Sabtu, 13 Juli 2013

Wawancara Emha Ainun Nadjib:

"Itu Refleksi Ketakutannya Sendiri Terhadap Mitologi Jawa"

Logika pewayangan dan mitologi Jawa tak mudah dicerna semua orang. Tapi tetap menarik untuk dikaji. Apalagi jika diucapkan oleh seorang figur sentral republik, Presiden Soeharto—yang memang kental dengan idiom Jawa. Saat menyambut pada ulang tahun Golkar di Jakarta, pekan lalu, Pak Harto menyitir kekuasaan ala Jawa: lengser keprabon, madheg pandito. Ini sebuah isyarat suksesi khas keraton: jika tak lagi berkuasa, maka berdiri tegak sebagai begawan.

Siapa pun rasanya ingat, Pak Harto selalu mengucapkan kata-kata penting menjelang Sidang Umum MPR yang akan berlangsung Maret tahun depan. Menurut Cak Nun --panggilan akrab Emha Ainun Nadjib, cara itu sudah dua kali dilakukan oleh Pak Harto. Pertama, ketika ia meminta kepada para dalang untuk mementaskan lakon Semar, yang menjadi perlambang dari kekuasan rakyat. "Pada saat rakyat akan marah dan Semar akan membangun kayangan itulah Pak Harto mendahuluinya, ia menciptakan sendiri Semarnya, lewat para dalang," ujarnya.

Mengapa bisa begitu? Menurut kiai mbeling yang bisa ditemui setiap malam purnama tanggal 15 Jawa, di Menturo, Jombang, Jawa Timur ini, "Pak Harto ketakutan dengan keberadaan mitologi kekuasaan Jawa yang ia percayai sendiri. Apalagi Pak Harto harus membayar hutang kepada rakyat. Itulah yang membuatnya tidak mau lengser keprabon. Padahal, rakyat Indonesia itu sangat pemaaf, kalau Pak Harto bayar hutangnya hanya 25 persen, pasti rakyat akan memaafkannya," ujar Emha.

Lalu, bagaimana memahami makna politis di balik ucapan Pak Harto itu? Berikut wawancara Edy Budiyarso dari TEMPO Interaktif dengan Emha Ainun Nadjib, 44 tahun, budayawan yang juga suami artis Novia Kolopaking, seusai acara Dialog Publik Tentang Tanggung Jawab Kemanusian Setiap Warga Negara, di Panti Trisula Menteng, Jakarta Pusat, yang juga disambung lagi wawancara lewat telepon.
Berikut petikannya:

Apa makna pernyataan Pak Harto tentang pergantian kekuasaan dengan cara lengser keprabon?

Pak Harto itu mau menghilangkan mitologi kekuasaan Jawa, dan itu sudah terjadi dua kali. Ibaratnya ia memegang petir, itu dalam rangka mendekonstruksi mitologi politik Jawa. Pertama, kasus permintaan kepada para dalang untuk melakonkan Semar. Dalam tradisi Jawa itu ada sebab akibat. Ketika raja berbuat salah sampai derajat tertentu, berdasarkan logika wayang, maka Semar akan marah. Semar naik ke kayangan dan memarahi Bethara Guru karena Bethara Guru dianggap kurang bisa mengatur. Bethara Guru itu kan adik Semar. Jadi, Semar itu lebih berkuasa ketimbang Bethara Guru, atau dengan kata lain rakyat lebih berkuasa dari pada presiden. Nah, pada saat rakyat akan marah dan Semar akan membangun kayangan inilah Pak Harto mendahuluinya, ia menciptakan sendiri Semarnya, lewat para dalang wayang kulit. Itu dalam soal Semar.

Sekarang ini, seharusnya dalam kondisi lengser keprabon, buat Pak Harto. Ia seharusnya sudah Pendita, ia harus memurnikan rohani dan merdeka dari struktur sosial karena ketika menjadi raja, ia mengumpulkan materi. Karena Pak Harto tahu, ia menghadapi kondisi seperti itu, maka ia didahului lagi dengan lengser keprabonnya.

Mengapa?

