Selasa, 18 November 2014

Bertapa demi mereka


Alhamdulillah, sampai saat ini aku tidak pernah menawar-nawarkan diri. Apalagi mendaulat bahwa seluruhnya yang aku hasilkan, tidak lain adalah karena jasaku, karena perjuanganku. 

Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari ke-Aku-an, aku berlindung kepadaMu dari kesombongan-kesombongan. Kesombongan niat, kesombongan perilaku, maupun kesombongan ilmu.
____
Enam sampai tujuh anak sampai hari ini masih istiqomah mengaji. Mereka nglalar hafalan, duduk tenang, lisannya tiada henti membaca ayat-ayat, ada keikhlasan dan ketulusan untuk mau ‘dibimbing’, pikirannya kokoh. Mereka sunyi diantara binar-binar keramaian, mereka anteng

Mereka dibimbing, tapi tidak oleh seorang guru. Mereka diajari, disinauni, diijazahi, tapi tidak oleh seorang Kyai. 

Jadi, bertapalah kalian untuk TuhanMu. Aku Tanya, siapakah yang meniup hatimu, yang mengerakkan lisanmu, yang mengantarkan kakimu untuk mau nggembol mushaf, untuk tidak terlena oleh gegap gempitanya kenikmatan dan kemalasan..?  

Dan aku bukanlah siapa-siapa. Aku datang hanya untuk sekedarnya. Sejenak menemani saja, dan esok aku sudah menghilang entah kemana.  

Renung Senja #23

Aku ingin mengatakan bahwa tetaplah menjadi dirimu sendiri. Engkau berdaulat atas sikap dan prinsipmu, engkau merdeka atas segala jeratan dan aturan-aturan. Ini bukan pembelaan apalagi pembenaran mengenai sikap dan perilaku. Tapi merupakan idealitas tentang arti hidup, kemandirian lelaku, dan pijakan berpikir. 

Lihatlah matahari, yang bersinar setiap pagi. Lalu tenggelam kembali saat gelap mulai menanti. Nah, hiduplah seperti alam. Hidup bukan karena kamu berani atau takut, tidak karena kamu sedih atau bahagia, apalagi kamu tergeletak karena penderitaaan. Jangan kamu meletakkan hidup hanya atas keberanian, ketakutan, penderitaan, atau kebahagiaan. ‘Mereka’ semua hanyalah ‘anak buah’, kamulah yang sesungguhnya ‘ketuanya’. 

Penderitaan pun, kalau diolah dan dimanage sedemikian rupa akan menjadi berkah. Dalam momentum tertentu justru kemudahan akan diperoleh melalui penderitaan. Jadi, penderitaan itu baik.  

Renung Senja #22

Kalau kamu menirukan kokok ayam, sadarlah bahwa kamu bukan ayam. Maka, kalau kamu menafsirkan ayat-ayat Tuhan, ingatlah kamu itu bukan Tuhan. 
 
Maka, jangan berdebat tentang Tafsir. Yang paling benar mengenai kebenaran itu sendiri hanyalah Tuhan. 

Kita bisa lebih cair dan saling menghargai. Silahkan anda memahami dan meyakini hakikat ilmu seperti itu, dan saya pun demikian.

Renung Senja #21

“bener durung mesthi pener, salah durung mesthi kalah, becik bisa kuwalik”. Benar belum tentu tepat, salah belum tentu kalah, baik dapat terbalik. 
 
Ngene lho rek, lek prasaku setiap kebenaran belum tentu tepat ketika digunakan pada konteks yang berbeda. Misalnya, ngaji itu baik. Tetapi menjadi buruk ketika kamu ngaji, sedang disebelahmu ada temanmu meringik sakit gigi. 

Sederhana tho.

Kira-kira, siapakah yang paling didengar Allah? Suaramu yang mengaji ataukah ringikan temanmu yang sakit gigi?