Senin, 28 November 2011

WAWASAN PENDIDIKAN NASIONAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Istilah pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat didalam masyarakat dan bangsa. Pendidikan merupakan unsur elementer yang tidak dapat dilepaskan dari aspek teologis. Komitmen Islam secara teologis terhadap pendidikan dapat dilacak pada al-Qur’an surat al-Alaq (96):1-14. Ayat-ayat dalam surat ini menjelaskan tentang signifikansi pengetahuan yang benar yang harus diketahui dan disebarkan umat Islam secara khusus dan umat manusia umumnya. (Djumransjah : 2007 : 1)
Abdullah Yusuf Ali menjelaskan, ungkapan “pengajaran” dan “pembacaan” yang ada pada ayat-ayat itu mengimplikasikan, pemerintah mengajar dan membaca (meneliti dan sebagainya) tidak terbatas pada penyampaian risalah Allah yang harus dilakukan Rasul, tetapi juga bersifat universal, menukik pada tugas untuk menyebarkan kebenaran oleh semua orang yang membaca dan memahami ajaran Al Quran.
Nilai-nilai dan komitmen Islam itu akan makin tampak bila dikaitkan dengan Hadits A’isyah tentang permulaan turunnya wahyu (lihat al-Bukhari, 18-24), di mana Tuhan menyuruh “membaca” kepada Muhammad. Pertama kali Nabi menolak karena dia tidak bisa membaca. Namun, Tuhan menjelaskan, “membaca” adalah kewajiban manusia; mencari dan mengamalkan pengetahuan adalah sifat intrinsik yang harus ada pada manusia. Hadits ini juga menggambarkan dengan jelas mengenai proses penyampaian pengetahuan dalam Islam, yaitu sifatnya yang sangat menekankan pada penciptaan suasana dialogis dan aktif.
Pada sisi ini batasan pendidikan Islam yang ditawarkan Naquib al-Attas menjadi relevan untuk diangkat. Disebutkan, pendidikan Islam pada prinsipnya merupakan proses pengenalan dan pengakuan yang ditanamkan secara bertahap dan berkesinambungan dalam diri manusia mengenai obyek-obyek yang benar sehingga hal itu akan membimbing manusia ke arah pengenalan dan pengakuan terhadap eksistensi Tuhan dalam kehidupan. Selanjutnya, dengan pengetahuan itu, manusia diarahkan untuk mengembangkan kehidupan lebih baik.
Berdasarkan paparan itu dapat dikatakan, pendidikan Islam dari perspektif teologis merupakan konsep yang allama ma lam ya’lam (Tuhan mengajarkan segala hal yang tidak diketahui manusia). Hal itu mengandung pengertian, Allah selalu mengajarkan suatu pengetahuan baru setiap saat kepada manusia. Karena itu, manusia dituntut untuk belajar tentang apa saja sepanjang hidupnya, dan hendaknya selalu berdialog dengan perkembangan zaman. Lebih jauh, ayat itu menjelaskan, nilai semua pengetahuan menurut Al Quran adalah sama pentingnya. Islam tidak mengenal pembedaan dikotomis antara ilmu pengetahuan “agama” dan ilmu pengetahuan “sekuler”. Selama pengetahuan bernilai baik, selama itu pula ia bernilai religius.
Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas tentang pendidikan Islam (at-tarbiyah al Islamiyah) yang akan diuraikan selanjutnya menurut bahasa Islami, maka terlebih dahulu dikemukakan pengertian dasar dari kata “pendidikan” dan “Islam”. Kata pendidikan yang sering digunakan  dalam bahasa arabnya adalah tarbiyah.[1]
Selain itu, konsep ilmu dalam Islam-sebagai salah satu unsur pendidikan-hendaknya mengacu kepada lingkungan dan kebutuhan masyarakat. Karena itu harus bersifat applicable. Hal ini dapat dilacak dari beragamnya pengetahuan yang diberikan Allah kepada para nabi dan umat mereka, misalnya, Nuh (as) mendapatkan pengetahuan tentang pembuatan bahtera (surat Hud, 11:37), Daud diberi pengetahuan tentang pembuatan baju besi (surat al-Anbiya’, 21:80), umat Nabi Shaleh memiliki keahlian memahat gunung untuk dijadikan tempat tinggal (surat al-Hijr, 15:82). Meski ragamnya berbeda, semua memiliki nilai yang sama, yaitu karakternya bersifat teologis-transformatif. Semuanya diarahkan untuk mengenal Tuhan dengan segala sifat-sifat-Nya sehingga manusia selalu merasa di dekat-Nya, dan mampu mengubah dunia sesuai kebutuhan manusia sekaligus melestarikannya. Dengan demikian, pengenalan pengetahuan itu pada saat yang sama merupakan penanaman dan pembentukan serta pengembangan nilai-nilai yang mencerahkan; mengantarkan manusia kepada kehidupan yang taqwa, dan dapat menjauhkan dari kehidupan yang transgressive dan ekstrem.
Di sini ketaqwaan perlu dipahami sebagai konsep yang menunjukkan kepribadian manusia untuk terintegrasi secara penuh dan utuh, yaitu semacam stabilitas yang terbentuk setelah semua unsur-unsur yang positif masuk ke dalam diri seseorang. Dengan kata lain, taqwa merupakan kualitas kedirian manusia yang mampu mengendalikan manusia dari kecenderungan-kecenderungan yang berlawanan dengan nilai-nilai kebaikan universal dan perennial. Dengan ketaqwaan itu, manusia selalu berupaya berjalan di atas jalan yang dikehendaki Tuhan, tunduk secara total kepada perintah-Nya yang diekspresikan dalam bentuk menyebarkan kesejahteraan dan kedamaian bagi sesama dan lingkungan.



