Sabtu, 15 Juni 2013

Para santri cerdas dan hebat



Di pesantren sederhana ini, begitu sukar dan hampir  tak ada celah untuk  sejenak saja duduk melingkar. Meratai pengetahuan, merengkuh perasaan yang terpendam diantara sesama. Disini ini, kedewaasaan benar-benar ditunjang dengan kesadaran tanpa batas. Tanpa batas itu artinya, segala lelaku, komunikasi verbal, ringkih kesunyian hati, canda tawa semuanya berpusar pada kesadaran intuitif bahwa apa yang dilakukan disini atas dasar keinginan mutlak, bukan paksaan apalagi karena aturan. Siapapun yang ingin mencari nilai-nilai kebenaran, lingkaran kemulyaaan dan kesucian maka ia harus menanggalkan segala symbol-simbol, jenis, sifat bawaan ia sebagai keaaslian dirinya sebagai manusia.

Maka, dipesantren sederhana ini tidak ada cukup waktu untuk menilai apakah ia laki-laki atau perempuan, pandai atau bodoh. Semua menyatu dalam prinsip yang sama, komitmen yang terjaga. Bahwa laki-laki atau perempuan tak ada bedanya jika yang dislulupi adalah nilai-nilai kebenaran. 

Di pesantren sederhana ini, kalau nglalar hafalan, melingkar untuk bersholawat, diskusi intelektual, ro’an, masak, bergumul dalam satu aktivitas yang sama sudah tidak diperlukan hijab, tembok raksasa yang menghalangi satu sama lain untuk saling berinteraksi. Karena hijab yang hakiki, sejati sesungguhnya adalah hati itu sendiri. kami biasa bercengkrama, guyonan, masak satu dapur tanpa harus tersekat-sekat—dengan batas kedewasaan dan kesadaran yang tertata. 

Di pesantren sederhan ini, ternyata proses untuk mematangkan diri sebagai manusia benar-benar diuji. Peraturan hanyalah kedok, topeng agar kami mempunyai srategi untuk berkelit—dalam arti yang positive. Disini tidak ada kepemimpinan, karena pemimpin yang sejati adalah mereka yang mau memimpin dirinya sendiri. Tidak ada system management keorganisasian, karena tatkala akal, hati, tangan, kaki bergerak bersama untuk mencari kemulyaan sesungguhnya itulah hakikat kebersamaan. Kebersamaan yang matang, indah dan asyik. 

Di pesantren sederhana ini, kekhusyuan benar-benar menyatu dalam qalbu. Kami lulus untuk urusan ini. Wiridan, membaca hizib, bersholawat kami lewati dengan guyonan, cekakaan, canda tawa yang sesungguhnya dalam sukma yang terdalam kami khusyuk memejamkan mata dan bersila. Silahkan anda cari di pesantren mana saja, dibelahan dunia, di pulau-pulau terpencil peta dunia, aku yakin anda tak dapat menemukan model pesantren seperti ini. Tak akan anda rasakan kesunyian, kekhusyuan layaknya santri disini “mempermainkan” ibadah, wiridan, dan sholawatan. 

Pada akhirnya, kami digembleng agar benar-benar menjadi Al-adzkiya’ Nurus Shofa. Manusia-manusia cerdas yang dari hatinya, akalnya memancarkan cahaya. Cahaya kedewasaan, cahaya kemulyaan, cahaya kemandirian, cahaya kebersamaan, dan cahaya keindahan. 

Malang, 5 Sya’ban 1434/ 13 Juni 2013          

Selasa, 11 Juni 2013

Romobargowo dan kemewahan dunia

Aku ingin tertawa. Sekencang-kencangnya. Ingin menangis. Sederu-derunya. Terhadap keinginan nafsu yang membuat akal dan hatiku buta dan bisu. Kebutaan itu merongrong bagai siuman srigala di tengah sinar rembulan. Membuat sejengkal langkah kakiku lumpuh. Telingaku keluar darah dan nanah yang anyir sekali baunya. Mengeluarkan peluh basah, keringat deras menutupi pori-pori kulitku yang kasar. Terasa panas sekali peluh ini. Benar-benar panas. Tetesannya yang jatuh ke tanah tiba-tiba berubah menjadi percikan api yang membakar. Membakar sedikit demi sedikit apa-apa yang ada disampingku. 

