Di pesantren sederhana ini, begitu sukar
dan hampir tak ada celah untuk sejenak saja duduk melingkar. Meratai pengetahuan,
merengkuh perasaan yang terpendam diantara sesama. Disini ini, kedewaasaan
benar-benar ditunjang dengan kesadaran tanpa batas. Tanpa batas itu artinya,
segala lelaku, komunikasi verbal, ringkih kesunyian hati, canda tawa semuanya
berpusar pada kesadaran intuitif bahwa apa yang dilakukan disini atas dasar
keinginan mutlak, bukan paksaan apalagi karena aturan. Siapapun yang ingin
mencari nilai-nilai kebenaran, lingkaran kemulyaaan dan kesucian maka ia harus
menanggalkan segala symbol-simbol, jenis, sifat bawaan ia sebagai keaaslian
dirinya sebagai manusia.
Maka, dipesantren sederhana ini tidak ada
cukup waktu untuk menilai apakah ia laki-laki atau perempuan, pandai atau
bodoh. Semua menyatu dalam prinsip yang sama, komitmen yang terjaga. Bahwa laki-laki
atau perempuan tak ada bedanya jika yang dislulupi adalah nilai-nilai
kebenaran.
Di pesantren sederhana ini, kalau nglalar
hafalan, melingkar untuk bersholawat, diskusi intelektual, ro’an, masak,
bergumul dalam satu aktivitas yang sama sudah tidak diperlukan hijab, tembok
raksasa yang menghalangi satu sama lain untuk saling berinteraksi. Karena hijab
yang hakiki, sejati sesungguhnya adalah hati itu sendiri. kami biasa bercengkrama,
guyonan, masak satu dapur tanpa harus tersekat-sekat—dengan batas kedewasaan
dan kesadaran yang tertata.
Di pesantren sederhan ini, ternyata
proses untuk mematangkan diri sebagai manusia benar-benar diuji. Peraturan hanyalah
kedok, topeng agar kami mempunyai srategi untuk berkelit—dalam arti yang positive.
Disini tidak ada kepemimpinan, karena pemimpin yang sejati adalah mereka yang
mau memimpin dirinya sendiri. Tidak ada system management keorganisasian,
karena tatkala akal, hati, tangan, kaki bergerak bersama untuk mencari
kemulyaan sesungguhnya itulah hakikat kebersamaan. Kebersamaan yang matang,
indah dan asyik.
Di pesantren sederhana ini, kekhusyuan
benar-benar menyatu dalam qalbu. Kami lulus untuk urusan ini. Wiridan, membaca
hizib, bersholawat kami lewati dengan guyonan, cekakaan, canda tawa yang
sesungguhnya dalam sukma yang terdalam kami khusyuk memejamkan mata dan
bersila. Silahkan anda cari di pesantren mana saja, dibelahan dunia, di
pulau-pulau terpencil peta dunia, aku yakin anda tak dapat menemukan model
pesantren seperti ini. Tak akan anda rasakan kesunyian, kekhusyuan layaknya
santri disini “mempermainkan” ibadah, wiridan, dan sholawatan.
Pada akhirnya, kami digembleng agar
benar-benar menjadi Al-adzkiya’ Nurus Shofa. Manusia-manusia cerdas yang dari
hatinya, akalnya memancarkan cahaya. Cahaya kedewasaan, cahaya kemulyaan,
cahaya kemandirian, cahaya kebersamaan, dan cahaya keindahan.
Malang, 5 Sya’ban 1434/ 13 Juni 2013