Sabtu, 06 April 2013

Ketika terlempar dari catatan sejarah

Apakah sejatinya jika manusia memperoleh pengakuan, ia termasuk golongan para muflihun, orang-orang yang menang. Sejarah hanya milik mereka yang menang. Sejarah milik mereka yang dengan tegak kepala mengatakan bahwa kita adalah para aktor sejarah. Kita adalah para pendahulu yang layak untuk dihormati dengan apresiasi, penghormatan dan realita kemenangan tinta sejarah. 

Jika watak dan nilai mental seorang pemenang harus selalu ditulis dalam tinta sejarah, lalu dimanakah peran ‘mereka’ yang kalah, mereka yang harus ‘rela’ ditikam oleh hujatan-hujatan dalam sejarah peradaban manusia. Sejarah terlalu membunuh, mengintimidasi  mereka yang kalah, yang dianggap jahat tanpa sedikitpun memberikan ruang bahwa diam-diam mereka menyimpan segumpal kebaikan, kebenaran, dan kesejatian. 

Kita begitu bengis menghujat Rahwana. Bahwa ia adalah bangsa raksasa yang kejam, jahat, licik, rakus, haus darah, brutal, biadab, pengabdi keburukan tanpa tahu bahwa Maharaja Rahwana adalah seorang Raja yang adil, dimana ia membangun kerajaan dengan bangunan berarsitektur tinggi, makmur, gemah ripah, mewah dan memiliki system pemerintah yang bersifat musyawarah dengan penasihat yang cerdik dan bijak. Sang pemilik ajian pancasona ini pasti tidak mengira dirinya mengalami nasib tragis bahwa citra keagungan dirinya luluh lantah seiring stigma yang dibangun oleh pemenang perang. 

Itulah sejarah kawan, dimana otoriterianisme sang pencatat sejarah begitu kentara. Silahkan anda mencetat sejarah kehidupan, dengan tetap menganggap mereka yang kalah menjadi bagian penting dari catatan-catatan kisah yang anda tulis.

Rumus ‘dangkal’ mencetat sejarah adalah kita begitu sibuk meng-eksiskan diri, tapi lupa pada esensi. Begitu ambisi mengejar eksistensi tapi tidak tahu dimana letak subtansi. Lek awakmu berjasa menyelamatkan nenek-nenek yang hampir tertabrak mobil tak usah anda koar-koar, cerita kemana-mana bahwa anda adalah si penyelamat itu. Menolong itulah esensinya. Mentalkan saja diri anda menjadi penolong sesama—itulah yang nantinya akan menjadi eksistensi anda. Urusan siapa yang dimuat di Koran, itu urusan lain. 

Anda berjuang mati-matian membela, tapi anda sendiri tidak dibela. Anda mencintai sesama, tapi anda diacuhkan. Anda rela berkorban, tapi tidak dianggap berkorban. Anda bersikap egaliter, tapi dianggap siasat. Anda dihujat, tak satupun orang membesarkan dan menghibur hati anda. Lalu anda diasingkan dari catatan sejarah, tereliminasi dari kisah-kisah para pejuang. 

Menagislah, tumpahkan air mata kesedihan. Teguklah air zam-zam. Pejamkan mata, bersila dengan khusyuk, lunakkan hati jernihkan akal. Raih tasbih cintamu, peluk kitab sucimu. Hamparkan sajadah, menghadaplah kiblat. Kalau ingin menghujat, menghujatlah. Sesungguhnya kemanusiaanmu sedang terguncang. Jika tak kuasa menahan berat, berdo’alah. Sesungguhnya kau adalah pendekar yang sedang diuji. Bukan manusia yang mencatat sejarah kepahlawananmu, tapi Tuhanlah yang menulis semua itu. 

Allah sayang kepadamu, Allah sedang memadu cinta denganmu. Malaikat Jibril tersenyum kepadamu, Musa As sedang menyiapkan tongkatnya untuk diwariskan kepadamu.

Malang, 04 April 2013