Senin, 16 September 2013

Ahmad Ma’arif


Di altar ruang tamu pesantren, tepatnya aku ngobrol panjang dengan kawan lama. Kawan sepesantren dulu. Satu kamar, satu komplek. Ia asli Tuban. Tubuhnya dempal, gagah, fanatic dengan bahasa inggris, namun tak juga pernah ia mahir dengan bahasa asing itu.  
Ia sudah khatam tiga puluh juz. Seperti kewajiban santri yang sudah khatam pada umumnya, ia pun menjadi badal. Suatu amanat Kyai untuk momong para santri dalam hal bacaan, fashohah, dan setoran hafalan. Tapi, yang kulihat ia tidak bahagia, tidak menikmati keasyikannya menjadi badal. Walau berat hati, ia tetapkan hatinya untuk istiqomah nyimak ba’da shubuh.

“ Ting, aku tak pernah meminta untuk diangkat menjadi badal. Tak pernah kuminta itu. tapi mengapa mereka teteap saja memberi amanah berat ini kepadaku “ curhat ia pada suatu hari.

yo wes dilakoni wae. Kowe kan sudah khatam.  Emang kenapa to?” tanyaku

“ emmmm…ini sudah lama aku nahan hati Ting. Ada perasaan berdosa, ndak pantas, rasanya aku seperti dihantam palu malaikat. Aku seperti tak punya wajah. aku dadi munafik Ting”

Aku tak tahu apa maksudnya ia berkata seperti itu. seperti ada sesuatu yang ia tahan, namun tak berani mengatakannya dengan jujur. Ma’arif, begitu namanya, santri apa adanya, loman kepada sesama.

Yang kutahu, anak-anak yang sudah khatam memang diberikan ijazah dari Kyai untuk ikut ngramut para santri yang masih dalam tahap binnadhar, dan tahfidh. Mendapat ijazah seperti ini tidaklah gampang. Disamping harus khatam tiga puluh juz, masih harus tashih minima tiga kali serta membaca tiga puluh juz di masjid dengan disimak para asatidz. Mereka yang lulus diapresiasi dan tentunya mendapat kepercayaan dari Kyai. Suatu kebanggaan tentunya.
Kurasakan memang, sebuah perjuangan, membutuhkan istiqomah, kesabaran ketika mengahafal al Qur’an. huruf demi huruf, satu dua ayat, surat, juz. Hingga puncaknya, mereka yang khatam akan diwisuda dan dibaiatul huffadh.

Ada keasyikan, perjuangan, kelelahan, jengkel, ketdakpuasan, dalam semua proses itu. Juga semacam kebahagiaan tiada terkira yang sulit diungkapkan dengan kata. Aku kangen masa-masa itu.

Namun, itu semua tidak kudapatkan dari seorang Ahmad ma’arif. Berbanding terbalik dengan apa yang kurasakan. Dan aku tak faham.

Ia selalu murung. Ada setetes air mata di hatinya yang tak kunjung mereda.