Itu refleksi dari ketakutannya sendiri terhadap mitologi-mitologi Jawa yang memang ia percaya. Dengan itu, seolah-olah ia sedang meminta ijin kepada Sang Hyang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Esa). Ia minta izin, karena dia merasa sudah waktunya lengser keprabon, jadi bukan salahnya sendiri kalau ada orang mencalonkannya. Padahal yang mencalonkan itu kan dirinya sendiri. Dia ingin menciptakan lakon di mana seolah-olah dia diminta oleh rakyat, dia ingin meyakinkan dirinya bahwa dia diminta oleh rakyat lewat MPR yang pada hakekatnya itu adalah kehendaknya sendiri. Itu yang saya katakan dengan mengeliminir simbol-simbol Jawa.

Saya kira kalau ini sekedar mitologi kekuasaan Jawa, ini masih bisa dihilangkan. Padahal, selain konsep kekuasaan dalam mitologi Jawa, ada juga kekuatan-kekuatan natural dan transendental yang pada saatnya nanti tidak bisa dibatasi oleh manusia. Seperti umur dan segala macam, baik yang datang dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya.

Pak Harto sendiri meminta Golkar untuk mengkaji ulang dukungan rakyat kepada dirinya, apa ini bukan langkah bijaksana?

Itu kan dialog dramanya, sinetronnya seperti itu. Jadi diciptakan suatu adegan bahwa partai terbesar ini meyakinkan bapaknya bahwa rakyat itu memang masih menghendaki. Tetapi, itukan cuma adegan saja.

Jadi Anda melihat permintaan Pak Harto kepada Golkar itu hanya "dagelan" saja?

Ini satu dagelan yang sangat serius dan sangat berbahaya.

Bahayanya?

Saya kira hati nurani Pak Harto sendiri juga tidak mau seperti itu, nurani Harmoko, dan semua anggota MPR itu tahu hal itu, apalagi rakyat pasti tahu. Kalau rakyat dengan lugu memilih Pak Harto, itu karena selama ini rakyat menjadi obyek mobilisasi yang sangat panjang. Selama tiga puluh tahun dan rakyat tidak memiliki akses informasi politik formal dari kekuasaan. Jadi sama halnya pilihan rakyat yang lugu itu dengan Tarzan yang biasa di hutan, lantas kita menuntut ia sama seperti anak sekolah. Bahayanya, kebusukan dan kebohongan itu kan ada batasnya, ada usianya, ada masa senjanya. Entah ledakan atau jenis kematian apa yang nanti akan terjadi dan pasti terjadi.

Anda yakin kalau tragedi yang menimpa bangsa itu sebagai peringatan dari kekuasaan Tuhan?

Kalau kita lihat acara dialog kemanusian, di mana energi kita pergunakan untuk berpuas-puas diri menggugat ini menggugat itu. Seharusnya energi untuk itu tidak boleh banyak-banyak, maksimal 25 persen saja. Sedangkan sisa energi kita sebanyak 75 persen itu kita pergunakan untuk mempersiapkan kondisi di mana tidak ada lagi Pak Harto. Karena sekarang ini semua kelompok pro-demokrasi itu belum sinergi, belum siap dengan kesebelasannya. Kesebelasan yang saya maksud itu bukan sekedar koalisi kepemimpinan saja, termasuk psikologi hubungan politik antar kelompok di masyarakat ini tidak kondusif untuk menyongsong perubahan yang mendasar.

Kelompok mana saja yang Anda maksud?

Partai politik, Ormas, bisa perbedaan-perbedaan visi, suku, agama dan lainnya. Semua kelompok itu saya lihat belum siap, karena komandan-komandannya juga belum siap, masih jalan sendiri-sendiri.

Anda kurang percaya kepada lokomotif demokrasi seperti Gus Dur, Megawati dan Amien Rais?

Saya percaya kepada mereka. Tetapi, mengapa mereka selalu tidak kompak? Padahal kalau kita bertanya kepada mereka, toh jawabannya relatif sama, mereka setuju kelaliman itu harus dilawan. Kenapa mereka sampai tidak bisa membentuk kesebelasan di antara mereka sendiri. Dalam pandangan saya, mereka-mereka itu memang memiliki visi yang kosmopolitan yang mempertimbangkan nasionalisme, hanya saja pijakan mereka masih golongan.

