Di pesantren sederhana ini, ada
banyak hal yang membuatku merasa harus slulup untuk selalu menemukan hikmah,
nilai-nilai kebenaran, pola sosialitas yang cair agar setiap jejak langkah
diriku sebagai manusia semakin tertata dan tidak terjebak pada dua pilihan. Menjadi
syetan atau malaikat. Pun seandainya dalam dimensi waktu tertentu terpaksa aku
harus mensyetankan maupun me-malaikatkan
diri aku tetap sadar bahwa aku tetaplah seorang manusia.
Begitu dieksploitirnya pengetahuan
agama, sajak-sajak kehidupan, syair-syair Tuhan oleh mereka yang berpengetahuan
untuk bergerak bebas padahal telah melampaui batas. Mencari sela
ditengah-tengah rintikan hujan, padahal itu mustahil. Sedemikian rupa tingkat
kecerdikan manusia hingga ia mampu mempermainkan, berdialektika tentang apa-apa
yang menjadi tujuannya. Yang kurasa, semakin cerdas, pintar seseorang semakin
pintar pula ia menggunakan kepintarannya dalam hal apa saja. Itulah manusia.
Manusia itu…
Begitu unik. Heterogensi ke-alamiahannya
dalam mengolah tatanan mentalnya, cara berfikirnya, kesadaran dalam bertindak
maupun berucapnya diilhami oleh unsur-unsur yang semua makhluk tidak
dimilikinya. Malaikat atau iblis, syetan misalnya. Mereka adalah makhluk
statis, tidak punya parameter, bangunan prinsip dimana keduanya tak mampu untuk
menentukan pilihan-pilihan. Sekalipun malaikat berada di diskotik, berkumpul
dengan penjudi, pemabuk, bersenang ria dengan tante-tante girang, ia tetaplah
malaikat. Struktur kepribadian, sifat, asas tindak tanduknya, elemen mental dan
softwarenya adalah kebaikan. Ia tidak akan berpengaruh sedikitpun terhadap apa
saja diluar kebaikan dan kebenaran. Sedikitpun tak kuasa ia melebur dalam
keburukan. Tuhan perintahkan malaikat bersujud dalam Ars’ hingga hari kiamat
pun, tak akan sejengkal kepalanya mengangkat dari tempat sujudnya.
Sama halnya dengan Iblis maupun syetan.
Seluruh dimensi watak dan mentalnya Tuhan tempatkan dalam nilai yang kita
menyebutkan dengan kesesatan, keburukan, kemunafikan. Sebagai penyembang kosmos
dunia antara putih dan hitam. Pada kegelapanlah kita akhirnya merindukan
cahaya, dengan keburukanlah kita mengenal kebenaran atau kebaikan.
Manusia itu…
Dibekali Allah multidimensi
karakter, kekuatan, cara pandang, perilaku—dimana semua itu bisa berubah sesuai
dengaan waktu. Ia dikaruniai nikmat pilihan. Bisa menjadi malaikat sedetik
kemudian mampu menjadi syetan. Allah membekali makhluk sempurna ini dengan akal
fikiran. Sebuah chip dengan energy makro yang transparan. Transparan terhadap
pengetahuan, hakikat kehidupan karena ia sesungguhnya adalah khalifah,
pemimpin.
Manusia itu…
Punya kecenderungan sifat, potensi
yang luar biasa. ia terbekali dengan anatomi tubuh, berbagai indra yang jika
dimaksimalkan dengan bener-bener, mau menemukan jati diri dan potensinya ia
akan menjadi makhluk luar biasa. Makhluk multi telenta, mampu menerobos
kebuntuan-kebuntuan hiruk pikuknya dunia dengan ilmunya, pengetahuan orsinilnya—sebagai
manusia. Aku ingin berfikir ngawur kali ini. Pada saatnya nanti, ketika
yaumul hisab tiba waktunya manusia akan digilir, diminta pertanguungjawaban
atas apa-apa yang ia lakukan di dunia. ia diinterogasi. Apa yang sudah kau
lihat dengan matamu, yang kau gerakkan dengan kedua tanganmu, dimana kau
langkahkan kakimu, apa yang kau dengar dari kedua telingamu, apa yang
dihasilkan oleh cara berfikir akalmu, apa yang kau rasa dengan hatimu.
Ia tidak akan menjawab semua
pertanyaan itu karena yang menjawab adalah seluruh indranya masing-masing. Dari
mata hingga kaki berkata jujur, objektif terhadap segala hal-hal yang dilakukan
oleh tuannya didunia. Lengkap, catatan-catatan hitam maupun putih tertera jelas
dalam penuturan mereka.
Aku ingin mengatakan. Jika demikian,
bukankah seluruh anatomi tubuh dan indra ini hidup, mempunyai ruh. Tidak hanya
secara jasad utuh ke-manusiaan kita saja yang tertiup ruh. Maka, temukan
kekuatan tanganmu, potensi penglihatanmu, sensivitas pendengaranmu, ketajaman
berfikirmu, kedalaman rasa dalam hatimu. Ia menyatu dalam sukma kemanusiaanmu. Mereka
hidup dan menunggu perintah kekhalifahanmu. Sebagai manusia, sebagai hamba
Tuhan.
Kuurai sedemikian rupa hikmah-hikmah
di pesantren kecil ini. Bergeliat dengan kemalasan, aturan-aturan kultural,
hingga pada ritual sunyi yang aku tak mampu menemukan dimana kesunyiannya.
Anshofa, 27 Rajab 1434/06 Juni 2013