A.    Rumusan Masalah

1.      Bagaimanakah pendidikan menurut perspektif nasional?
2.      Bagaimanakah pendidikan dalam pesrpektif Islam?
3.      Apa Nilai Teologis Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam?
4.      Apakah yang dimaksud dengan Pendidikan Islam Perspektif Lembaga Pendidikan?






















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pendidikan Menurut Perspektif Nasional
Pendidikan seperti yang banyak didefinisikan oleh para pakar yang apabila diambil intinya adalah upaya sadar yang diberikan oleh si pendidik dalam rangka membawa si terdidik kepada manusia ideal yang dicita-citakan itu dirumuskan sendiri oleh suatu bangsa atau suatu komunitas. [2]
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya pedagogis untuk menstranfer sejumlah nilai yang dianut oleh masyarakat suatu bangsa kepada sejumlah subjek didik melalui proses pembelajaran. Sistem nilai tersebut tertuang dalam sistem pendidikan yang dirumuskan dalam dasar-dasar pandangan hidup bangsa itu. Rumusan pandangan hidup tersebut kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Dasar dan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Dasar dan perundang-undangan itu pandangan filosofis suatu bangsa di antaranya tercermin dalam sistem pendidikan yang dijalankan.
Bagi bangsa Indonesia, pandangan filosofis mengenai pendidikan dapat dilihat pada tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 paragraf keempat. Secara umum tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian secara terperinci dipertegas lagi dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bertolak dari tujuan pendidikan nasional tersebut, dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan merupakan tujuan akhir yang harus diterjemahkan lebih konkret melalui sebuah proses. Proses dimaksud adalah usaha yang terpola, terencana, dan tersistematisasi melalui proses pendidikan. Keinginan luhur bangsa Indonesia itu lahir dari tatanan nilai yang dianut dan terakumulasi dari dalam kesadaran dirinya sebagai bangsa dan kesadaran terhadap dunia di sekitarnya.
Dilihat dari tridomain pendidikan (domain kognitif, afektif, psikomotorik), tatanan nilai yang tertuang dalam pembukaan UUD’45 khususnya yang tertuang dalam UU No 2/1989 dan UU No. 20/2003 lebih banyak didominasi oleh domain afektif atau cendrung kepada pembentukan sikap. Hal ini menunjukkan bahwa tatanan nilai (kepribadian yang luhur) berfungsi sebagai pengayom domain lainnya. Artinya, kecerdasan dan keterampilan harus berasaskan nilai-nilai luhur yang dianut bangsa. Di antara sekian banyak nilai-nilai luhur tersebut, beriman, berakhlakul karimah, dan beramal saleh adalah bagian dari nilai lihur itu.
Namun demikian, urgensitas nilai yang demikian mendapat posisi strategis dalam konsep pendidikan nasional pada kenyataannya tidak berperan secara riil dalam kepribadian peserta didik di Indonesia. Kesenjangan ini diduga akibat dari beberapa faktor seperti (1) buku teks atau buku pelajaran (bahan ajar) yang digunakan kurang mengarah pada integrasi keilmuan antara sains dan agama, (2) penerapan strategi belajar-mengajar yang belum maksimal dan belum relevan dengan tuntutan kurikulum karena keterbatasan kemampuan pendidik, dan (3) lingkungan belajar (hidden curricullum) belum kondusif bagi berlangsungnya suatu peoses pembelajaran.
Konsekuensi dari ketiga faktor tersebut adalah internalisasi nilai (domain afektif) belum mampu menghujam ke dalam diri (kepribadian) subjek didik secara utuh. Selama ini proses pembelajaran di madrasah belum mampu mengintegrasikan antara berbagai konsep atau teori keilmuan sains dan dimensi nilai agama seperti nilai etika, nilai teologis, dan lain-lain. Demikian juga proses pembelajaran sains belum mampu mengintegrasikan domain afektif ke dalam domain kognitif dan psikomotorik. Hal ini terjadi tidak hanya dalam bidang studi sains tetapi juga dalam semua bidang studi lain pada umumnya.
Kenyataan di lapangan pendidikan, aspek ideal itu (integrasi keilmuan) belum dominan terlihat, sehingga sistem pendidikan nasional terkesan menganut sistem bebas nilai. Pendidikan nasional cenderung berwajah sekularistik, seolah-olah tidak ada kaitan antara konsep keilmuan tertentu dengan nilai-nilai yang sejatinya dimunculkan dalam setiap disiplin ilmu.
B.     Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam

Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Menurut Langgulung pendidikan Islam tercakup dalam delapan pengertian, yaitu At-Tarbiyyah Ad-Din (Pendidikan keagamaan), At-Ta’lim fil Islamy (pengajaran keislaman), Tarbiyyah Al-Muslimin (Pendidikan orang-orang islam), At-tarbiyyah fil Islam (Pendidikan dalam islam), At-Tarbiyyah ‘inda Muslimin (pendidikan dikalangan Orang-orang Islam), dan At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah (Pendidikan Islami).
Menurut Muhammad Munir Marisy didalam kitab bahasanya “Al-Tarbiyah al Islamiyah” mengemukakan bahwa tarbiyah berasal dari kata dasar robb-yarubbu-tarbiyyatan yang berarti “tumbuh dan bertambah” sejalan dengan pengertian dasar “tarbiyah” tersebut maka Ahmad Warson didalam analisanya mengemukakan bahwa tarbiyah berarti namaa, wa zaada atau tumbuh dan bertambah. Penggunaan kata robba atau tarbiyyah yang terdapat didalam Alqur’an pada dasarnya mengacu pada gagasan “pemilikan” seperti pemilikan keturunan orangtua terhadap anak-anaknya untuk melaksanakan kewajiban tarbiyah, yang sifatnya hanya menunjukkan jenis relasional saja. Sedang “pemilikan” yang sebenarnya hanya pada Allah.[3]    
Arti pendidikan Islam itu sendiri adalah pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Maka isi Ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan, Ilmu pendidikan Islam secara lengkap isi suatu ilmu bukanlah hanya teori.
Hakikat manusia menurut Islam adalah makhluk (ciptaan) Tuhan, hakikat wujudnya bahwa manusia adalah mahkluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan.Manusia sempurna menurut Islam adalah jasmani yang sehat serta kuat dan Berketerampilan, cerdas serta pandai.
Tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
Ilmu Pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah teori. Isi ilmu bumi adalah teori tentang bumi. Maka isi Ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan, Ilmu pendidikan Islam secara lengkap isi suatu ilmu bukanlah hanya teori, tetapi isi lain juga ada ialah :
1. Teori.          
2. Penjelasan tentang teori itu.
3. Data yang mendukung tentang penjelasan itu.

