Benar-benar harus tahan banting. Beban
mental, tanggung jawab moral, sosial, heterogensi masyarakat dalam membangun system
kedasaran natural antar manusianya. Ketika kesadaran mulai menjadi pola fikir,
maka peraturan hanya menjadi tatanan hidup nomor sekian karena semua manusia
sudah tidak membutuhkan atur-mengatur dalam berdialektika sosial. Sungguh
nyaman dan mesra, tatakala hubungan suatu komunitas, kelompok, masyarakat
tertata dengan apik, penuh dengan paguyuban ilmu, semangat kultural kolegial
dalam mengayuh peradaban manusia yang disebut dengan masyarakat madani. Sudah
tidak dibutuhkan lagi idiom-idiom afala
ta’kilun, afala tatafakkarun, afala tadzakkarun. Sindiran “apakah kau tidak
berfikir, mengapa kau tidak menganalisis, mengapa kau tidak sadar’ hanya
menjadi sindrom, racun yang ditakuti setiap manusia karena akan menempatkan
mereka pada golongan khasirun. Sudah
rugi gak entuk bati.
Kebahagiaanku sebagai makhluk merdeka
adalah tatkala semua orang bisa menempatkan kemerdekaannya dimana mereka berada.
Pun, tetap pada koridor, batasan-batasan dimana kemerdekaan tetap membutuhkan
aturan. Makan soto, rawon itu nikmat tapi kalau perutmu sudah mancal-mancal, aturan fairnya kau harus
sudahi nggragasmu mangan. Jika kau
tak bisa menjaga objektivitas perut, maka segala penilaianmu tentang sesuatu
akan jauh dari keadilan, pun juga objektivitas. Rentetannya demikian.