Sabtu, 16 Maret 2013

Teori Telo Untuk membuat Skripsi

Semua teman-teman harus ngoyo mengejar sesuatu pengetahuan yang tabu, abstrak dan bisu. Enta siiih, intepretasi tentang ketabuan, ke-abstrakan menurutku harus diciptakan dari ruang-ruang gelisah ketika kita dihadapkan pada sesuatu. Maka timbulah "ambisi" untuk mencari kepastian agar tidak lagi menjadi tabu, untuk menemukan "cahaya", langkah kongkrit untuk mencapai planing ke depan.
.
Aku ingin mengubah bahasa abstrak menjadi ambigu. Subhat.
.
Proposal, Skripsi itu ambigu, subhat. Bukan di wilayah pengetahuannya sebagai ilmu akademis. Tetapi lebih kepada juknis, metode, proses, realistisitas pelaku--mahasiswa--dalam mencapai finish ke-skripsiannya. Aku menghabiskan waktuku di kelas, di ruang "bisu" seminar, presentasi, diskusi, selama empat tahun ini. Untuk sinau tentang apa itu ini, apa itu itu. Berdebat ini berdebat itu. Ngecebret referensif atau non referensif. referensif itu artinya kita objektif dalam memahami pengetahuan dengan dasar teori, spektrum katalog yang komprehensif, pengolahan data yang akurat. Itulah akdemisi, bertanggung jawab secara ilmiah apa yang diucapkannya. Non referensif, nggacor sak udele dewe. Memutarbalikkan teori, membikin teori-teori sendiri,   meng-konsep pengetahua atas dasar penemuannya sendiri. Nah, itulah aku. Teoriku hanya satu untuk mengolah pengetahuan : Afala ta'kilun, Afala tatafakkarun, Afala tadzakkarun. Aku bermain retorika knowledge. Ada orang ngasih aku telo, maka kecerdasan berfikir adalah mengolah telo untuk jadi apa. Jadi kripik atau apa.
.
Seorang teman menolak cara berfikirku.
.
" Piye to, konsep berfikir macam apa itu" tanya seorang kawanku
" Ya macam telo itu"
" Telo? maksudmu"
"Ya telo. Telo itu kan enak, katanya bisa menghilangkan bau keringat.heuheu."
" Semprol"
.
Mengapa kita harus "terjebak" pada teori-teori untuk menelaah pengetahuan yang bersifat skriptif. Oke. Skripsi memang tak bisa dihindarkan dari kajian teori, penelaahan materi objektif, dan penelitian yang komprehensif. Aku faham itu. Keimiahan harusnya memang harus dikaji seperti itu. .
.
Ah..bukan aku males berfikir ilmiah. Apakah universitas hanya mencetak para pemikir tanpa proses berfikir? Apakah dengan banyak membaca banyak referensi orang semakin kaya akan kompleksitas keilmuan? apakah kita tidak boleh membuat analisis baru, analisis revolusioner dengan membuka diri untuk menciptakan teori-teori baru? Toh, juga pada akhirnya teori, referensi yang sama digunakan pada tahun berikutnya..?
.
Bagaimana kalau kita mengolah satu dua teori, lalu mencangkoknya untuk menemukan teori-teori baru dari ijtihad orsinil pemikiran kita.
.
Itulah Mujtahid. Bukan lagi Muttabi' apalagi Muqollid.
.
Kuucapkan dengan kebahagiaan hati kepada teman-teman. Selamat mengerjakan skripsi. Aku menghabiskan ngopi saja disini.
.
Tuhan bersama mahasiswa semester akhir.