Sulit rasanya untuk menebak, apakah kami disini dianggap urakan,
kurang ajar, nakal structural, dan prasangka negative lainnya. Rasa-rasanya,
inilah proses pendewasaan yang vital tentang psikologi kami sebagai pemuda,
sebagai tunas bangsa (cieh..ciehh).
Apakah sebegitunya kami dianggap nakal hingga tidak ada celah kebaikan yang
selama ini kami perbuat. Nilai-nilai ketaatan, kebenaran yang selama ini kami
lakukan hilang begitu saja dengan satu keteledoran yang itu dianggap kenakalan.
Lho, kami bukan malaikat, kami bukan setan. Kami manusia, makhluk dinamis yang
sewaktu-waktu hasrat untuk lupa, melakukan salah memang menjadi kodrat mutlak.
Kami ingin berproses menjadi manusia baik-baik, yang melakukan
segala nilai-nilai kebenaran tanpa ada pemaksaan, tanpa
kepentingan-kepentingan, juga tanpa menyakiti hati siapapun. Tidak gampang
memang. Tapi paling tidak, dengarkan suara hati, resapi kehadiran kami disini
bukan sebagai halangan, bukan sebagai tamu tak diundang. Kami ingin dipeluk,
dirangkul, dianggap anak, disapa dengan sentuhan bukan dengan ‘pentungan’, ‘keprukan’.
Kami masih muda, hasrat api yang berkobar-kobar dalam diri mudah
terbakar. Dipantik sedikit saja, kebakaran kan terjadi dimana-dimana. Bukan
bermaksud mendongakkan kepala, gede ndas. namun, lebih sensitive
mengenali rasa bahwa seorang pemuda sangat mudah terpancing, gampang emosi,
egois, berontak. Salah kuadrat jika kami disamakan dengan anak-anak yang masih
sekolah.
Yang kusesalkan, mengapa kami tidak diberikan kesempatan untuk
sedikit berungkap, berkata, tentang sesungguhnya apa yang ingin kami pinta.
Tiba-tiba saja, kami dihantam, di-just, dipaksa, untuk melakukan sesuatu
yang paradoksal, bertentangan dengan hati kami. Semakin hancur dan hanya bisa mlongo
ketika kami menyaksikan kebodohan kuadrat yang dipelihara.
Aku sendiri pun merongrong tak tahan. Kuajak semua teman-teman
berunding di sebuah tempat, kuajak mereka keluar. Sejauh mungkin yang tidak
diketahui oleh siapapun, kecuali kami.
‘ Gini aja rek. Kita keluarnya sore, sambil menunggu berbuka
kita keliling di depan kampus Unibraw. Cari takjil, sekalian cuci mata. Kita
absen shalat jama’ah magrib dan tarawih. ‘
‘ Ehmmm….apa ndak berlebihan?’ tukas Ahmad
‘ Ya ndak lah. Maksudku, biar mereka kroso kayak apa kalau
ditinggal sama kita. Merasa kehilangan atau malah senang. Mana pernah mereka
menghargai kerja kita. Yang ada hanya salah melulu. ‘
Sore hingga seperempat malam kami habiskan dengan berbatang-batang
rokok, tidak ketinggalan kopi hitam lekat menemani diskusi, sharing, terhadap
apa yang kami rasa, yang kami alami. Duduk melingkar saling berhadapan,
menemukan idealitas-idelatis cara berfikir yang objektif, menata hati agar apa
yang kami bicarakan benar-benar mengandung maslahat. Bukan madzarat.
‘ Sebelumnya, apa yang kita bicarakan disini aku berharap tidak ada
rasa kebencian, permusuhan terselubung terhadap siapa saja. Kedewasaan dan
sikap saling menghormati sesama itulah prinsip kita’
‘ oke. Sip. Lanjutkan’ sahut yang lain.
Perbincangan malam itu, aku benar-benar tak bisa menahan diri. Yo
wes ceplas-ceplos wae. Apapun pengetahuan tentang kebijakan, keputusan
yang tidak fair menjadi bahan serius pada malam di lesehan lampu merah dieng
kiri jalan itu. semacam konsolidasi kecil-kecilan. Bukan untuk menggugat atau
mencari pembenaran-pembenaran, akan tetapi refleksi, introspeksi diri,
lingkungan, dan lain-lain.
‘ Ini mumpung konco-konco seng tuwek seng ngumpul. Ayok
ngomong apa adanya, transparan mungkin, tidak ada yang ditutup-tutupi. Sudah
sedemikian rupa kita mengabdi, memberikan yang kita bisa, semampu kita. Namun,
sedemian rupa yang kita lakukan ternyata memberikan efek ketidakpercayaan. Aku
merasa dikhianati, sudah tidak nyaman perasaan hati ini. Sangat runyam’
‘ la yo. Sebenarnya maunya dia itu apa to. Mencla-mencle, sak
karepe udele dewe. Isuk dele, bengi tempe. Nggak konsisten. Kita yang jadi
salah terus. Ganyanya aja di depan memuji-muji. Njeketek ujungnya nggak
penak blass.
‘ iya tuhh. Ini lho urusannya cuma moral, akhlak, kok ngawur sekali
maen tembak pakek materi enam ribu segala. Kok cik gobloke, bodone.
‘ Yang kecil dibesarkan, yang besar diremehkan. Lupa pada hal-hal
yang subtantif, lebih tertipu pada sesuatu yang teknis aplikatif. Sek-sek to.
‘
‘ Sebenarnya apa sih maunya dia. Aku rasa dia tidak siap membuat
‘istana’ yang dia bangun. Tergesa-gesa. Tanpa perhitungan, pemetaan, kesiapan
moral maupun spiritual’
Malam yang indah. Melingkar bersama untuk menemukan kejujuran,
kedewasaan, menghimpun kemerdekaan dengan tetap mengenal batas-batas. Apapun
itu, yang kami lontarkan, yang kami caci maki tidak mengurangi sungkem dan
hormat kami kepada dia. Kami tetap mencintainya, bukan memusuhinya, tetap
menjalin silaturahmi. Persoaalan ini tidak akan menjadi seperti ini jika
beberapa dari teman kami tidak melarikan diri, keluar dari barisan karena sudah
tidak tahan dengan sikap, perilaku yang semakin hari semakin bergeser.
Malam yang indah. Semburat tawa, canda, slengean, saling gojlok
menghiasi kemesraan yang terlarut. Ngobrolin birokrasi, perempuan, koleksi
video tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit, dalil-dalil al Qur’an, pijet, kos-kosan
hingga terkuras habis apa-apa yang akan dibicarakan.
Kami tidak sadar bahwa sesungguhnya kami sudah ber-Maiyah.
Perlahan-lahan, hingga memasuki malam yang bisu dan kelam.
Malang,
Ramadhan, 25 Juli 2013