Sabtu, 24 Agustus 2013

Bagaimana Seharusnya II



Mas Hamzah, salah seorang staff HTQ yang beliau tempatkan sebagai administrator dan bendahara pesantren menambah spekulasiku akan tak fahamnya beliau tentang administrasi. Tidak hanya secara teknis, namun juga secara pengetahuan, keilmuan, dan segala bidang tentang ke-administrasian maupun keorganisasia. Ini hanya spekulasiku saja, tak akan menambah dosa karena smoga saja ini semua salah. 

Pengetahuan umum maupun prinsip didalam organisasi merupakan satu pengetahuan utuh yang baku, procedural, yang tidak boleh dikemukakan hanya sebagai wacana ‘sampingan’ apalagi sebagai pelengkap penderita dalam satu management baku disebuah instisusi, lembaga, atau apapun saja. Secara teknis, ada petanggungjawaban kolektif dalam mengatur, meng-evaluasi, mengontrol. Tidak hanya dalam urusan progam kerja, namun juga kepada tanggung jawab, job-disc masing-masing pengurus. 

Tapi sekali lagi, semoga saja spekulasiku ini salah. 

Aku jatuh cinta pesantren sederhana ini. Dengan orang-orangnya, watak keakraban diantara mereka, semuanya. Semacam ada gugatan, teriakan dalam hati bahwa teman-teman disini memang diam-diam sangat bersaudara, sangat menjalin cintanya yang tulus, ikhlas, dengan sesamanya. 

Aku jatuh cinta pesantren sederhana ini. dengan segala aturan-aturan ‘mencla-menclenya’. Dengan ambiguitas kebijakan pengasuhnya, bahwa ternyata kami dididik untuk mengatur sandal dengan rapi, markir motor jagrak tengah, mendengarkan music dengan headseat, mematikan kran air dengan benar,  dilarang merokok (isu yang terjadi) tanpa memperdulikan hal yang subtansi bagaimana agar semua rajin setoran, rajin jama’ah, aktif nderes, rajin puasa, hormat dan jujur diantara teman, dan lain sebagainya. 

Aku cinta pesantren sederhana ini. dengan pendidikan ke-materiaanya, bahwa kami harus mengedepankan keindahan fisik tanpa mengindahkan kebenaran nilai, kebenaran sejati, kejujuran hakiki. Apakah jika semua sudah beres mematikan kran air dengan benar, menata sandal, tidak boleh merokok sudah pasti semua rajin nderes, mudarrosah, hafalan semakin tambah. Sesungguhnya tidak ada kepemimpinan yang haq di pesantren sederhana ini. yang ada hanyalah kepemimpinan untuk selalu rasan-rasan, ngomong yang tidak-tidak, diantara teman-teman. Ya Allah. Kok ngene seeeh. Tapi itu semua tidak mengurangi cintaku pada pesantren ini. 

Pesantren sederhana ini masih mencari kunci, menata batu bata yang belum terpasang, menambal semen yang tercacar, memahat daun-daun pintu yang masih berupa kayu, pepohonan. 

Tidak ada kuasa apa-apa. Innama amruhu idza arada syaian an yaqula lahu kun fayakun. Keihklasan teman-teman ketika membaca wirid, ketulusan hati mereka ketika nderes, kemauan fikiran untuk selalu berbenah, menghitung, mengkalkulasi segala tindakan, semoga menjadi daftar panjang pahala dari Tuhan. Berharap semoga Tuhan pendarkan ke ubun-ubun mereka pengetahuan yang makrifati, hati yang bersih. 

Malang, 24 Agustus 2013

Jumat, 23 Agustus 2013

Bagaimana Seharusnya I



Aku tak bisa mereka-reka, minimal sedikit mengeja dimana sesungguhnya pola, formula, yang beliau inginkan. Bukan pesimis atau bagaimana, hanya saja pembuatan system, aturan, polese, itu tidak main-main. Harus ada beberapa fihak yang harus duduk bersama, melingkar, untuk mencari, merumuskan bagaimana sesungguhnya formula yang akan dipakai. Tidak untuk sesaat, namun panjang ke depan demi kemaslahatan bersama. 

