Selasa, 11 Juni 2013

Romobargowo dan kemewahan dunia

Aku ingin tertawa. Sekencang-kencangnya. Ingin menangis. Sederu-derunya. Terhadap keinginan nafsu yang membuat akal dan hatiku buta dan bisu. Kebutaan itu merongrong bagai siuman srigala di tengah sinar rembulan. Membuat sejengkal langkah kakiku lumpuh. Telingaku keluar darah dan nanah yang anyir sekali baunya. Mengeluarkan peluh basah, keringat deras menutupi pori-pori kulitku yang kasar. Terasa panas sekali peluh ini. Benar-benar panas. Tetesannya yang jatuh ke tanah tiba-tiba berubah menjadi percikan api yang membakar. Membakar sedikit demi sedikit apa-apa yang ada disampingku. 

Tiba-tiba angin berhembus. Perlahan namun pasti. Hembusannya terasa sejuk, kemudian hangat, lalu berubah lagi menjadi panas. Seperti sinar matahari membakar kulit jika kau terhempas di tengah samudra. Rambut panjangku terurai. Lalu tiba-tiba rontok perlahan. Ada apa ini. 

Angin itu berubah menjadi kencang. Kencang sekali. Kerikil, bebatuan, daun-daun kering, besi, tanah liat disekitarku beterbangan. Membentuk sebuah poros deras yang melingkar. Berputar terus berputar. Aku terjebak di tengah derasnya porosan itu. Aku ketakutan. Di tempat gelap nan dingin ini aku tak ada teman. Kepada siapa aku meminta bantuan. 

Kumencoba keluar dari derasnya porosan itu. Kusingkap. Cruuuuuuus. Tanganku berdarah. Ternyata semakin deras membuat poros itu seakan menjadi silet tajam. Aku tak bisa keluar darinya. Aku menjerit sekeras-kerasnya. Berharap ada seseorang yang mendengar teriakanku. Nihil. Aku pasrah. 

Aku hanya diam tak berbuat apa-apa. Yang kulihat hanya putaran-putaran deras mengelilingiku. Dua jam, tiga jam hingga lima jam aku terjebak. Tiba-tiba, seseorang menarik tanganku denan keras. Keras sekali. Hingga aku terlempar beberapa meter darinya. Kepalaku terhantam batu. Mengeluarkan darah kental di ujung pelipisku. Sambil meringis kesakitan, kucoba menerawang siapa yang ada dihadapanku. Agak samar, karena hantaman itu juga berpengaruh terhadap penglihatanku.

Sosoknya besar, besar sekali. Tingginya lima kaki dari tinggiku. Rambutnya panjang terurai. Memakai jubbah panjang hitam. Seekor rajawali hinggap di pundaknya. Matanya yang tajam menatapku penuh kedengkian, kesombongan, tapi kurasakan bahwa matanya diam-diam menyimpan kelembutan. 

Dia menghampiriku yang terseok-seok. Ya Allah…siapa dia. Aku tak mampu berdiri. Tiba-tiba kakiku serasa lumpuh. Aku hanya bisa merangkak kebelakang untuk menghindarinya. Kusingkap sebuah batu, bersiap-siap jika ada sesuatu yang terjadi. 

“ Tak usah kau mencoba melarikan diri, percuma” katanya

Dia bisa mendengar fikiranku. Sedang dia semakin mendekat. Dia mencengkram bajuku. Ditariknya dengan keras hingga terkoyak. Aku telanjang dada. Tak puas. Dia mencekkiku hingga aku terangkat. Persis di wajahnya aku bertatap dengannya. 

“Kau tahu aku kan”?

“ Kau Romobargowo” ucapku tak kuat. 

Aku dilempar hingga terhempas ke pepohonan. Sepertinya tulang punggungku retak. Aku semakin tak bisa berbuat apa-apa. Kalaupun Allah menakdirkanku mati dengan cara seperti ini, sekali lagi aku hanya bisa pasrah. 

            “ Camkan, begitu terpedayanya kau dengan kemesraan dunia. Hingga kau tak sadar dan menjadi lupa. Bodooh. Ingin sekali kumakan daging, jantung, dan telingamu. Tapi tidak sekarang. Sekali lagi dengarkan ucapanku. Jika kau terus melakukan hal-hal bodoh, tak berguna, memubadzirkan hal-hal yang baik. Aku akan datang kepadamu di lain waktu. Ini peringatan untukmu”. Ucapnya dengan lantang”. 

            Aku hanya menundukkan kepala dalam cengkraman tangannya. Nafasku naik turun karena tak kuasa menahan cekikannya. Ia melepaskku, aku dilempar beberaapa meter ke depan. Aku terjerembab dan ia tak peduli. Ia berdiri di hadapanku, mengambil ruang, menata posisi yang pas dan ia bersila di hadapanku. 

            “ Kau sudah mementingakan dunia sedemikian rupa, hingga kau lalai kepada Tuhan. Apa kau tak ingat kisah Mush'ab bin Umair. Pemuda gagah yang rela karena Allah meninggalkan kemewahan dunianya” Makhluk yang mengaku bernama Romobargowo itu tiba-tiba berkata dengan lembut.

            “ Aku pernah membacanya di sebuah kitab, namun aku lupa hikmah apa yang tertulis dalam kisah itu “ 

            Ia menatapku lama. Menyelidik berbagai gemuruh isi fikiran dan hatiku. Rambut panjangnya terurai dalam hembusan angin malam.  Ia mulai berkisah. 