Tiba-tiba angin berhembus. Perlahan namun pasti. Hembusannya terasa sejuk, kemudian hangat, lalu berubah lagi menjadi panas. Seperti sinar matahari membakar kulit jika kau terhempas di tengah samudra. Rambut panjangku terurai. Lalu tiba-tiba rontok perlahan. Ada apa ini. 

Angin itu berubah menjadi kencang. Kencang sekali. Kerikil, bebatuan, daun-daun kering, besi, tanah liat disekitarku beterbangan. Membentuk sebuah poros deras yang melingkar. Berputar terus berputar. Aku terjebak di tengah derasnya porosan itu. Aku ketakutan. Di tempat gelap nan dingin ini aku tak ada teman. Kepada siapa aku meminta bantuan. 

Kumencoba keluar dari derasnya porosan itu. Kusingkap. Cruuuuuuus. Tanganku berdarah. Ternyata semakin deras membuat poros itu seakan menjadi silet tajam. Aku tak bisa keluar darinya. Aku menjerit sekeras-kerasnya. Berharap ada seseorang yang mendengar teriakanku. Nihil. Aku pasrah. 

Aku hanya diam tak berbuat apa-apa. Yang kulihat hanya putaran-putaran deras mengelilingiku. Dua jam, tiga jam hingga lima jam aku terjebak. Tiba-tiba, seseorang menarik tanganku denan keras. Keras sekali. Hingga aku terlempar beberapa meter darinya. Kepalaku terhantam batu. Mengeluarkan darah kental di ujung pelipisku. Sambil meringis kesakitan, kucoba menerawang siapa yang ada dihadapanku. Agak samar, karena hantaman itu juga berpengaruh terhadap penglihatanku.

Sosoknya besar, besar sekali. Tingginya lima kaki dari tinggiku. Rambutnya panjang terurai. Memakai jubbah panjang hitam. Seekor rajawali hinggap di pundaknya. Matanya yang tajam menatapku penuh kedengkian, kesombongan, tapi kurasakan bahwa matanya diam-diam menyimpan kelembutan. 

Dia menghampiriku yang terseok-seok. Ya Allah…siapa dia. Aku tak mampu berdiri. Tiba-tiba kakiku serasa lumpuh. Aku hanya bisa merangkak kebelakang untuk menghindarinya. Kusingkap sebuah batu, bersiap-siap jika ada sesuatu yang terjadi. 

“ Tak usah kau mencoba melarikan diri, percuma” katanya

Dia bisa mendengar fikiranku. Sedang dia semakin mendekat. Dia mencengkram bajuku. Ditariknya dengan keras hingga terkoyak. Aku telanjang dada. Tak puas. Dia mencekkiku hingga aku terangkat. Persis di wajahnya aku bertatap dengannya. 

“Kau tahu aku kan”?

“ Kau Romobargowo” ucapku tak kuat. 

Aku dilempar hingga terhempas ke pepohonan. Sepertinya tulang punggungku retak. Aku semakin tak bisa berbuat apa-apa. Kalaupun Allah menakdirkanku mati dengan cara seperti ini, sekali lagi aku hanya bisa pasrah. 

            “ Camkan, begitu terpedayanya kau dengan kemesraan dunia. Hingga kau tak sadar dan menjadi lupa. Bodooh. Ingin sekali kumakan daging, jantung, dan telingamu. Tapi tidak sekarang. Sekali lagi dengarkan ucapanku. Jika kau terus melakukan hal-hal bodoh, tak berguna, memubadzirkan hal-hal yang baik. Aku akan datang kepadamu di lain waktu. Ini peringatan untukmu”. Ucapnya dengan lantang”. 

