Sabtu, 08 September 2012

Shiratal Mustaqim


            Hari ini kuurai sebuah kehidupan baru, awal sebuah kisah seorang yang sedang mencari dirinya. Dia ini tersesat dengan akal dan hatinya sendiri. Manusia itu diciptakan Tuhan untuk selalu berfikir. Terhadap apa saja. Dengan segmentasi yang heterogen ini, kalau manusia tidak bisa menggurui dirinya sendiri dengan software pemberian Tuhan yang bernama akal, ia laksana robot, berjalan kesasna kemari linglung, buta realita dan bisu keadaan. Akal adalah ruang, dimana semua ilmu, hikmah, kebijaksanaaan, rasa bersalah, atau apapun saja ngrumpel menjadi satu. Maka ia harus digali, direnungi.  Afala tatafakkarun, tadzakkarun, Takqilun kata Tuhan.  Loh..sampai mana ini. Kita kembali ke pemuda tadi. Pemuda ini mencoba mencari dirinya dengan sliwar-sliwer, grusak-grusuk ke semua segment organ disekelilingnya. Berharap, dengan grusak-grusuknya itu, dia akan mendapatkan sebuah “nubuwwah” dari Tuhan, berharap menemukan hikmah mengapa, bagaimana, dan siapa sebetulnya dirinya ini. Lebih tepatnya ini adalah proses  tentang pencarian jati diriku, yang sampai hari ini aku tak tahu, bahkan mengapa aku harus mau tahu tentang semua ini.