Di altar ruang tamu
pesantren, tepatnya aku ngobrol panjang dengan kawan lama. Kawan sepesantren dulu.
Satu kamar, satu komplek. Ia asli Tuban. Tubuhnya dempal, gagah, fanatic dengan
bahasa inggris, namun tak juga pernah ia mahir dengan bahasa asing itu.
Ia sudah khatam tiga
puluh juz. Seperti kewajiban santri yang sudah khatam pada umumnya, ia pun
menjadi badal. Suatu amanat Kyai untuk momong para santri dalam
hal bacaan, fashohah, dan setoran hafalan. Tapi, yang kulihat ia tidak bahagia,
tidak menikmati keasyikannya menjadi badal. Walau berat hati, ia
tetapkan hatinya untuk istiqomah nyimak ba’da shubuh.
“ Ting, aku tak
pernah meminta untuk diangkat menjadi badal. Tak pernah kuminta itu. tapi
mengapa mereka teteap saja memberi amanah berat ini kepadaku “ curhat ia pada
suatu hari.
“ yo wes dilakoni
wae. Kowe kan sudah khatam. Emang
kenapa to?” tanyaku
“ emmmm…ini sudah
lama aku nahan hati Ting. Ada perasaan berdosa, ndak pantas, rasanya aku
seperti dihantam palu malaikat. Aku seperti tak punya wajah. aku dadi munafik
Ting”
Aku tak tahu apa
maksudnya ia berkata seperti itu. seperti ada sesuatu yang ia tahan, namun tak
berani mengatakannya dengan jujur. Ma’arif, begitu namanya, santri apa adanya,
loman kepada sesama.
Yang kutahu,
anak-anak yang sudah khatam memang diberikan ijazah dari Kyai untuk ikut
ngramut para santri yang masih dalam tahap binnadhar, dan tahfidh. Mendapat ijazah
seperti ini tidaklah gampang. Disamping harus khatam tiga puluh juz, masih
harus tashih minima tiga kali serta membaca tiga puluh juz di masjid dengan
disimak para asatidz. Mereka yang lulus diapresiasi dan tentunya mendapat kepercayaan
dari Kyai. Suatu kebanggaan tentunya.
Kurasakan memang,
sebuah perjuangan, membutuhkan istiqomah, kesabaran ketika mengahafal al Qur’an.
huruf demi huruf, satu dua ayat, surat, juz. Hingga puncaknya, mereka yang
khatam akan diwisuda dan dibaiatul huffadh.
Ada keasyikan,
perjuangan, kelelahan, jengkel, ketdakpuasan, dalam semua proses itu. Juga
semacam kebahagiaan tiada terkira yang sulit diungkapkan dengan kata. Aku kangen
masa-masa itu.
Namun, itu semua
tidak kudapatkan dari seorang Ahmad ma’arif. Berbanding terbalik dengan apa
yang kurasakan. Dan aku tak faham.
Ia selalu murung. Ada
setetes air mata di hatinya yang tak kunjung mereda.