Selasa, 27 September 2011

Nafsu dalam persepsi


           Implementasi dari hadist Nabi yang membicarakan tentang nafsu sangat bermakna dan mendalam jika benar-benar dialami oleh sang pelaku dalam proses pencarian  hikmah dalam kehidupan. Beberapa abad yang lalu Nabi Saw pernah bersabda bahwa perang yang paling berat adalah perang melawan hawa nafsu.  Tentunya hawa nafsu disini mempunyai representasi yang berbeda-beda bagi setiap personal. Namun dalam subtansi yang sama saya kira. Karena sesungguhnya dalam setiap istilah diperlukan definisi sebagai penerang atau penjelas untuk sebuah pemahaman. Nah, pemahaman yang dipaparkan tentunya berbeda karena setiap dalam perbedaan (dalam konteks pengetahuan) ditimbulkan dari disiplin ilmu yang dikuasai dan dipahami. Persepsi saya tentang nafsu juga tentunya berbeda dengan anda. Saya contohkan begini. Saya pada suatu hari umpamanya menghadapi dua keadaan yang saya harus memilih diantara keduanya, hanya ada satu pilihan diantara dua, Ibu saya sedang sakit sedangkan ditempat lain pacar saya sedang menunggu untuk dijemput di terminal atau di bandara, misalnya demikian. Disini kita bisa melihat dengan jelas dibagian mana saya harus memilih. Sederhana saja, tidak ada orang yang rela meninggalkan ibunya dalam keadaan demikian hanya karena meninggalkannya demi seorang pacar yang  sesungguhnya relative untuk dijadikan sebuah alasan. Jika ia memilih ibunya dia berhasil melawan hawa nafsunya. Namun jika ternyata dia memilih untuk pacarnya, saya kira kita tahu dia hanya mementingkan hawa nafsunya. Ini persepsi saya sebatas contoh yang saya coba sederhanakan dengan pendekatan anak muda kebanyakan. Tentunya pendekatan ini bersifat sebjektif.
Kita patuh terjadap hawa nafsu
Jika berlanjut kepada ranah yang lebih kompleks dan luas, hawa nafsu selalu mengiringi kita dalam setiap spectrum kehidupan. Kita melanggar hak-hak peraturan, apapun itu, jika dirasa memberikan manfaat yang baik lalu kita melanggarnya, ketahuilah bahwa kita adalah ahlu nafs. dalam konteks mahasiswa misalnya, memprotes dosen secara berlebihan hanya karena agar mendapat keringanan dan nilai yang baik, itu pelanggaran. Berdiskusi hanya untuk mempertahankan pendapat, dan tidak mencari kebenaran, itu pelanggaran. Memplagiat hasil tugas, makalah atau sejenisnya, itu juga pelanggaran. Ngopi di kantin dan ngluyur tidak membayar, apalagi. Nah, sesungguhnya kita dikelilingi oleh hal-hal seperti itu, namun secara sadar atau tidak kita menghiraukannya. Anda punya pilihan untuk berusaha sadar atau tidak.
Hidup kata banyak orang adalah pilihan. Tidak ada salahnya, yang salah itu jika hidup tidak punya pilihan. Klontang-klantung ngalor ngidul gak jelas arahnya. Ada temannya ngopi, ikut ngopi, ada temannya ngaji ikut-ikutan ngaji, ada temannya mele’an bengi, ikut nimbrung. Anda punya hak penuh dalam menentukan arah jalan anda, mau jadi preman, ya silahkan. Lo koq silahkan, bukannya dilarang. Jangan suudzon dulu, preman belum tentu identik dengan orang yang kasar, bertato, misah-misuh, hidupnya di terminal atau di stasiun, sering malakin  orang. Belum tentu. Bukankah kita bisa menjadi preman surga, bukan preman neraka. Sekalipun agak aneh jika terdengar “preman” tapi koq preman surga. ya ndak apa-apa kan, kolaborasi antara “preman” dan “surga”, lha wong cuma masalah kebahasaan. Yang penting titik subtansinya tetap mengarah pada kebaikan. sekali lagi, sebuah pilihan menentukan tata hidup kita sebagai manusia. Memilih baik dan buruk, diperbudak nafsu atau memperbudak nafsu, menjadi preman “yang” surga atau preman “yang” neraka.  
Hanya ada dua dintara satu pilihan, terkadang jika ingin mencari-cari alasan, diambilnya dua pilihan sebagai perbaikan. Kembali pada contoh diatas, memilih ibu atau pacar. Orang yang dalam ranah mencari-cari alasan akan mengatakan “kan kita bisa menjemput pacar, habis itu kita menjenguk ibu”. Nah, kita masih model seperti itu. Saya, anda, dan semuanya. Kita belum menemukan satu titik subtansial yang mengakar.
Live is choice. Just one choice.
Malang, 16 Maret 2011