            Aku hanya menundukkan kepala dalam cengkraman tangannya. Nafasku naik turun karena tak kuasa menahan cekikannya. Ia melepaskku, aku dilempar beberaapa meter ke depan. Aku terjerembab dan ia tak peduli. Ia berdiri di hadapanku, mengambil ruang, menata posisi yang pas dan ia bersila di hadapanku. 

            “ Kau sudah mementingakan dunia sedemikian rupa, hingga kau lalai kepada Tuhan. Apa kau tak ingat kisah Mush'ab bin Umair. Pemuda gagah yang rela karena Allah meninggalkan kemewahan dunianya” Makhluk yang mengaku bernama Romobargowo itu tiba-tiba berkata dengan lembut.

            “ Aku pernah membacanya di sebuah kitab, namun aku lupa hikmah apa yang tertulis dalam kisah itu “ 

            Ia menatapku lama. Menyelidik berbagai gemuruh isi fikiran dan hatiku. Rambut panjangnya terurai dalam hembusan angin malam.  Ia mulai berkisah. 

            “Suatu hari, Mush'ab bin Umair mendengar berita yang telah tersebar luas di kalangan warga Makkah mengenai Muhammad Al-Amin, yang mengatakan dirinya telah diutus Allah sebagai pembawa berita suka maupun duka, sebagai dai yang mengajak umat beribadah kepada Allah Yang Maha Esa.

Di antara berita yang didengarnya ialah bahwa Rasulullah bersama pengikutnya biasa mengadakan pertemuan di suatu tempat yang terhindar jauh dari gangguan gerombolan Quraisy dan ancaman-ancamannya, yaitu di bukit Shafa di rumah Arqam bin Abil Arqam. 

Maka pada suatu senja, didorong oleh kerinduannya, pergilah ia ke rumah Arqam menyertai rombongan itu. Di tempat itu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sering berkumpul dengan para sahabatnya, mengajarkan mereka ayat-ayat Alquran dan mengajak mereka beribadah kepada Allah Yang Maha Akbar.

Baru saja Mush'ab mengambil tempat duduknya, ayat-ayat Alqur'an mulai mengalir dari kalbu Rasulullah bergema melalui kedua bibirnya dan sampai ke telinga, meresap di hati para pendengar. Di senja itu Mush'ab pun terpesona oleh untaian kalimat Rasulullah yang tepat menemui sasaran di kalbunya.

Khunas binti Malik yakni ibunda Mush'ab, adalah seorang yang berkepribadian kuat dan pendiriannya tak dapat ditawar atau diganggu gugat, Ia wanita yang disegani bahkan ditakuti. Ketika Mush'ab memeluk Islam, tiada satu kekuatan pun yang ditakuti dan dikhawatirkannya selain ibunya sendiri. 

Bahkan walau seluruh penduduk Makkah beserta berhala-berhala para pembesar dan padang pasirnya berubah rupa menjadi suatu kekuatan yang menakutkan yang hendak menyerang dan menghancurkannya, tentulah Mush'ab akan menganggapnya enteng. Tapi tantangan dari ibunya, bagi Mush'ab tidak dapat dianggap kecil. Ia pun segera berpikir keras dan mengambil keputusan untuk menyembunyikan keislamannya sampai terjadi sesuatu yang dikehendaki Allah.

Demikianlah ia senantiasa bolak-balik ke rumah Arqam menghadiri majelis Rasulullah, sedang hatinya merasa bahagia dengan keimanan dan sedia menebusnya dengan amarah murka ibunya yang belum mengetahui berita keislamannya. Tetapi di kota Makkah tiada rahasia yang tersembunyi, apalagi dalam suasana seperti itu. Mata kaum Quraisy berkeliaran di mana-mana mengikuti setiap langkah dan menyelusuri setiap jejak. Kebetulan seorang yang bernama Utsman bin Thalhah melihat Mush'ab memasuki rumah Arqam secara sembunyi. Kemudian pada hari yang lain dilihatnya pula ia shalat seperti Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Secepat kilat ia mendapatkan ibu Mush'ab dan melaporkan berita yang dijamin kebenarannya.

