Hari ini kuurai sebuah kehidupan baru, awal sebuah kisah
seorang yang sedang mencari dirinya. Dia ini tersesat dengan akal dan hatinya
sendiri. Manusia itu diciptakan Tuhan untuk selalu berfikir. Terhadap apa saja.
Dengan segmentasi yang heterogen ini, kalau manusia tidak bisa menggurui
dirinya sendiri dengan software pemberian Tuhan yang bernama akal, ia laksana
robot, berjalan kesasna kemari linglung, buta realita dan bisu keadaan. Akal
adalah ruang, dimana semua ilmu, hikmah, kebijaksanaaan, rasa bersalah, atau
apapun saja ngrumpel menjadi satu. Maka ia harus digali, direnungi. Afala tatafakkarun, tadzakkarun, Takqilun
kata Tuhan. Loh..sampai mana ini. Kita
kembali ke pemuda tadi. Pemuda ini mencoba mencari dirinya dengan sliwar-sliwer,
grusak-grusuk ke semua segment organ disekelilingnya. Berharap, dengan grusak-grusuknya
itu, dia akan mendapatkan sebuah “nubuwwah” dari Tuhan, berharap menemukan
hikmah mengapa, bagaimana, dan siapa sebetulnya dirinya ini. Lebih tepatnya ini
adalah proses tentang pencarian jati
diriku, yang sampai hari ini aku tak tahu, bahkan mengapa aku harus mau tahu
tentang semua ini.