Minggu, 11 Agustus 2013

Renung Senja #8



Benar-benar harus tahan banting. Beban mental, tanggung jawab moral, sosial, heterogensi masyarakat dalam membangun system kedasaran natural antar manusianya. Ketika kesadaran mulai menjadi pola fikir, maka peraturan hanya menjadi tatanan hidup nomor sekian karena semua manusia sudah tidak membutuhkan atur-mengatur dalam berdialektika sosial. Sungguh nyaman dan mesra, tatakala hubungan suatu komunitas, kelompok, masyarakat tertata dengan apik, penuh dengan paguyuban ilmu, semangat kultural kolegial dalam mengayuh peradaban manusia yang disebut dengan masyarakat madani. Sudah tidak dibutuhkan lagi idiom-idiom afala ta’kilun, afala tatafakkarun, afala tadzakkarun. Sindiran “apakah kau tidak berfikir, mengapa kau tidak menganalisis, mengapa kau tidak sadar’ hanya menjadi sindrom, racun yang ditakuti setiap manusia karena akan menempatkan mereka pada golongan khasirun. Sudah rugi gak entuk bati.
 
Kebahagiaanku sebagai makhluk merdeka adalah tatkala semua orang bisa menempatkan kemerdekaannya dimana mereka berada. Pun, tetap pada koridor, batasan-batasan dimana kemerdekaan tetap membutuhkan aturan. Makan soto, rawon itu nikmat tapi kalau perutmu sudah mancal-mancal, aturan fairnya kau harus sudahi nggragasmu mangan. Jika kau tak bisa menjaga objektivitas perut, maka segala penilaianmu tentang sesuatu akan jauh dari keadilan, pun juga objektivitas. Rentetannya demikian.