Berdirilah Mush'ab di hadapan ibu dan keluarganya serta para pembesar Makkah yang berkumpul di rumahnya. Dengan hati yang yakin dan pasti dibacakannya ayat-ayat Alquran yang disampaikan Rasulullah untuk mencuci hati nurani mereka, mengisinya dengan hikmah dan kemuliaan, kejujuran dan ketakwaan.

Ketika sang ibu hendak membungkam mulut putranya dengan tamparan keras, tiba-tiba tangan yang terulur bagai anak panah itu surut dan jatuh terkulai, ketika melihat cahaya yang membuat wajah putranya berseri cemerlang itu kian berwibawa. Karena rasa keibuannya, ibunda Mush'ab tak jadi menyakiti putranya. Dibawalah puteranya itu ke suatu tempat terpencil di rumahnya, lalu dikurung dan dipenjarakannya dengan rapat.

Demikianlah beberapa lama Mush'ab tinggal dalam kurungan sampai saat beberapa orang Muslimin hijrah ke Habasyah. Mendengar berita hijrah ini Mush'ab pun mencari muslihat, dan berhasil mengelabui ibu dan penjaga-penjaganya, lalu pergi ke Habasyah melindungkan diri. Ia tinggal di sana bersama saudara-saudaranya kaum Muslimin, lalu pulang ke Makkah. Kemudian ia pergi lagi hijrah kedua kalinya bersama para sahabat atas titah Rasulullah dan karena taat kepadanya.

Pada Suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang Muslimin yang sedang duduk sekeliling Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Demi memandang Mush'ab, mereka menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush'ab memakai jubah usang yang bertambal-tambal, padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka—pakaiannya sebelum masuk Islam—tak ubahnya bagaikan kembang di taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau yang wangi.    
           
Adapun Rasulullah, menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati. Pada kedua bibirnya tersungging senyuman mulia, seraya berkata, "Dahulu aku lihat Mush'ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya." 
(Abu Dzakir )

Tiba-tiba ia menghilang. Disertai dengan pusaran itu. Aku hanya meringis kesakitan. Aku hanya sendirian di tengah gelapnya malam. Kedinginan tanpa selimut tebal. Luluh lantah badanku, hancur lebur indra-indraku. 

Malang, November 2012.
01.37 Wib dini hari

      

Jumat, 07 Juni 2013

Aku tak sadar bahwa ternyata aku manusia



Di pesantren sederhana ini, ada banyak hal yang membuatku merasa harus slulup untuk selalu menemukan hikmah, nilai-nilai kebenaran, pola sosialitas yang cair agar setiap jejak langkah diriku sebagai manusia semakin tertata dan tidak terjebak pada dua pilihan. Menjadi syetan atau malaikat. Pun seandainya dalam dimensi waktu tertentu terpaksa aku harus mensyetankan  maupun me-malaikatkan diri aku tetap sadar bahwa aku tetaplah seorang manusia. 

Begitu dieksploitirnya pengetahuan agama, sajak-sajak kehidupan, syair-syair Tuhan oleh mereka yang berpengetahuan untuk bergerak bebas padahal telah melampaui batas. Mencari sela ditengah-tengah rintikan hujan, padahal itu mustahil. Sedemikian rupa tingkat kecerdikan manusia hingga ia mampu mempermainkan, berdialektika tentang apa-apa yang menjadi tujuannya. Yang kurasa, semakin cerdas, pintar seseorang semakin pintar pula ia menggunakan kepintarannya dalam hal apa saja. Itulah manusia. 