            “Suatu hari, Mush'ab bin Umair mendengar berita yang telah tersebar luas di kalangan warga Makkah mengenai Muhammad Al-Amin, yang mengatakan dirinya telah diutus Allah sebagai pembawa berita suka maupun duka, sebagai dai yang mengajak umat beribadah kepada Allah Yang Maha Esa.

Di antara berita yang didengarnya ialah bahwa Rasulullah bersama pengikutnya biasa mengadakan pertemuan di suatu tempat yang terhindar jauh dari gangguan gerombolan Quraisy dan ancaman-ancamannya, yaitu di bukit Shafa di rumah Arqam bin Abil Arqam. 

Maka pada suatu senja, didorong oleh kerinduannya, pergilah ia ke rumah Arqam menyertai rombongan itu. Di tempat itu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sering berkumpul dengan para sahabatnya, mengajarkan mereka ayat-ayat Alquran dan mengajak mereka beribadah kepada Allah Yang Maha Akbar.

Baru saja Mush'ab mengambil tempat duduknya, ayat-ayat Alqur'an mulai mengalir dari kalbu Rasulullah bergema melalui kedua bibirnya dan sampai ke telinga, meresap di hati para pendengar. Di senja itu Mush'ab pun terpesona oleh untaian kalimat Rasulullah yang tepat menemui sasaran di kalbunya.

Khunas binti Malik yakni ibunda Mush'ab, adalah seorang yang berkepribadian kuat dan pendiriannya tak dapat ditawar atau diganggu gugat, Ia wanita yang disegani bahkan ditakuti. Ketika Mush'ab memeluk Islam, tiada satu kekuatan pun yang ditakuti dan dikhawatirkannya selain ibunya sendiri. 

Bahkan walau seluruh penduduk Makkah beserta berhala-berhala para pembesar dan padang pasirnya berubah rupa menjadi suatu kekuatan yang menakutkan yang hendak menyerang dan menghancurkannya, tentulah Mush'ab akan menganggapnya enteng. Tapi tantangan dari ibunya, bagi Mush'ab tidak dapat dianggap kecil. Ia pun segera berpikir keras dan mengambil keputusan untuk menyembunyikan keislamannya sampai terjadi sesuatu yang dikehendaki Allah.

Demikianlah ia senantiasa bolak-balik ke rumah Arqam menghadiri majelis Rasulullah, sedang hatinya merasa bahagia dengan keimanan dan sedia menebusnya dengan amarah murka ibunya yang belum mengetahui berita keislamannya. Tetapi di kota Makkah tiada rahasia yang tersembunyi, apalagi dalam suasana seperti itu. Mata kaum Quraisy berkeliaran di mana-mana mengikuti setiap langkah dan menyelusuri setiap jejak. Kebetulan seorang yang bernama Utsman bin Thalhah melihat Mush'ab memasuki rumah Arqam secara sembunyi. Kemudian pada hari yang lain dilihatnya pula ia shalat seperti Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Secepat kilat ia mendapatkan ibu Mush'ab dan melaporkan berita yang dijamin kebenarannya.

Berdirilah Mush'ab di hadapan ibu dan keluarganya serta para pembesar Makkah yang berkumpul di rumahnya. Dengan hati yang yakin dan pasti dibacakannya ayat-ayat Alquran yang disampaikan Rasulullah untuk mencuci hati nurani mereka, mengisinya dengan hikmah dan kemuliaan, kejujuran dan ketakwaan.

Ketika sang ibu hendak membungkam mulut putranya dengan tamparan keras, tiba-tiba tangan yang terulur bagai anak panah itu surut dan jatuh terkulai, ketika melihat cahaya yang membuat wajah putranya berseri cemerlang itu kian berwibawa. Karena rasa keibuannya, ibunda Mush'ab tak jadi menyakiti putranya. Dibawalah puteranya itu ke suatu tempat terpencil di rumahnya, lalu dikurung dan dipenjarakannya dengan rapat.

Demikianlah beberapa lama Mush'ab tinggal dalam kurungan sampai saat beberapa orang Muslimin hijrah ke Habasyah. Mendengar berita hijrah ini Mush'ab pun mencari muslihat, dan berhasil mengelabui ibu dan penjaga-penjaganya, lalu pergi ke Habasyah melindungkan diri. Ia tinggal di sana bersama saudara-saudaranya kaum Muslimin, lalu pulang ke Makkah. Kemudian ia pergi lagi hijrah kedua kalinya bersama para sahabat atas titah Rasulullah dan karena taat kepadanya.

Pada Suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang Muslimin yang sedang duduk sekeliling Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Demi memandang Mush'ab, mereka menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush'ab memakai jubah usang yang bertambal-tambal, padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka—pakaiannya sebelum masuk Islam—tak ubahnya bagaikan kembang di taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau yang wangi.    
           
Adapun Rasulullah, menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati. Pada kedua bibirnya tersungging senyuman mulia, seraya berkata, "Dahulu aku lihat Mush'ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya." 
(Abu Dzakir )

Tiba-tiba ia menghilang. Disertai dengan pusaran itu. Aku hanya meringis kesakitan. Aku hanya sendirian di tengah gelapnya malam. Kedinginan tanpa selimut tebal. Luluh lantah badanku, hancur lebur indra-indraku. 

Malang, November 2012.
01.37 Wib dini hari