Jumat, 23 Agustus 2013

Bagaimana Seharusnya I



Aku tak bisa mereka-reka, minimal sedikit mengeja dimana sesungguhnya pola, formula, yang beliau inginkan. Bukan pesimis atau bagaimana, hanya saja pembuatan system, aturan, polese, itu tidak main-main. Harus ada beberapa fihak yang harus duduk bersama, melingkar, untuk mencari, merumuskan bagaimana sesungguhnya formula yang akan dipakai. Tidak untuk sesaat, namun panjang ke depan demi kemaslahatan bersama. 

Kepengurusan santri sudah dibentuk. Beliau sendiri yang melegitiminasi siapa-siapa dari teman-teman yang ditaruh di ini, di bagian itu. Siapa lurah pondoknya, siapa ketua pondoknya, apa yang menjadi orientasi pesantren ini, dan lain-lain. Beliau sendiri yang ‘me-wisuda’ pengurus baru dihadapan santri-santri. Yang kurasa, teman-teman benar-benar senang karena diberi kepercayaan untuk berkontribusi pada pesantren. Pesantren yang masih berusia sangat muda ini. 

Sebelumnya, Handoko dan Agung mengajakku bicara serius. Bahwa akan ada pergantian pengurus, agar ada putaran dinamika yang berjalan. bahwa jika instisusi, lembaga, pesantren, termanage dengan rapi, baik, dan tertata, maka orientasi perjalanan ke depan akan mudah dijalankan. Tidak hanya kepemimpinan kultural, tapi juga structural. 

Handoko meminta agar aku bersedia, berkenan, menggantikan dirinya sebagai ketua pondok. Ini murni bukan karena keinginan pribadinya, tapi atas mandate pengasuh. Aku tak mengiyakan juga tak menolaknya. Kujelaskan padanya, bahwa tak boleh secepat ini keputusan harus diambil. Apalagi menyangkut kepengurusan. Harus dirapatkan dengan baik, sabar, serius, dicari dan dihitung dengan detail seberapa kemaslahatan yang didapat jika keputusan pengasuh langsung dijalankan. Menggaris kebawah, bagaimana sikap teman-teman yang selama ini sudah sangat saling bersahabat. Tiada lagi sungkan-sungkanan, siapa yang di-aji, dihormati. Ya itu, sudah saking akrabnya. Jadi sulit rasanya harus menata kepemimpinan structural.
Agak alot. Aku berkelakar, sedikit membantah bahwa aku akan bantu apapun terkait kepentingan pesantren. apapun saja. Tapi untuk menjadi ketua pondok, aku benar-benar menolak. Akhir itu, diputuskanlah Kang Jamal yang menaungi teman-teman, mengkomandoi pesantren sederhana ini ke depan. Paling tidak, selama ini Kang Jamallah yang menjadi uswah, perilakunya ndak macem-macem, ia pulalah yang menjadi Imam sholat di pesantren.

Lima bulan ini kepengurusan sudah berjalan. Tidak buruk. Aktivitas setoran, mudarrosah, fashohah, menjadi inti semangat teman-teman. Agak divariasi biar tak bosan, dijembatanilah wadah mereka sebagai mahasiswa, sebagai kaum intelektual. Diskusi, debat, apresiasi seni menjadi pelengkap yang memadai, memadu, karena disitulah mereka bergulat pengetahuan, mengolah wacana, mengaktualisasikan diri. 

System yang dibangun perlahan menentukan arah yang ingin dicapai. Formula yang dipetakan teman-teman di raker membuat kepengurusan menjadi hidup. Namun, itu ternyata tidak lama. 

Kepengurusan yang belum selesai ini, akhir episode harus di-cut. Dengan pengambilalihan sepihak dan tidak fair. Kami tidak diajak rembuk, ujug-ujug sudah ada perubahan baru yang mau tidak mau semua harus nurut.

Seorang teman berkata ‘ Piye to karepe, mencla-mencle gak jelas’ 

Ya sudahlah. Semua diam, bisu, dan kembali beraktivitas sedia kala. Hambar, sepi, dan serasa ada yang hilang.  

Malang, 23 Agustus 2013