Dalam kesendirian, ku mencari-cari
tentang siapa, mengapa, dan ada apa dengan diriku ini. Semakin kuraba dan
kucari bertambah semu dan tak kunjung berada diri ini. jika ku melihat rektor
kampus berpidato yang pidatonya memikat banyak orang, aku bergumam
“ehm..mungkin masa depan saya akan cemerlang, secemerlang pidatonya yg memikat
orang. Jika kumelihat teman-teman mahasiswa yang demo menggugat birokrasi dan
kampus, aku mem-batin” kerusuhan akan selalu datang jika ada kebijakan yang tak berpihak. Jika
kumelihat eksistensi mahasiswa dalam menapak prestasi dan akademik, aku
bermimpi, “kesuksesan bukan milik mereka yang menunggu, tapi milik mereka yang
mau menyerbu dan tidak berpaku. Lalu, jika ku melihat, ketimpangan sosial,
banyaknya anak-anak jalanan, para pengemis di rambu-rambu lalu lintas, maraknya
kekerasan atas nama agama, perpolitikan yang tidak sehat, semakin menanjaknya
tingkat kemiskinan, semakin tertinggalnya peradaban, menipisnya jiwa
nasionalisme, aku berperang batin,” Ya Allah..siapakah seharusnya disalahkan,
siapakah yang bertanggung jawab, pemerintahkah, warga negarakah, para
intelekkah, ah..tahi kucing semuanya, semua merasa benar dan sok suci dengan
diri sendiri. Semuanya mengagung-agungkan jabatan dan harta. Mereka mengaku
“manusia”, tapi tak memanusiakan, mereka mengaku cendekiawan, tapi tak setetes
ilmunya dibaktikan dan diamalkan. Mereka mengaku tokoh agama, tapi bagi rakyat
“agama” malah menimbulkan ke-kisruhan dan kekerasan. Semuanya serba carut marut
di bumi pertiwi Indonesia. Ah.. tidak, hanya fikiran dan akalku saja yang carut
marut. Semakin lari dan tertinggal..
Dalam kesendirianku, sudah terpecah
belah menjadi pecahan yang tak tampak saking kecilnya. Fikiranku menghembus
kemana-mana, masih terbang mencari jati dirinya, memanjang pohon yang tak
berujung dan tak berbuah. Pernah suatu saat ku berada diemperan depan ka’bah,
sepi tiada manusia pun kecuali aku sendiri. Kupandangi saja ka’bah besar dan
membahana yang berada di depanku. Hajar aswad yang berada di pojok itu
memandangku sinis, meremehkanku. “dasar manusia sombong, tak tahu malu, aku
dulunya berwarna putih mengkilap, tapi sekarang menjadi hitam pekat lantaran
dosa-dosamu yang menempel di badanku. Cuiih.” Aku hanya bisa domblong,
hajar aswad itu meludahi bajuku. Lalu, maqam Ibrahim yang berada tepat
disampingku melakukan hal yang sama, meludahi kakiku, “hei.manusia durjana,
lihatlah dirimu, berani-beraninya kau menginjakkan kakimu ditanah suci, tak
malukah engkau, lihat sekelilingmu, banyak tetanggamu kelaparan membutuhkan
pertolongan, engkau dengan sombongnya memamerkan harta kekayaan dengan berhaji
berkali-kali tanpa “kemaluan”. Aku seperti diintimidaasi, sebelum batu besar
(ka’bah) di depanku melakukan hal yang sama, kutarik diriku kembali ke tempat
muasal, di dunia kenyataan. Ah..ada apa dengan diriku.
Dalam kesendirianku, hubungan emosi
dan batin menjadi satu kelemahan yang tak dapat ku kuasai. Dengan sesama
manusia, aku begitu lemah dan tak berdaya. Tapi, aku tidak menyerah, ku raba
hatiku dan kukatakan padanya “All Is well..(there idiot)”. Agak lumayan, tapi
itu tidak lama, aku semaki lemah dan tak punya kekuatan. Aku terhempas di ujung
asa bahkan di ujung dunia. Di hadapan Tuhan, aku terlempar dan terkapar, tak
mampu sedikitpun ku buka mataku untuk melihatNya, untuk menggegamNya. Sombong
sekali aku ini, Musa As, yang katanya Nabi terkuat diantara Nabi-Nabi yang
lain, mati seketika itu ketika dia mencoba melihat NurNya di gunung
tursina. Lalu, dengan izinNya
dibangkitkan lagi Musa dari “tidurnya”, Musa bertobat dan bersimpuh memohon
ampun atas kelancangannya. Seringkali kesombongan kita menggunung sedemikian
rupa hingga kita tak sadar betapa Tuhan sebenarnya sangat marah karena kita
sedang memakai “bajuNya”.
Dalam kesendirianku, aku masih
sendiri, masih mencari dan menerka dimana sebenarnya aku sedang berdiri dan
berpijak.
Malang,
27 Juni 2011