Minggu, 24 Januari 2016

URGENSI AL QUR’AN DAN SIKAP KITA TERHADAPNYA

1.1.       Latar Belakang
Memahami arti al-Qur’an merupakan langkah awal untuk lebih jauh memahami kandungan dan pentingnya bagi kehidupan. Maka, perlu dijelaskan  secara epistemologi arti dari al-Qur’an itu sendiri. Disamping itu, memahami arti kata juga merupakan jalan untuk memahami pentingnya al Qur’an dan sikap kita terhadapnya.
            al-Qur’an merupakan masdar yang maknanya sinonim dengan makna qira’ah (bacaan). Hal ini sebagaimana dipakai dalam ayat 17, 18 pada surat al-Qiyamah yang artinya “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu”.[1]
            Secara istilah para ahli ilmu kalam (teologi Islam) berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalimat-kalimat yang maha bijaksana yang azali yang tersusun dari huruf-huruf lafdhiyah, dzihniyah dan ruhiyah. Atau al-Qur’anitu adalah lafal yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW mulai dari awal surat al-Fatihah sampai dengan surah al-Nas, yang mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang terlepas dari sifat-sifat kebendaan dan azali.
            Sedangkan ulama ushuliyyin , fuqaha’ dan ulama ahli bahasa berpendapat bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW mulai awal dari al-Fatihah sampai akhir surah al-Nas.[2]

ISLAM NUSANTARA, SEJARAH KEMUNCULAN DAN KONTROVERSINYA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Melihat sejarah kedatangan Islam di kepulauan Nusantara, yang masuk di tengah kehidupan masyarakat Indonesia saat itu sudah bukan “Islam Asli” seperti yang pertama berkembang di tanah arab. Islam yang datang adalah islam yang telah bertradisi local sesuai tradisi yang dianut para pembawanya.  Sebagaimana yang  diketahui, penyebar Islam yang pertama terdiri dari para pedagang yang berasal dari India selatan atau daerah pantai Malibar, pedagang Cina (Cempa), Persia, dan Arab sendiri. Mereka datang pertama kalinya ke Aceh bersama kepercayaan yang mereka pahami dari suatu aturan atau hokum-hukum Islam. Dengan demikian, Islam disini, di masyarakat yang pada awalnya merupakan jalinan perdagangan kemudian menyebar ke penjuru Indonesia adalah Islam yang telah menyesuaikan dengan keyakinan masyarakat local, karena pertimbangan sosial, budaya, ekonomi, maupun politik.
Islam dan tradisi lokal bertemu, kemudian membentuk konstruk pemahaman yang baru. Baik dari nilai-nilai maupun dari mayarakat itu sendiri. Keduanya bertemu dengan masyarakat, baik secara kolektif maupun individual, tanpa bisa diklasifikasikan secara pasti mana yang berasal dari Islam dan mana yang produk lokal. Lama-lama tradisi itu berkembang, diwariskan dari generasi ke generasi dan ditransmisikan dari masa lalu ke masa kini. Dalam pewarisan itu sebenarnya tidak hanya terjadi secara pasif, tetapi juga dikonstruksikan sesuai dengan yang dipahami ahli waris dalam konteks sosial budaya dimana mereka berada. Pewarisan dan konstruksi ini terjadi melalui serangkaian tindakan yang ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma melalui pengulangan. Jadilah tradisi yang muncul kemudian berada di tengah kombinasi antara tradisi-tradisi pra-Hindu-Budha, tradisi zaman Hindu-Budha, dan tradisi Islam, yang disebutkan sudah tidak asli lagi. Dengan demikian berbicara tradisi Islam disini, tentunya berbicara tentang serangkaian ajaran atau doktrin  yang bercampur jadi satu dan terus berlangsung dari masa lalu sampai sekarang.

POLA ISLAMISASI DI JAWA




BAB I 
PENDAHULUAN 
A.    Latar Belakang
Jawa adalah salah satu pulau di antara 13.000 pulau di indonesia. Ia menjadi tempat berdomisili sebagian besar penduduk Indonesia, karena itu pemerintah sudah sejak lama melaksanakan program transmigran yang dimaksudkan untuk pemerataan tingkat kepadatan penduduk di samping meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Jawa menjadi pusat perhatian keindonesiaan karena beberapa istilah yang berasal dari budaya, falsafah, dan bahasa jawa menjadi simbol bangsa. Beberapa pejabat pemerintah ikut andil dalam mempopulerkan istilah-istilah tersebut sehingga menjadi simbol bangsa itu. Istilah pancasila yang merupakan dasar negara berasal dari bahasa Jawa, begitu juga tulisan yang terpampang pada papan yang dicengkeram kaki burung Garuda, Bhinneka Tunggal Ika.[1]
Sejak zaman prasejarah penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar handal yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antar kepulauan Indonesia dengan daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil yang dijual disana menarik para pedagang dan menjadi lintasan penting antara China dan India.[2]