Manusia itu…

Begitu unik. Heterogensi ke-alamiahannya dalam mengolah tatanan mentalnya, cara berfikirnya, kesadaran dalam bertindak maupun berucapnya diilhami oleh unsur-unsur yang semua makhluk tidak dimilikinya. Malaikat atau iblis, syetan misalnya. Mereka adalah makhluk statis, tidak punya parameter, bangunan prinsip dimana keduanya tak mampu untuk menentukan pilihan-pilihan. Sekalipun malaikat berada di diskotik, berkumpul dengan penjudi, pemabuk, bersenang ria dengan tante-tante girang, ia tetaplah malaikat. Struktur kepribadian, sifat, asas tindak tanduknya, elemen mental dan softwarenya adalah kebaikan. Ia tidak akan berpengaruh sedikitpun terhadap apa saja diluar kebaikan dan kebenaran. Sedikitpun tak kuasa ia melebur dalam keburukan. Tuhan perintahkan malaikat bersujud dalam Ars’ hingga hari kiamat pun, tak akan sejengkal kepalanya mengangkat dari tempat sujudnya.  

Sama halnya dengan Iblis maupun syetan. Seluruh dimensi watak dan mentalnya Tuhan tempatkan dalam nilai yang kita menyebutkan dengan kesesatan, keburukan, kemunafikan. Sebagai penyembang kosmos dunia antara putih dan hitam. Pada kegelapanlah kita akhirnya merindukan cahaya, dengan keburukanlah kita mengenal kebenaran atau kebaikan.
  
Manusia itu…

Dibekali Allah multidimensi karakter, kekuatan, cara pandang, perilaku—dimana semua itu bisa berubah sesuai dengaan waktu. Ia dikaruniai nikmat pilihan. Bisa menjadi malaikat sedetik kemudian mampu menjadi syetan. Allah membekali makhluk sempurna ini dengan akal fikiran. Sebuah chip dengan energy makro yang transparan. Transparan terhadap pengetahuan, hakikat kehidupan karena ia sesungguhnya adalah khalifah, pemimpin. 

Manusia itu…

Punya kecenderungan sifat, potensi yang luar biasa. ia terbekali dengan anatomi tubuh, berbagai indra yang jika dimaksimalkan dengan bener-bener, mau menemukan jati diri dan potensinya ia akan menjadi makhluk luar biasa. Makhluk multi telenta, mampu menerobos kebuntuan-kebuntuan hiruk pikuknya dunia dengan ilmunya, pengetahuan orsinilnya—sebagai manusia. Aku ingin berfikir ngawur kali ini. Pada saatnya nanti, ketika yaumul hisab tiba waktunya manusia akan digilir, diminta pertanguungjawaban atas apa-apa yang ia lakukan di dunia. ia diinterogasi. Apa yang sudah kau lihat dengan matamu, yang kau gerakkan dengan kedua tanganmu, dimana kau langkahkan kakimu, apa yang kau dengar dari kedua telingamu, apa yang dihasilkan oleh cara berfikir akalmu, apa yang kau rasa dengan hatimu. 

Ia tidak akan menjawab semua pertanyaan itu karena yang menjawab adalah seluruh indranya masing-masing. Dari mata hingga kaki berkata jujur, objektif terhadap segala hal-hal yang dilakukan oleh tuannya didunia. Lengkap, catatan-catatan hitam maupun putih tertera jelas dalam penuturan mereka. 

Aku ingin mengatakan. Jika demikian, bukankah seluruh anatomi tubuh dan indra ini hidup, mempunyai ruh. Tidak hanya secara jasad utuh ke-manusiaan kita saja yang tertiup ruh. Maka, temukan kekuatan tanganmu, potensi penglihatanmu, sensivitas pendengaranmu, ketajaman berfikirmu, kedalaman rasa dalam hatimu. Ia menyatu dalam sukma kemanusiaanmu. Mereka hidup dan menunggu perintah kekhalifahanmu. Sebagai manusia, sebagai hamba Tuhan.               

Kuurai sedemikian rupa hikmah-hikmah di pesantren kecil ini. Bergeliat dengan kemalasan, aturan-aturan kultural, hingga pada ritual sunyi yang aku tak mampu menemukan dimana kesunyiannya. 

Anshofa, 27 Rajab 1434/06 Juni 2013