Rabu, 27 Februari 2013

Supra Fit dalam konsep Etika, Moral dan Akhlak.


Dengan teman sebaya, aku tancap gas ke Malang kota. Menghadiri maulid bersama IKAPMII di kantor NU Malang. Supra fit siap menunggu di altar musholla depan. Motor butut tahun 2003 yang sampai hari ini masih setia menemani. Pun dengan konsekuensi logis. Namanya motor butut, perkara mogok, busi hangus, lampu kelap-kelip, rantai kendor menjadi bagian estetik dari ke-bututan motor tahun 2003 ini.

Maaf, keindahan itu tidak bisa terlepas dari tiga hal. Estetika, saintika, dan etika. Aksentuasi penerapannya terserah harus dipandang dari sudut mana dan siapa pelakunya. Termasuk teman sejatiku Supra Fit ini. Di dalam rengekan mesinnya, kelap-kelip lampu sorotnya, mengslenya dua kaca spion, deru knalpotnya dan seluruh anatomi mesinnya.

Estetika itu bentuk keindahan, pesona, aura perasaan yang tak terungkap. Perempuan misalnya. Jika bilogisitas menjadi estetik intuitif pada mata anda memandang, ya sudah yang indah hanya itu-itu saja. Eksploitasi sensual menjadi efek paling mengena, bahwa penilaian anda letaknya pada fisik bukan nilai. Hidungnya, matanya, wajahnya, bodinya, mulusnya, de el el. Supra fitku yang jadul, bagiku menyimpan akselerasi estetik yang sufistik (opo iku.hehehe). jadul itulah nilai estetikanya.  

Tingkat kedua adalah saintika. Pengetahuan. Pengetahuan esensi pada manusia sesungguhnya terletak pada dinamika berfikir, merenung, ber-tadabbur, kritis, sebagai landasan dasar dari proses mereka menggali sesuatu, menerapkan kekhalifahan di dunia. membuat stabilitas dimana ia berada. Ia menjadi mukmin—orang yang setia pada amanat— pengetahuan tentang amanat itulah yang menjadikan nilai keindahan menempati spectrum tinggi dalam pencapaian pengetahuan manusia. Amanat untuk ngedusi motor, ndandani busi, ngelap bodi, mungkin juga rajin nyervis di ahass motor. Heuheuheu.

Yang ketiga adalah etika. Beda terminology antara apa itu etika, moral dan akhlak. Etika itu ketika anda melakukan hal-hal—yang mencakup perilaku manusia—secara spontanitas, tetapi didahului oleh metodoli sikap, hakikat filosoif kemanusiaan, pengetahuan dasar akan kesadaran berperilaku. Ia terbangun dari sikap kritis dan komunikasi antar manusia. Anda bisa ngekos, ngontrak selama dua tahun berturut-turut tapi tidak mengenal teman kos samping kamar anda. Lalu anda mulai membuka ruang untuk mengenalnya, menyapanya, bertegur sapa, main-main ke kamarnya untuk membangun hubungan personal diantara sesama. Itulah etika.

Moral, ia adalah produk dari agama dan budaya. Ia bersifat elastis dan relative. Dimana setiap keberagaman budaya, adat, termasuk agama menyimpan heterogensi moral yang berbeda-beda. Orientasi vertikalnya mengacu pada perilaku positif sosialis. Anda menampung anak-anak yatim, mendidiknya dengan baik, mengasuhnya dengan kasih sayang, memberikan ruang kreativitas-kreativitas, agama melegitiminasi anda termasuk orang-orang yang beriman. Kebudayaan menghargai perbuatan anda dengan orang yang bermoral.

Sedang akhlak. Ia jamak dari lafadh khuluk yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat. Seseorang dapat dikatakan berakhlak jika timbul dengan sendirinya dan didorong oleh motivasi dari dalam diri dan dilakukan tanpa banyak pertimbangan, pemikiran apalagi pertimbangan yang sering diulang-ulang, sehingga terkesan sebagai keterpaksaan untuk berbuat. Kesadaran intuitif dalam berperilaku. Setiap pagi, anda berkeliling desa, nyambangi ibu-ibu, nengok ke dapur, lalu memberikan semacam idkholul surur—nambahi uang saku untuk beli beras, uang jajan anak—anda termasuk orang yang berakhlak.

Tiba-tiba aku dikagetkan dengan bau gosong, sepertinya ada yang hangus.

“Aaaaaaa tidaaaaak…!!!”

Busi motorku kobong lagi.  

Nggole’i shiratal mustakim


1 batang surya….
Oke. Stimulus saja. Tulisan ini hadir ditengah ketidak pentingan mengapa aku menulis ini. Jadi, hanya angin yang menyapa saja.

            Aku sangat sadar, sesadar-sadarnya bahwa aku hidup di sebuah golongan, kelompok yang inferior atas kekuasaan structural. Omek (organisasi mahasiswa ekstra kampus) menjadi ladang, sekaligus lahan ilmu, pengalaman, management diriku sebagai mahasiswa. Dinamika pengetahuan akademis hanya menjadi ilmu samping dimana membuatku merasa bosan, terlalu formal, kaku dan bisa ditebak ending dari pengetahuan tersebut. Formula dan sistematikanya kurang asyik, karena pengetahuan akademis kurang estetetik. Ibarat nasi. Dia menjadi hambar tanpa lauk pauk.