Kepengurusan santri sudah dibentuk. Beliau sendiri yang melegitiminasi siapa-siapa dari teman-teman yang ditaruh di ini, di bagian itu. Siapa lurah pondoknya, siapa ketua pondoknya, apa yang menjadi orientasi pesantren ini, dan lain-lain. Beliau sendiri yang ‘me-wisuda’ pengurus baru dihadapan santri-santri. Yang kurasa, teman-teman benar-benar senang karena diberi kepercayaan untuk berkontribusi pada pesantren. Pesantren yang masih berusia sangat muda ini. 

Sebelumnya, Handoko dan Agung mengajakku bicara serius. Bahwa akan ada pergantian pengurus, agar ada putaran dinamika yang berjalan. bahwa jika instisusi, lembaga, pesantren, termanage dengan rapi, baik, dan tertata, maka orientasi perjalanan ke depan akan mudah dijalankan. Tidak hanya kepemimpinan kultural, tapi juga structural. 

Handoko meminta agar aku bersedia, berkenan, menggantikan dirinya sebagai ketua pondok. Ini murni bukan karena keinginan pribadinya, tapi atas mandate pengasuh. Aku tak mengiyakan juga tak menolaknya. Kujelaskan padanya, bahwa tak boleh secepat ini keputusan harus diambil. Apalagi menyangkut kepengurusan. Harus dirapatkan dengan baik, sabar, serius, dicari dan dihitung dengan detail seberapa kemaslahatan yang didapat jika keputusan pengasuh langsung dijalankan. Menggaris kebawah, bagaimana sikap teman-teman yang selama ini sudah sangat saling bersahabat. Tiada lagi sungkan-sungkanan, siapa yang di-aji, dihormati. Ya itu, sudah saking akrabnya. Jadi sulit rasanya harus menata kepemimpinan structural.
Agak alot. Aku berkelakar, sedikit membantah bahwa aku akan bantu apapun terkait kepentingan pesantren. apapun saja. Tapi untuk menjadi ketua pondok, aku benar-benar menolak. Akhir itu, diputuskanlah Kang Jamal yang menaungi teman-teman, mengkomandoi pesantren sederhana ini ke depan. Paling tidak, selama ini Kang Jamallah yang menjadi uswah, perilakunya ndak macem-macem, ia pulalah yang menjadi Imam sholat di pesantren.

Lima bulan ini kepengurusan sudah berjalan. Tidak buruk. Aktivitas setoran, mudarrosah, fashohah, menjadi inti semangat teman-teman. Agak divariasi biar tak bosan, dijembatanilah wadah mereka sebagai mahasiswa, sebagai kaum intelektual. Diskusi, debat, apresiasi seni menjadi pelengkap yang memadai, memadu, karena disitulah mereka bergulat pengetahuan, mengolah wacana, mengaktualisasikan diri. 

System yang dibangun perlahan menentukan arah yang ingin dicapai. Formula yang dipetakan teman-teman di raker membuat kepengurusan menjadi hidup. Namun, itu ternyata tidak lama. 

Kepengurusan yang belum selesai ini, akhir episode harus di-cut. Dengan pengambilalihan sepihak dan tidak fair. Kami tidak diajak rembuk, ujug-ujug sudah ada perubahan baru yang mau tidak mau semua harus nurut.

Seorang teman berkata ‘ Piye to karepe, mencla-mencle gak jelas’ 

Ya sudahlah. Semua diam, bisu, dan kembali beraktivitas sedia kala. Hambar, sepi, dan serasa ada yang hilang.  

Malang, 23 Agustus 2013

Jumat, 16 Agustus 2013

Bukan Karena Ingin

Saya yakin Anda maunya bukan menjadi Polantas dalam kehidupan di dunia yang hanya satu kali ini. Kalau mungkin, Anda maunya jadi Kapolri, atau syukur bisa jadi Presiden.

Saya yakin Anda sebenarnya bukan ingin menjadi kenek bis, menjaga makanan, menjadi tlang portit, menjadi camat atau menjadi tukang lap sepatu. Kalau mungkin sih Anda inginnya menjadi pejabar tinggi, pengusaha besar, atau syukur jadi Raja Indonesia.

Akan tetapi 'menjadi apa' itu sudah ditentukan tidak hanya oleh takdir Tuhan, sebab untuk banyak urusan dunia, Tuhan sudah memanfaatkan segala pengaturan dan tatanannya kepada para khalifah, manusia, dan kita-kita semua ini.