Ibaratnya, pikiran mereka sudah merdeka namun kakinya yang belum merdeka. Misalnya saja Gus Dur, ia sangat kosmopolitan, demokratis dan progresif dalam Forum Demokrasi, itu kepalanya Gus Dur. Sedangkan kaki Gus Dur masih berpijak di NU, di mana dia harus tawar-menawar dengan Tutut, menyodorkan nama-nama untuk bisa menjadi calon anggota MPR, yang ternyata tidak digubris satu pun oleh Tutut. Saya tidak menyalahkan hal itu, tetapi meletakkan diri dalam pijakan yang primordial itu membuat sulit melangkah.

Maka, saya pribadi tidak mau meletakkan diri dalam satu golongan. Kecuali hanya menjadi suporter saja. Menjadi suporter pun sudah langsung diklaim masuk ke dalam satu kelompok, karena semua orang itu bersikap posesif, selalu beranggapan itu anak sendiri. Jadi selalu ada klaim-klaim primordial di mana-mana, kalau ada yang independen tidak ada temannya. Contohnya saya saja, sayangerewangi (membantu) PPP disebut saya orang PPP, saya ikut mendorong truk, kok disebut penumpang truk, kan tidak begitu.

Menurut Anda, mengapa lokomotif demokrasi kita tidak berjalan dengan cepat di Indonesia?

Kita telah lama mengalami kekalahan kolektif, misalnya visi demokrasi, pemahaman agama yang benar, visi mengenai kebudayaan yang kosmopolitan itu tidak sempat kita tanam dalam-dalam sampai berakar. Semuanya itu rusak karena sebentar-sebentar dihantam badai dan diinjak-injak orang. Seperti diskusi Dialog Kemanusian, itu kan seperti perahu di tengah-tengah laut yang tidak lama kemudian kita akan berganti kapal, dan kita menghadapi kenyataan yang sama pula. Toh dialog seperti itu pernah terjadi pada tahun 1974, bisa terjadi pada tahun 1980. Jadi peletakan waktu, periodisasinya tidak kontinyu dan tidak dengan kesadaran yang konstan.

Misalnya, sebut saja Permadi. Ia itu kan orang yang sangat naluriah, bagus ide-idenya tetapi spontan. Itu saya anggap sikap politik yang instan dan kita tidak bisa terus menerus seperti itu, kalau kita menginginkan perubahan politik yang mendasar.

Mungkinkah dukungan kepada Pak Harto akan bergulir melalui doa politik dan kebulatan tekad dari umat Islam?

Kalau permintaan dukungan kepada umat Islam, itu sudah pasti akan ada. Tetapi saya tidak akan ikut dalam dukung-mendukung Pak Harto. Di Monas saja (saat berlangsung takbir masal), sudah saya katakan bahwa kita jangan terlalu kejam-kejam kepada Pak Harto, karena beliau itu sudah tua, mbok dikasih kesempatan untuk hidup bebas. Jangan diberi tugas berat terus. Itu yang saya katakan, tetapi toh tidak ada satu media massa pun yang berani memuat. Itu kan bisa disebut balagoh penyampaian tidak setuju dengan nada yang halus.

Dari dulu saya mengatakan itu sampai Jawa Tengah, saya dicekal selama dua tahun oleh Pak Soeharyoto, itu karena saya berani mengatakan itu di muka forum Kodam dan di depan para wartawan dan sekarang pun saya masih mengatakan itu. Tetapi saya melihat Pak Harto itu sudah tidak bisa berbuat lain, ia sudah terlanjur. Kalau dia mundur sebagai presiden ia harus membayar banyak hal terutama sebab akibat yang ditimbulkan oleh dirinya. Karena harus membayar utang itulah Pak Harto jadi tidak mau turun. Padahal, dalam sejarah itu berlaku hukum kausalitas, menanam apa akan berbuah apa, menabur angin akan menuai badai.

Lalu, apa yang terjadi pada Pak Harto berkaitan dengan kekuasaan?

