka


Alhamdulillah, sampai saat ini aku tidak pernah menawar-nawarkan diri. Apalagi mendaulat bahwa seluruhnya yang aku hasilkan, tidak lain adalah karena jasaku, karena perjuanganku. 

Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari ke-Aku-an, aku berlindung kepadaMu dari kesombongan-kesombongan. Kesombongan niat, kesombongan perilaku, maupun kesombongan ilmu.
____
Enam sampai tujuh anak sampai hari ini masih istiqomah mengaji. Mereka nglalar hafalan, duduk tenang, lisannya tiada henti membaca ayat-ayat, ada keikhlasan dan ketulusan untuk mau ‘dibimbing’, pikirannya kokoh. Mereka sunyi diantara binar-binar keramaian, mereka anteng

Mereka dibimbing, tapi tidak oleh seorang guru. Mereka diajari, disinauni, diijazahi, tapi tidak oleh seorang Kyai. 

Jadi, bertapalah kalian untuk TuhanMu. Aku Tanya, siapakah yang meniup hatimu, yang mengerakkan lisanmu, yang mengantarkan kakimu untuk mau nggembol mushaf, untuk tidak terlena oleh gegap gempitanya kenikmatan dan kemalasan..?  

Dan aku bukanlah siapa-siapa. Aku datang hanya untuk sekedarnya. Sejenak menemani saja, dan esok aku sudah menghilang entah kemana.  

Renung Senja #23

Aku ingin mengatakan bahwa tetaplah menjadi dirimu sendiri. Engkau berdaulat atas sikap dan prinsipmu, engkau merdeka atas segala jeratan dan aturan-aturan. Ini bukan pembelaan apalagi pembenaran mengenai sikap dan perilaku. Tapi merupakan idealitas tentang arti hidup, kemandirian lelaku, dan pijakan berpikir. 

Lihatlah matahari, yang bersinar setiap pagi. Lalu tenggelam kembali saat gelap mulai menanti. Nah, hiduplah seperti alam. Hidup bukan karena kamu berani atau takut, tidak karena kamu sedih atau bahagia, apalagi kamu tergeletak karena penderitaaan. Jangan kamu meletakkan hidup hanya atas keberanian, ketakutan, penderitaan, atau kebahagiaan. ‘Mereka’ semua hanyalah ‘anak buah’, kamulah yang sesungguhnya ‘ketuanya’. 

Penderitaan pun, kalau diolah dan dimanage sedemikian rupa akan menjadi berkah. Dalam momentum tertentu justru kemudahan akan diperoleh melalui penderitaan. Jadi, penderitaan itu baik.  

Renung Senja #22

Kalau kamu menirukan kokok ayam, sadarlah bahwa kamu bukan ayam. Maka, kalau kamu menafsirkan ayat-ayat Tuhan, ingatlah kamu itu bukan Tuhan. 
 
Maka, jangan berdebat tentang Tafsir. Yang paling benar mengenai kebenaran itu sendiri hanyalah Tuhan. 

Kita bisa lebih cair dan saling menghargai. Silahkan anda memahami dan meyakini hakikat ilmu seperti itu, dan saya pun demikian.

Renung Senja #21

“bener durung mesthi pener, salah durung mesthi kalah, becik bisa kuwalik”. Benar belum tentu tepat, salah belum tentu kalah, baik dapat terbalik. 
 
Ngene lho rek, lek prasaku setiap kebenaran belum tentu tepat ketika digunakan pada konteks yang berbeda. Misalnya, ngaji itu baik. Tetapi menjadi buruk ketika kamu ngaji, sedang disebelahmu ada temanmu meringik sakit gigi. 

Sederhana tho.

Kira-kira, siapakah yang paling didengar Allah? Suaramu yang mengaji ataukah ringikan temanmu yang sakit gigi?  

Rabu, 12 November 2014

Renung Senja #20

Idealnya, pemahaman mengenai suatu hal adalah ketika anda mampu berpikir komprehensif, meyeluruh, memutari persoalan dari multi sudut pandang yang berbeda-beda. Anda makan tempe, ingatlah bahwa tempe tidak hanya sekedar tempe. Tumbuhkan kesadaran bahwa ketika anda makan tempe, anda harus ingat kedelainya, ingat petani yang menanam kedelai, ingat pabrik tempe, ingat perputaran ekonomi pasar, ingat ekspor impor tempe, semuanya. Satu objek tentang tempe, anda menemukan banyak hal tentang apa saja.