Meskipun demikian tentu saja jangan lupa bahwa Tuhan bukan 'cuci tangan' sama sekali. Tuhan tetap berperan, tetap menyutradarai dan bahkan menjadi 'aktor' dalam kehidupan kita pada batas-batas yang Ia maui. Oleh karena itu kita sering berjumpa dengan hukum-hukum-Nya, sunnah-Nya, atau janji-Nya mengenai "min haitsu la yahtasib" --bahwa siapapun jangan bersikap ojo dumeh, jangan gampang meremehkan siapapun dan apapun, jangan gampang trocoh mulutnya kalau tidak memiliki pengetahuan, jangan berbuat adigang adigung adiguna (semena-mena) kepada sesama. Karena akan bisa bertemu entah sekarang entah kapan dengan sesuatu yang tak terduga-duga. Yang "la yahtasib" itu.

Anda 'menjadi apa' itu juga ditentukan oleh tatanan sosial, oleh atmosfer politik, oleh struktur negara dan masyarakat.

Detailnya: oleh nepotisme, oleh posisi Anda dekat dengan yang punya negara atau tidak, atau oleh apapun lainnya yang 'ditakdirkan' oleh manusia sendiri, minimal oleh penguasa diantara mereka, meskipun tak disetujui oleh mayoritas manusia lainnya.

Saya sendiri, karena sejak kecil tahu bahwa takdir Tuhan banyak diganjal oleh 'takdir kuasa manusia' --maka daripada saya berorientasi pada keenakan tergabung dalam kuasa manusia namun bersifat temporer dan tidak ada jaminan akan kekal-- saya memilih bergabung pada kuasa Tuhan saja.

Jadi saya menggantungkan diri pada Tuhan saja. Saya bersedia menjadi tukang ojek atau dagang jual beli motor bekas, asalkan saya rasakan itu memang kehendak Tuhan.

Saya siap melakukan dan menjadi apa saja, tapi tidak boleh atas keinginan saya, melainkan atas ketentuan kekuasaan sejati yang mengatasi saya.

Saya siap melakukan kesenian, siap menjalankan komunikasi dan informasi agama, siap menyanyi, siap menulis ilmiah, membikin skripsi akademis meskipun bukan untuk saya sendiri, siap jadi presiden Malioboro atau Dongkelan, siap jadi makelar kamper, siap membantu mengobati orang sakit (asalkan Tuhan yang menyembuhkan), atau apapun saja --sepanjang itu semua tidak berangkat dari keinginan pribadi saya, melainkan merupakan kehendak yang Kuasa Mutlak atas saya, yang diwasilahkan melalui amsal-amsal sosial, tadbir-tadbir sejarah, bunyi hati alam dan masyarakat, swaraning asepi (suara kesunyian) dan kasyiful hijab (terbukanya penghalang).

Saya mengharamkan diri saya melakukan sesuatu atau menjadi sesuatu atas dasar ambisi pribadi atau karier. Saya wajib menjadi budak Yang Mahakuasa. {}

‪#EAN

Bukan Karena Ingin

Saya yakin Anda maunya bukan menjadi Polantas dalam kehidupan di dunia yang hanya satu kali ini. Kalau mungkin, Anda maunya jadi Kapolri, atau syukur bisa jadi Presiden.

Saya yakin Anda sebenarnya bukan ingin menjadi kenek bis, menjaga makanan, menjadi tlang portit, menjadi camat atau menjadi tukang lap sepatu. Kalau mungkin sih Anda inginnya menjadi pejabar tinggi, pengusaha besar, atau syukur jadi Raja Indonesia.

Akan tetapi 'menjadi apa' itu sudah ditentukan tidak hanya oleh takdir Tuhan, sebab untuk banyak urusan dunia, Tuhan sudah memanfaatkan segala pengaturan dan tatanannya kepada para khalifah, manusia, dan kita-kita semua ini.

Meskipun demikian tentu saja jangan lupa bahwa Tuhan bukan 'cuci tangan' sama sekali. Tuhan tetap berperan, tetap menyutradarai dan bahkan menjadi 'aktor' dalam kehidupan kita pada batas-batas yang Ia maui. Oleh karena itu kita sering berjumpa dengan hukum-hukum-Nya, sunnah-Nya, atau janji-Nya mengenai "min haitsu la yahtasib" --bahwa siapapun jangan bersikap ojo dumeh, jangan gampang meremehkan siapapun dan apapun, jangan gampang trocoh mulutnya kalau tidak memiliki pengetahuan, jangan berbuat adigang adigung adiguna (semena-mena) kepada sesama. Karena akan bisa bertemu entah sekarang entah kapan dengan sesuatu yang tak terduga-duga. Yang "la yahtasib" itu.