Saya kira Pak Harto itu sudah mengalami fase, di mana ia tidak bisa hidup tanpa kekuasaan. Selama ini ia hidup tiga puluh tahun dalam kekuasaan. Jadi ibarat orang yang setiap hari makan hamburger, sehingga orang lupa bagaimana cara makan soto. Tiga puluh tahun itu waktu yang lama sekali, jadi betapa sangat tidak terkontrolnya dia, karena dia juga menghadapi masalah, kalau dalam waktu yang lama ia diperhitungkan orang kemudian tiba-tiba ia tidak punya kekuasaan, itu masalah tersendiri.

Apakah Anda setuju Pak Harto dipilih lagi?

Kalau saya tidak setuju Pak Harto menjadi presiden lagi, karena saya melihat Pak Harto punya peluang memandu kepada perubahan yang lebih damai. Dengan syarat, pertama, dia sendiri yang harus berkorban. Kalau nanti dia turun dengan tidak baik, kalau tiba-tiba dia dipanggil Tuhan, padahal belum ada orang yang akan menggantikan dia, kan lebih bertambah berbahaya.

Jadi saya tidak setuju Pak Harto naik lagi itu karena ada kearifannya, bukan masalah senang atau tidak senang. Itu tidak saya perdulikan. Yang penting Indonesia itu harus selamat dalam transisi nanti, proses perubahannya jangan sampai membuat kita terlalu tergoncang-goncang. Dan saya melihat Pak Harto memiliki kesempatan untuk ikut mencegah kegoncangan itu dengan dia sendiri yang harus banyak berkorban.

Caranya?

Ia harus mengerem anak-anaknya, lantas ia harus mencari informasi yang akurat mengenai keadaan rakyat dan didengarkan dengan baik. Kita dengar saja apa yang dikatakan para jenderal-jenderal itu. Pak Harto sekarang ini tidak mendapatkan informasi yang benar tentang rakyatnya. Karena bawahan-bawahannya itu sudah tidak lagi memberikan informasi yang akurat, mereka takut informasinya itu menggelisahkan bapak. Jadi laporannya itu sudah dipernis, dihaluskan sedemikian rupa. Jadi serba sulit, apalagi dia sudah memposisikan dirinya sebagai pandita ratu.

Apakah akan terjadi suksesi seperti raja-raja Jawa yang biasanya disertai pertumpahan darah?

Pak Harto itu tidak ingin terjadi seperti pada diri Ken Arok. Sehingga, ketika ia mengambil kekuasaan dari Soekarno tidak memakai cara Singosari, tidak menggunakan cara-cara seperti lakon Empu Gandring, lalu ada Kebo Ijo yang menjadi kambing hitam. Empu Gandring itu kan seperti umat Islam yang diminta untuk membuat keris, mateng atau tidak mateng akan diambil, dan terus umat Islam yang lain akan dikambinghitamkan seolah-olah dialah yang membunuh Tunggul Ametung. Sekarang ini yang menjadi Kebo Ijo dan Tunggul Ametung itu bisa dari NU dan ICMI atau sebaliknya.

Tunggul Ametung itu kan simbol yang menghalangi kekuasaan. Pak Harto sudah berhati-hati untuk menggunakan cara seperti itu, tetapi pada hakekatnya sama saja cara yang dipakai, itu hanya kamuflase atau bungkus saja. Intinya sama saja, keris yang berdarah yang dibungkus dengan kayu yang mengkilap dengan hiasan pita bunga yang indah.

Apakah akan lebih baik kalau Pak Harto memiliki putra mahkota yang akan menggantikan kekuasaannya?

Tidak sesederhana itu, Pak Harto itu seharusnya ikut memandu transisi masyarakat Indonesia menuju pagi hari yang baru yang lebih baik. Tidak harus menyiapkan pengganti dia, tetapi menyiapkan tatanan negara ini menjadi lebih baik. Sebab, kalau hanya menyiapkan penggantinya saja, maka yang dilakukan hanya upaya penyelamatan di paska kekuasaannya. Jadi tidak hanya memikirkan penggantinya saja, tetapi lebih luas dan lebih kompleks.

Apa dalam usianya yang sudah sepuh Pak Harto mampu menyiapkan tatanan yang Anda maksud itu?