Jadilah orang yang tahu banyak tentang banyak hal. Nah, anjuran maupun idealitas cara berpikir yang demikian sangat sukar ditemukan di kampus, di bangku kuliah, dengan para akademisi, dengan para professor, dengan para doktor.


Berpikirlan mandiri.

Renung Senja #19

Apakah kita berani memastikan diri bahwa esok hari kita masih hdup. Apakah dengan frame ilmu kita, pengalaman-pengalaman kita, gelar akademis kita, dan apapun saja, kita berani memastikan bahwa semenit kemudian, satu jam kemudian, hingga esok hari, kita masih diperkenankan menghirup nafas oleh Tuhan.

Apakah kita bisa tahu apa yang akan terjadi satu jam kemudian. Apakah kita mampu membaca situasi mengenai apa saja esok hari.

Hidup adalah ketidakpastian. Kita bisa merancang sesuatu jauh-jauh hari, namun apakah bisa memastikan itu semua bisa terjadi. Kita bisa mengatur management, sikap hidup, teknis kegiatan, implementasi teori-teori, dan apapun saja. Namun apakah kita bisa menjamin bahwa aturan-aturan yang sudah kita ciptakan, akan benar-benar terjadi sesuai dengan kehendak kita.
Maka hidup itu tidak pasti, hidup itu seperti malam hari. Gelap, kita butuh lentera untuk menerangi jalan.

Dan lentera itu ada dalam Qalbumu sendiri.  


Renung Senja #18

Jika engkau sedang bertahajjud, jangan lantas merasa tinggi dengan temanmu yang tertidur pulas. Bisa jadi, temanmu yang tertidur pulas itu lebih ikhlas hatinya, lebih patuh kepada Ibu bapaknya, lebih tulus pengabdiaanya kepada Tuhannya.

Bilamana engkau sedang berpuasa, rendah dirilah kepada sesama. Siapa tahu temanmu yang tidak berpuasa itu lebih tawadhu’ sikapnya, lebih rajin belajarnya, lebih keras perjuangannya.
Tirakatmu, ibadahmu, lelakumu, puasa serta shalat-shalatmu, biarkan dirimu dan Tuhanmu yang tahu.  

Selasa, 11 November 2014

Islam, Arab, Dan Ndungo Coro Jowo

Islam adalah agama yang dibawa Rasulullah, dimana ajarannya, konstelasi kehidupan mengenai tauhid dan apa saja diturunkan di Tanah arab. Akses kebudayaan, kehidupan social, dan apapun saja tidak bisa terlepas dari kultural teritorial yang disebut tanah arab. Cara berpakaianya, bahasa komunikasinya, adat budayanya, misuh serta guyonannya, cara berpikir mengenai Tuhan dan sebagainya Tanah arab menjadi landasan utama ketika orang harus dan akan menafsirkan Islam sebagai agama, sebagai ajaran. 
 
Islam dan tanah arab, mengapa diturunkan di tanah tandus dan gersang. Mengapa tidak diturunkan di Yunani atau Romawi. Keduanya merupakan pusat peradaban ilmu, peradaban filososi, peradaban pengetahuan. 

Terima kasih atas Nurun ala nur-nya

Memejamkan mata, berusaha mendengar apa yang tak bisa didengar. Keramaian berkata “hanya sunyi yang mengajarkan agar kita tak mendua”. 
 
Memejamkan mata, mentransformasikan materi ke dalam cahaya. Seluruh hal mengenai perempuan, apakah wajahnya, gerak kakinya, bibirnya, matanya, telinganya, tangannya, hingga akal dan hatinya adalah materi. Allah memahatnya sedemian indah apa-apa yang ada dalam diri perempuan. Mengapa perempuan begitu indah. Karena ia mewakili keindahan Tuhan, sedang laki-laki hanya berusaha menafsirkan keindahan itu. Laki-laki yang kelewat batas, akan mengeksploitir keindahan itu menjadi nafsu, syahwat yang tiada habis-habisnya. 
 
Memejamkan mata, mentransformasikan materi ke dalam cahaya. Mushaf al Quran itu materi. Hanya beberapa lembaran-lembaran kertas, tinta-tinta hitam, produk ekonomi yang diperjual belikan, yang memenuhi rak-rak toko buku dan masjid-masjid, dimana Mushaf al Quran dipajang sedemikian rupa. Hanya sekedar mempertimbangkan kepantasan agama. Masak di toko buku dan masjid ndak ada Mushaf al Qur’an. Namun, dimanipulir sedemikian rupa, al Qur’an tidak kehilangan cahayanya. Ia memancar dalam qalbu manusia yang mendapat hidayahNya. 
 