Anda 'menjadi apa' itu juga ditentukan oleh tatanan sosial, oleh atmosfer politik, oleh struktur negara dan masyarakat.

Detailnya: oleh nepotisme, oleh posisi Anda dekat dengan yang punya negara atau tidak, atau oleh apapun lainnya yang 'ditakdirkan' oleh manusia sendiri, minimal oleh penguasa diantara mereka, meskipun tak disetujui oleh mayoritas manusia lainnya.

Saya sendiri, karena sejak kecil tahu bahwa takdir Tuhan banyak diganjal oleh 'takdir kuasa manusia' --maka daripada saya berorientasi pada keenakan tergabung dalam kuasa manusia namun bersifat temporer dan tidak ada jaminan akan kekal-- saya memilih bergabung pada kuasa Tuhan saja.

Jadi saya menggantungkan diri pada Tuhan saja. Saya bersedia menjadi tukang ojek atau dagang jual beli motor bekas, asalkan saya rasakan itu memang kehendak Tuhan.

Saya siap melakukan dan menjadi apa saja, tapi tidak boleh atas keinginan saya, melainkan atas ketentuan kekuasaan sejati yang mengatasi saya.

Saya siap melakukan kesenian, siap menjalankan komunikasi dan informasi agama, siap menyanyi, siap menulis ilmiah, membikin skripsi akademis meskipun bukan untuk saya sendiri, siap jadi presiden Malioboro atau Dongkelan, siap jadi makelar kamper, siap membantu mengobati orang sakit (asalkan Tuhan yang menyembuhkan), atau apapun saja --sepanjang itu semua tidak berangkat dari keinginan pribadi saya, melainkan merupakan kehendak yang Kuasa Mutlak atas saya, yang diwasilahkan melalui amsal-amsal sosial, tadbir-tadbir sejarah, bunyi hati alam dan masyarakat, swaraning asepi (suara kesunyian) dan kasyiful hijab (terbukanya penghalang).

Saya mengharamkan diri saya melakukan sesuatu atau menjadi sesuatu atas dasar ambisi pribadi atau karier. Saya wajib menjadi budak Yang Mahakuasa. {}

‪#EAN

Minggu, 11 Agustus 2013

Renung Senja #8



Benar-benar harus tahan banting. Beban mental, tanggung jawab moral, sosial, heterogensi masyarakat dalam membangun system kedasaran natural antar manusianya. Ketika kesadaran mulai menjadi pola fikir, maka peraturan hanya menjadi tatanan hidup nomor sekian karena semua manusia sudah tidak membutuhkan atur-mengatur dalam berdialektika sosial. Sungguh nyaman dan mesra, tatakala hubungan suatu komunitas, kelompok, masyarakat tertata dengan apik, penuh dengan paguyuban ilmu, semangat kultural kolegial dalam mengayuh peradaban manusia yang disebut dengan masyarakat madani. Sudah tidak dibutuhkan lagi idiom-idiom afala ta’kilun, afala tatafakkarun, afala tadzakkarun. Sindiran “apakah kau tidak berfikir, mengapa kau tidak menganalisis, mengapa kau tidak sadar’ hanya menjadi sindrom, racun yang ditakuti setiap manusia karena akan menempatkan mereka pada golongan khasirun. Sudah rugi gak entuk bati.
 
Kebahagiaanku sebagai makhluk merdeka adalah tatkala semua orang bisa menempatkan kemerdekaannya dimana mereka berada. Pun, tetap pada koridor, batasan-batasan dimana kemerdekaan tetap membutuhkan aturan. Makan soto, rawon itu nikmat tapi kalau perutmu sudah mancal-mancal, aturan fairnya kau harus sudahi nggragasmu mangan. Jika kau tak bisa menjaga objektivitas perut, maka segala penilaianmu tentang sesuatu akan jauh dari keadilan, pun juga objektivitas. Rentetannya demikian.