Senin, 10 Oktober 2011

Kesendirian (ku) Indonesia, Ka’bah, Musa As, Dan baju kesombongan Tuhan.

            Dalam kesendirian, ku mencari-cari tentang siapa, mengapa, dan ada apa dengan diriku ini. Semakin kuraba dan kucari bertambah semu dan tak kunjung berada diri ini. jika ku melihat rektor kampus berpidato yang pidatonya memikat banyak orang, aku bergumam “ehm..mungkin masa depan saya akan cemerlang, secemerlang pidatonya yg memikat orang. Jika kumelihat teman-teman mahasiswa yang demo menggugat birokrasi dan kampus, aku mem-batin” kerusuhan akan selalu datang  jika ada kebijakan yang tak berpihak. Jika kumelihat eksistensi mahasiswa dalam menapak prestasi dan akademik, aku bermimpi, “kesuksesan bukan milik mereka yang menunggu, tapi milik mereka yang mau menyerbu dan tidak berpaku. Lalu, jika ku melihat, ketimpangan sosial, banyaknya anak-anak jalanan, para pengemis di rambu-rambu lalu lintas, maraknya kekerasan atas nama agama, perpolitikan yang tidak sehat, semakin menanjaknya tingkat kemiskinan, semakin tertinggalnya peradaban, menipisnya jiwa nasionalisme, aku berperang batin,” Ya Allah..siapakah seharusnya disalahkan, siapakah yang bertanggung jawab, pemerintahkah, warga negarakah, para intelekkah, ah..tahi kucing semuanya, semua merasa benar dan sok suci dengan diri sendiri. Semuanya mengagung-agungkan jabatan dan harta. Mereka mengaku “manusia”, tapi tak memanusiakan, mereka mengaku cendekiawan, tapi tak setetes ilmunya dibaktikan dan diamalkan. Mereka mengaku tokoh agama, tapi bagi rakyat “agama” malah menimbulkan ke-kisruhan dan kekerasan. Semuanya serba carut marut di bumi pertiwi Indonesia. Ah.. tidak, hanya fikiran dan akalku saja yang carut marut. Semakin lari dan tertinggal..
            Dalam kesendirianku, sudah terpecah belah menjadi pecahan yang tak tampak saking kecilnya. Fikiranku menghembus kemana-mana, masih terbang mencari jati dirinya, memanjang pohon yang tak berujung dan tak berbuah. Pernah suatu saat ku berada diemperan depan ka’bah, sepi tiada manusia pun kecuali aku sendiri. Kupandangi saja ka’bah besar dan membahana yang berada di depanku. Hajar aswad yang berada di pojok itu memandangku sinis, meremehkanku. “dasar manusia sombong, tak tahu malu, aku dulunya berwarna putih mengkilap, tapi sekarang menjadi hitam pekat lantaran dosa-dosamu yang menempel di badanku. Cuiih.” Aku hanya bisa domblong, hajar aswad itu meludahi bajuku. Lalu, maqam Ibrahim yang berada tepat disampingku melakukan hal yang sama, meludahi kakiku, “hei.manusia durjana, lihatlah dirimu, berani-beraninya kau menginjakkan kakimu ditanah suci, tak malukah engkau, lihat sekelilingmu, banyak tetanggamu kelaparan membutuhkan pertolongan, engkau dengan sombongnya memamerkan harta kekayaan dengan berhaji berkali-kali tanpa “kemaluan”. Aku seperti diintimidaasi, sebelum batu besar (ka’bah) di depanku melakukan hal yang sama, kutarik diriku kembali ke tempat muasal, di dunia kenyataan. Ah..ada apa dengan diriku.
            Dalam kesendirianku, hubungan emosi dan batin menjadi satu kelemahan yang tak dapat ku kuasai. Dengan sesama manusia, aku begitu lemah dan tak berdaya. Tapi, aku tidak menyerah, ku raba hatiku dan kukatakan padanya “All Is well..(there idiot)”. Agak lumayan, tapi itu tidak lama, aku semaki lemah dan tak punya kekuatan. Aku terhempas di ujung asa bahkan di ujung dunia. Di hadapan Tuhan, aku terlempar dan terkapar, tak mampu sedikitpun ku buka mataku untuk melihatNya, untuk menggegamNya. Sombong sekali aku ini, Musa As, yang katanya Nabi terkuat diantara Nabi-Nabi yang lain, mati seketika itu ketika dia mencoba melihat NurNya di gunung tursina.  Lalu, dengan izinNya dibangkitkan lagi Musa dari “tidurnya”, Musa bertobat dan bersimpuh memohon ampun atas kelancangannya. Seringkali kesombongan kita menggunung sedemikian rupa hingga kita tak sadar betapa Tuhan sebenarnya sangat marah karena kita sedang memakai “bajuNya”.
            Dalam kesendirianku, aku masih sendiri, masih mencari dan menerka dimana sebenarnya aku sedang berdiri dan berpijak.
Malang, 27 Juni 2011