Rabu, 12 Februari 2014

Anak-anak itu...‎


Beberapa minggu ini ‘terpaksa’ aku bergumul dengan orang-orang yang kuanggap aneh, yang pekerjaannya mengidentifikasi jiwa orang, membaca perilaku manusia, karakternya, model serta gaya belajarnya, dan apapun saja mengenai antropolgi manusia dari sisi psikologisnya. Ahaha..aku sering terawa geli, mencerna kebodohanku sendiri mengenai hal-hal baku tentang ilmu pengetahuan.

Sudah satu tahun setengah kurang lebih, kulemparkan diriku ditengah kesibukan mengurus anak-anak. Anak-anak ini, hidup dan menghabiskan usia emasnya di sebuah daerah dimana segala akses peradaban normal manusia menjadi terbalik. Perilaku sosial, norma, nilai-nilai moral, agama, konflik sosial, menjadi menarik untuk diidentifikasi menjadi hal-hal yang lucu, asyik, di tengah liniernya pikiran manusia terhadap urusan hidup dan makan.

Yang aku sangat sedih adalah, anak-anak itu mau tidak mau, perlahan akan menjadi bias, korban, dari segala aura, nuansa, dimana mereka hidup di lingkungannya. Aku harus mengerem roso, tatkala ada anak usia 5 tahun mengerti hal-hal tabu mengenai urusan orang dewasa. Misalnya, dia kelosotan, merangkul-rangkul, kemudian tidur-tiduran di kakiku, masih sambil dengan kelosotannya ia bilang “Kak Aand, Bapak Ibuk tadi rangkul-rangkulan di rumah. Rangkul-rangkulan yok Kak..? Naif. Aku menantap dia. Di kedalaman matanya, kejujuran ucapnya,kepolosan hatinya, kebersihan jiwanya sebagai anak yang belum akil baligh. Ia pun berlalu, tertawa-tawa bersama teman-temannya.

Berbagai hal serta kelucuan-kelucuan yang lain mengenai anak-anak ini pun akhirnya membuatku sering nongkrong bersama teman-teman jurusan Psikologi. Paling tidak, mereka punya ilmunya, faham mengenai disiplin pengetahuan yang mereka geluti.

“ Itu murni karena pengaruh lingkungan. Terutama keluarga, bagaimana Ayah dan Ibunya  “ beberapa teman menimpali.

“ Lingkungan jelas memberi rangsangan dan pengaruh. Dampingi mereka, beri pembelajaran akhlak dengan mempertimbangkan kebutuhan mereka sebagai anak didik “ sahut yang lain

“Beri pendidikan parenting kepada orang tuanya, podo ae anake dididik tapi wong tuane gak dididik

Ah. Aku merasa tak mendapatkan solusi kongkrit. Segala macam solusi yang diberikan teman-teman tidak ada satupun yang nyantol di hati. Sama saja. Sami ugi sami mawon, silite babi dientup tawon. Ya sudahlah akan kuajak mereka dolanan, belajar, dengan caraku sendiri, dengan metode praktis tanpa banyak teori. Tentunya pendidikan moral, akhlak, sopan santun, ajaran agama, menjadi pondasi yang tak bisa ditinggalkan.

Aku cinta mereka. Rafi yang Indigo, Galih yang tak bisa diam, Abi yang pinter tapi ngambekan, Putri yang cerewet tapi hafal sholawatan, Rizki yang ngalem, dan lain-lain. Menemani mereka sudah cukup bagiku untuk merasa bahwa demikian halnyalah anak. Tuhan hadir dalam kebersihan jiwanya, tertawanya, kepolosannya, tangis dan ngambeknya.