Perempuan yang membaca al Qur’an, adalah titik temu peradaban yang tidak akan pernah dipahami oleh mereka yang tertutup hatinya, menuhankan syahwat sebagai kebahagiaan. 
 
Perempuan yang membaca al Qur’an. Pertemuan agung antara keindahan dan cahaya. Apa yang tidak indah dalam diri perempuan. Ada kecantikan jasad, tubuhnya, kakinya, tangannya, bibir dan semuanya. Pun kecantikan rohani. Halusnya perasaan, kelembutan sifat, ketulusan pengabdian, manisnya senyuman, kebaikan akhlak, kebenaran etika serta moral, ia melampaui batas keniscayaan dimana laki-laki tidak bisa berbuat apa-apa dengan perempuan kecuali dua hal. Mengeksploitasinya ataukah membuatnya bercahaya. 
 
Maka, Perempuan yang membaca al Qur’an, adalah pencaran cahaya diatas cahaya. Nurun ‘ala nur. Memancar terang benderang menuju langit, nylorot bersama gelombang keabadian dimana mereka akan disambut para malaikat sebagai bidadari-bidadari surga. 
 
Aku rela duduk lama, bahkan hingga shubuh pun. Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun tahun aku mau. Aku tak menuntut apa-apa, tak meminta macam-macam. Aku sangat berterima kasih, bersyukur atas karunia dan rahmad karena bersama kalian, aku merasakan pencaran sinar, nurun ala nur. 
 
Aku berdoa kepadamu wahai kalian yang memancarkan sinar ; semoga dipertemukan kembali, semoga selalu bertaburan nur, siapa saja yang berpapasan denganmu merasa senang, siapa saja yang berada didekatmu merasa tenang dan aman, siapa saja yang akan memarahimu menjadi lunak hatinya. Karena wajahmu, berbicaramu, gerak langkah kaki serta tanganmu, perasaanmu, semua yang ada dalam dirimu itu adalah NURUN ‘ALA NUR. Cahaya diatas cahaya. 
 
Kelak, semoga aku ingat coretan ini harus kuberikan kepada kalian. Tidak untuk sekarang, belum waktunya, Allah belum kasih momentumnya.
__Anshofa, 29 September 2014/04 Dzulhijjah 1435 H__

350 Tahun Indonesia dijajah ?

Mat Gobleh nyruput wedang jahenya, malam ini ia memang sengaja tidak pesen kopi seperti malam-malam biasanya. Pagi hari ia sambatan, misuh-misuh, ada yang tidak beres dengan perutnya. Praktis, seharian penuh ia mlungker. Perutnya sedang tidak bersahabat rupanya, ia terkena asam lambung. Over dosis karena terlalu banyak minum kopi. 

Jumat, 10 Oktober 2014

Tuhan tidak Pakai Sandal Nak


Di sebuah lembah rumput yang luas itu, seorang pengembala kambing yang masih sangat belia usianya sedang mengawasi ratusan kambing-kambingnya. Ia, seperti halnya anak-anak yang lain setiap sore mengembalakan kambing milik penduduk, ketika senja ia pulang dengan kambing-kambingnya. Dan ia mendapatkan upah atas pekerjaannya. Mengembalakan kambing yang berjumlah ratusan itu, ia tidak sendiri. ia ditemani seekor anjing. Ia menamani ‘sahabat’ karibnya itu; Rathmir. 

Ayahnya seorang pedagang, menjelelajah satu negeri ke negeri yang lain bersama para khabilah. Hampir separuh hidupnya dihabiskan untuk mengembara. Ia jarang bertatap dengan putranya. Sedang ibunya sudah berpulang dan tidak akan pernah kembali untuk sekedar menyapa anaknya. 

Senin, 07 Juli 2014

Rakyat Indonesia yang ‘njawani’

Jika Clifford Geertz mengklasifikasi masyarakat Jawa dengan santri, abangan, dan priyayi, mungkin sebagai orang Jawa kita akan mempertanyakan dan berpendapat lain. Mengapa yang dimunculkan hanya tiga strata, dan tidak lebih? Sebab, dengan tiga penggolongan saja, realitasnya tidak cukup dan tidak lengkap. Ada satu golongan lagi yang keberadaannya belum atau justru sengaja tidak dimunculkan ke permukaan.