Loh, kenapa tidak mampu? Kalau Pak Harto meludah saja bisa menjadi lautan, atau mendehem saja bisa terjadi mobilisasi besar-besaran. Itu yang namanya sabda pandita ratu, walaupun perintahnya salah atau benar tidak bisa dibantah. Kalau Pak Harto memberi contoh untuk mau berkorban, mau konsisten, mau benar-benar, nantinya akan ada kekuatan di bawah yang mengontrol bawahannya Pak Harto. Namun bagaimana lagi kalau semuanya ini tidak dilakukan justru karena Pak Harto sendiri yang tidak mau, karena pangkalnya pada dia sendiri. Misalnya kasus Udin, kasus ecstasy, kan muaranya ke situ-situ juga. Padahal orang Indonesia itu sangat pemaaf dan kalau dia melakukan itu pasti akan dimaafkan oleh rakyat. Artinya Pak Harto membayar utangnya 25 persen saja, pasti sudah bisa dimaafkan.

Mengapa hal itu tidak dilakukannya?

Karena ia tidak punya teman untuk berdialog. Ia hanya kenal dengan orang-orang yang urusannya hanya kekuasaan. Baik Tutut, Hartono, mereka itu orang-orang yang sedang memuncak kariernya dan konteksnya hanya kekuasaan dan modal saja.

Mengapa tidak Anda saja yang memberi nasehat?

Nanti saya dikatakan berangkul-rangkulan, dianggap berkolusi. Ketika takbir akbar, sebenarnya saya sedang mengingatkan Pak Harto, karena orang seperti dia itu harus dikandani tetapi bagaimana lagi kalau teman-teman sendiri yang menuduh saya macam-macam. Orang ini harus diberitahu, telinganya dibuka. Dan Alhamdulillah sedikit dibuka telinganya, dan dia langsung takbiran dan memukul beduk lama sekali. Siapa yang berani memerintahkan kepada Pak Harto takbiran, kan tidak ada yang berani memerintah toh.

Mengapa malam itu Pak Harto mau takbiran, lantas kenapa saya tidak mau salaman dengan Pak Harto dan Pak Hartonya tidak marah? Sebenarnya itu kan menghina presiden toh, ada anak kecil tidak mau salaman dan tidak mau rangkulan. Padahal semua yang hadir disitu seperti Roma Irama berangkulan. Itu di hadapan dua ratus juta rakyat yang berada di depan televisi.

Mustinya teman-teman itu bersyukur, karena menurut nabi sebaik-baiknya ulama itu yang didatangi oleh umaro dan seburuk-buruk ulama itu yang sowan kepada umaro yang berarti bargaining position-nya lebih rendah. Saya tidak mengatakan bargaining power saya tinggi, tetapi paling tidak saya menunjukan bahwa saya itu tidak patheken, tidak salaman tidak apa-apa, aku tidak punya kepentingan apa-apa sehingga aku enteng-enteng saja.

Begitu Pak Harto menyodorkan tangan kepada saya, saya langsung mengambil mick dan takbiran. Itu yang terjadi bisa dilihat kembali di rekaman videonya. Seharusnya kawan-kawan itu mempercayai saya dan meminta saya untuk memberi peringatan seperti itu lagi. Toh saya sepeser pun tidak mau menerima uang dari pemerintah, dari pengusaha atau siapapun yang sifatnya tidak murni. Saya membuat sekolahan, menyantuni anak-anak yatim karena saya menulis di koran dan karena buku-buku saya

Menurut Anda, mengapa Pak Harto tidak berterus terang saja seandainya sudah tidak mau dicalonkan lagi?

Pak Harto kok disuruh ngomong terus terang. Raja Jawa itu etosnya etos priyagung. Ciri priyagung itu halus bicaranya, tidak bisa blaka (terus-terang), itu prajurit. Ratu tidak boleh bicara seperti itu, bicaranya harus simbolis, metaforis. Pak Harto mencoba melawan ketakutannya kepada mitos Jawa dan itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang telah melewati jalur-jalur dan tahapan-tahapan kebatinan. Ia tafsirkan sendiri akan kedatangan Semar dan Semarnya didahului. Sekarang lengser keprabon itu suatu mitos dalam konsep kekuasaan Jawa. Sebelum itu berlaku pada dirinya, ia ambil lebih duhulu.