Minggu, 12 Mei 2013

Merancang nasib

Tidak ada salahnya kok jika semua konco-konco mulai merangkai hidupnya untuk beberapa tahun kemudian. Mau menjadi apa, berprofesi dimana, ingin berkarier sampai dihari tua, apapun saja untuk kepentingan maslahat dirinya. Itu semua sekali lagi tidak salah, bahkan suatu kewajiban moral yang harus dipertanggungjawabkan. Mumpung masih muda, mumpung jek semangat, mumpung masih bisa berfikir cerdas, dan tidak gampang lupa. 

Sedemikian rupa aku tidak membatasi diri untuk bisa bergaul dengan siapa saja. Tanpa pandang bulu, ora ono pilih-pilih. Tampan, cantik, banci, meril, bondet, seng ora tahu sholat, sing paling alim, konco-konco aktivis, anak-anak kecil, ahli wiridan, bisnisman, tukang tambal ban, bakul gorengan—mereka adalah guru kehidupan, cermin kepribadian yang paling nyata untuk disinauni, diajak diskusi. 

Elaborasi dari banyaknya pergaulan itulah yang akan bisa menata seberapa bisa aku mempetakan diri ini akan menjadi apa dalam beberapa tahun ke depan. Suatu misal, seorang kawanku pada suatu kesempatan membombardir aku akan bodohnya manusia yang tidak bisa berfikir matang sesungguhnya ia harus menjadi apa dan harus berbuat apa—untuk sekarang dan dimasa depan. 

Kowe kudu nyelengi duwet Bro, biar kelak kamu punya simpanan ekonomi. Buat biaya nikahmu, istrimu, anak-anakmu” 

“ Apa harus selalu begitu ? “ jawabku

“ Ya iyalah. Itu harus. Karena ini masa depan. Kita itu tidak selamanya bisa mandiri. Minta duet ortu, ngutang sana-sini yang akhirnya kita sendiri yang repot. Kapitalisme global sangat mendominasi tatanan cara berfikir manusia hingga titik yang paling radikal sekalipun” 

Kawanku satu ini memang sangat matematis, pragmatis cara menata hidupnya. Termasuk dalam hal ekonomi. Dalam kesempatan yang lain. Dengan teman yang berbeda. 

“ Sesungguhnya bukan harta yang menjadi celengan kita And. Kamu lihat disekelilingmu. Makhluk-makhluk Tuhan yang bertebaraan di seluruh jagad raya ini. Semut, kadal, capung, tikus, Jin, Iblis, malaikat sudah dijamin takaran rizkinya sama Tuhan. 

“ Terus”

“ Yang kita tabung, yang kita celengi adalah tabungan kebaikan, tabungan kemulyaan, nilai kebenaran, resistensi berfikir yang jernih dan koreksi atas apa yang sudah kita lakukan. Dalam momentum hidup kita yang bermacam-macam nanti kamu akan lebih dulu ditolong Tuhan karena tabungan kebaikan dan celengan kemulyaanmu banyak” 

Temanku ini sedikit sufi. Tawakkalnya sama Tuhan begitu mantap, hingga meresap pada cara berfikirnya, penataan hati dan akalnya, hingga ketika ia menjalani hidup yang dilaluinya. Dengan sahabatku yang lain. 

“ Sudahlah. Mengalir saja seperti air. Berkilo-kilo, bermil-mil air yang mengalir pasti ada muaranya juga. Ia tetap akan menemukan titik pemberhetiannya. Entah di solokan, sungai, bengawan, laut, ataupun samudra. Tuhan ada disetiap aliran itu, didalam muara itu. tak usah kamu melakukan apa-apa, tak perlu bersusah-susah mau menjadi apa dan berkarier dimana. Ikut saja sama ketentuan takdir dan jalani hidup ini dengan positive thinking. Tuhan tahu yang terbaik”. 

  Pasrah total maksudmu..? “

 Seperti itulah kira-kira”

            Begitu kompleks, asyik, aneh cara berfikir manusia di dunia ini. Dalam menata dirinya, memimpin masyarakatnya, menentukan kehendaknya, mencari tahu siapa dirinya dengan pola serta karakter yang Tuhan tiupkan di setiap akal dan hati mereka. 

            Maka, begitu sombongnya dan angkuhnya jika anda menjadi manusia yang paling benar, paling pinter, paling bijaksana, dan paling-paling yang lain. Anda sudah berani mengkerek pada Tuhan. Nyolong baju kesombonganNya. 

2 Rajab 1433, 12 Mei 2013