Dalam konteks kehidupan Islam di Jawa, pengelompokan santri dan abangan bisa diterima. Dimana santri adalah mereka yang mengamalkan syariat Islam dengan baik, sementara abangan adalah para pemeluk Islam yang belum atau tidak melakukan syariat dengan baik. Sedangkan yang disebut priyayi, adalah mereka yang memiliki kedudukan terhormat dalam masyarakat di masa lalu, seperti golongan pegawai negeri, pamong praja, dan lain-lain. Menurut bausastra (kamus) bahasa Jawa, priyayi mempunyai arti lebih spesifik lagi. Yaitu, kalangan bangsawan, pejabat istana, keturunan raja maupun penguasa kerajaaan. Pendeskripsian ini dapat dipahami karena munculnya golongan priyayi hanyalah di masa aristokrasi, bukan setelah kemerdekaan Indonesia atau masa demokrasi.

Manusia Jawa dan Unen-Unenya


Unen-unen / Paribahasa Jawa yang sampai saat ini melekat dan menjadi acuan masyarakat Jawa diklasifikasikan sebgai berikut :
1.       Adat Tradisi
·         Desa mawa cara negara mawa tata (desa mempunya aturan tersendiri, negara mempunyai tatanan tersendiri)
·         Kayak kali ilang kedunge, pasar ilang kumandhange (seperti sungai kehilangan lubuk, pasar kehilangan gaungnya)
·         Wong jowo nggone semu, sinamung ing samudono sesadone ing adu manis (sifat orang jawa cenderung semu/terselubung, menutup diri dengan kata-kata tersamar, masalah apapun dihadapi dengan muka manis)

Rabu, 25 Juni 2014

Perempuan dan Keindahan


Mengapa perempuan begitu indah? Karena ia mewakili keindahan Tuhan. Sedang, laki-laki hanya dititipi ilmu untuk menafsiri keindahan perempuan tersebut. 

Apa tafsiranmu mengenai estetika keindahan yang ada dalam diri perempuan? Dimanakah puncak keindahan yang kau lihat? Rasa batin yang bagaimanakah tatkala sudah kau cerna keindahan itu? 

Apakah keindahan yang kau lihat merupakan sebuah cahaya? Ataukah frekuensi nafsu? Ataukah gelombang rasa yang memuncaki seluruh pengetahuanmu mengenai ciptaan Tuhan? 

Desiran hatimu yang terkuak karena keindahan, yang lalu kau manifestasikan dengan hasrat cinta, demikiankah keindahan yang kau maksud? Bayangan nakal, lamunan kosong, gerak hati yang kemudian kau impikan menjadi cita-cita suci, itukah keindahan yang sebenarnya menurut dirimu? 

Setiap detail dari perempuan yang kau lihat misalnya, dari wajahnya, lentik jarinya, halus kulitnya, semlohai bodinya, lurus rambutnya, putih kulitnya, dari seluruh biologisitas fisik perempuan itu, kau sebut keindahan. apakah itu yang kau maksud? 

Atau, kerohanian yang kau maksud. Kelembutan hatinya, perangainya, halus perasaannya, keibuan sifatnya, kefemininan jiwanya, benarkan itu yang bernama keindahan, perhatian tulus dan ikhlasnya terhadap suami dan anak-anaknya, pengorbanan absolutnya sebagai hamba Tuhan, aha..itukah keindahan yang kau inginkan? 

Kau mencari, menta’wil, segala hal mengenai indah, keindahan, meng-indahkan, sedang kau sendiri tak tahu sesungguhnya kau sebagai manusia sudah begitu indah. 

Di warung-warung kopi, di cafe-cafe, di lobi-lobi hotel, di rumah sakit, di bisokop, di pameran-pameran busana, di emperan gang jam 12 malam, dan dimanapun saja,  perempuan dengan keeksotikan dan keindahannya bertaburan tiada habis diterpa era, kurun dan zaman. 

Obrolan kaum lelaki di manapun saja, hampa dan kosong rasanya jika tidak mengusung tema mengenai perempuan. Haihata, kau disudah diperbudak oleh ‘keindahan’ bisu. 

Perempuan yang indah. Mau mengeskpolitirnya ataukah mengambil hikmahnya? 

Warung Prink, 18 Juni 2014