Apakah sejatinya jika manusia memperoleh pengakuan, ia termasuk
golongan para muflihun, orang-orang yang menang. Sejarah hanya milik mereka
yang menang. Sejarah milik mereka yang dengan tegak kepala mengatakan bahwa
kita adalah para aktor sejarah. Kita adalah para pendahulu yang layak untuk
dihormati dengan apresiasi, penghormatan dan realita kemenangan tinta sejarah.
Jika watak dan nilai mental seorang pemenang harus selalu ditulis
dalam tinta sejarah, lalu dimanakah peran ‘mereka’ yang kalah, mereka yang
harus ‘rela’ ditikam oleh hujatan-hujatan dalam sejarah peradaban manusia. Sejarah
terlalu membunuh, mengintimidasi mereka
yang kalah, yang dianggap jahat tanpa sedikitpun memberikan ruang bahwa
diam-diam mereka menyimpan segumpal kebaikan, kebenaran, dan kesejatian.
Kita begitu bengis menghujat Rahwana. Bahwa ia adalah bangsa
raksasa yang kejam, jahat, licik, rakus, haus darah, brutal, biadab, pengabdi
keburukan tanpa tahu bahwa Maharaja Rahwana adalah seorang Raja yang adil,
dimana ia membangun kerajaan dengan bangunan berarsitektur tinggi, makmur,
gemah ripah, mewah dan memiliki system pemerintah yang bersifat musyawarah
dengan penasihat yang cerdik dan bijak. Sang pemilik ajian pancasona ini pasti
tidak mengira dirinya mengalami nasib tragis bahwa citra keagungan dirinya
luluh lantah seiring stigma yang dibangun oleh pemenang perang.
Itulah sejarah kawan, dimana otoriterianisme sang pencatat sejarah
begitu kentara. Silahkan anda mencetat sejarah kehidupan, dengan tetap
menganggap mereka yang kalah menjadi bagian penting dari catatan-catatan kisah
yang anda tulis.
Rumus ‘dangkal’ mencetat sejarah adalah kita begitu sibuk meng-eksiskan
diri, tapi lupa pada esensi. Begitu ambisi mengejar eksistensi tapi tidak tahu
dimana letak subtansi. Lek awakmu berjasa menyelamatkan nenek-nenek yang
hampir tertabrak mobil tak usah anda koar-koar, cerita kemana-mana bahwa anda
adalah si penyelamat itu. Menolong itulah esensinya. Mentalkan saja diri anda
menjadi penolong sesama—itulah yang nantinya akan menjadi eksistensi anda. Urusan
siapa yang dimuat di Koran, itu urusan lain.
Anda berjuang mati-matian membela, tapi anda sendiri tidak dibela. Anda
mencintai sesama, tapi anda diacuhkan. Anda rela berkorban, tapi tidak dianggap
berkorban. Anda bersikap egaliter, tapi dianggap siasat. Anda dihujat, tak
satupun orang membesarkan dan menghibur hati anda. Lalu anda diasingkan dari
catatan sejarah, tereliminasi dari kisah-kisah para pejuang.
Menagislah, tumpahkan air mata kesedihan. Teguklah air zam-zam. Pejamkan
mata, bersila dengan khusyuk, lunakkan hati jernihkan akal. Raih tasbih
cintamu, peluk kitab sucimu. Hamparkan sajadah, menghadaplah kiblat. Kalau ingin
menghujat, menghujatlah. Sesungguhnya kemanusiaanmu sedang terguncang. Jika tak
kuasa menahan berat, berdo’alah. Sesungguhnya kau adalah pendekar yang sedang
diuji. Bukan manusia yang mencatat sejarah kepahlawananmu, tapi Tuhanlah yang
menulis semua itu.
Allah sayang kepadamu, Allah sedang memadu cinta denganmu. Malaikat
Jibril tersenyum kepadamu, Musa As sedang menyiapkan tongkatnya untuk
diwariskan kepadamu.
Malang, 04
April 2013