Islam adalah nama Agama yang dibawa oleh nabi Muhammad saw, yang berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia ; ajaran itu dirumuskan berdasarkan dan bersumber pada al Qur’an dan hadist serta aqal. Penggunaan dasarnya haruslah berurutan :al Qur’an lebih dahulu ; bila tidak ada atau tidak jelas dalam al Qur’an maka harus dicari dalam hadist ; bila tidak ada atau tidak jelas didalam hadist, barulah digunakan aqal (pemikiran), tetapi temuan aqal tidak boleh bertentangan dengan jiwa al Qur’an dan hadist.
Menurut al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah :
1.   Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat
2.   Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.
3.   Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.
Menurut al Abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan islam menjadi
1. Pembinaan akhlak.
2. Menyiapkan anak didik untuk hidup dudunia dan akhirat.
3. Penguasaan ilmu.
4. Keterampilan bekerja dalam masyrakat.
Menurut Asma hasan Fahmi, tujuan akhir pendidikan islam dapat diperinci menjadi :
1. Tujuan keagamaan.
2. Tujuan pengembangan akal dan akhlak.
3. Tujuan pengajaran kebudayaan.
4. Tujuan pembicaraan kepribadian.
Menurut Munir Mursi, tujuan pendidikan islam menjadi :
1. Bahagia di dunian dan akhirat.
2. Menghambakan diri kepada Allah.
3. Memperkuat ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat islam.
4. Akhlak mulia.
            Islam merupakan syari'at Allah bagi manusia yang dengan bekal syari'at itu manusia beribadah agar manusia mampu memikul dan merealisasikan amanat besar itu, syari'at itu membutuhkan pengamalan, pengembangan, dan pembinaan. Pengembangan dan pembinaan itulah yang dimaksud dengan pendidikan Islam.[4]

C.    Nilai Teologis
Di antara sekian banyak nilai yang tersentralisasikan dalam suatu tatanan nilai, maka nilai teologis adalah bagian integral dari sejumlah tatanan nilai yang ada. Nilai teologis secara eksplisit disebutkan dalam tujuan pendidikan nasional yaitu dalam kalimat ‘menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa’. Kalimat ini secara hierarkhis mengindikasikan bahwa di samping memayungi juga berfungsi merangkul aspek tujuan lain dalam satu jalinan yang integral.
Perealisasian tujuan pendidikan melalui ibadah tidak diartikan sebagai upaya manusia yang terfokus pada aspek ritual. Untuk menyempurnakannya, kita harus memaknai ibadah sebagai ketaatan yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Dengan demikian, pada dasarnya konsep pendidikan Islam pun mencakup seluruh tujuan pendidikan yang dewasa ini diserukan oleh Barat. Lebih dari itu, pendidikan Islam adalah satu-satunya konsep pendidikan yang menjadikan makna dan tujuan pendidikan lebih tinggi sehingga mampu mengarahkan manusia pada visi ideal dan menjauhkan manusia dari ketergelinciran serta penyimpangan. Karena Islamlah, pendidikan memiliki misi sebagai pelayan kemanusiaan dalam mewujudkan kebahagiaan individu masyarakat. Artinya, Islam akan berhasil mewujudkan tujuan pendidikan yang selama ini menjadi obsesi tokoh pendidikan Barat.[5] 
Dalam tradisi pendidikan Islam sampai sekarang ini, internalisasi nilai teologis hanya diberikan secara terbatas dalam pendidikan akidah (teologi Islam). Yaitu kajian yang menyangkut permasalahan ketuhanan yang hanya berdimensi transendental-kontemplatif. Tradisi ini sudah sejak lama berlangsung, sehingga nilai-nilai teologis belum mengintegral ke dalam disiplin-disiplin ilmu lainnya secara holistik. Bahkan pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam proses internalisasi nilai-nilai teologis ini hanya sebatas pendekatan imani.
Kecenderungan pendekatan dalam proses belajar mengajar seperti ini jelas mempersempit bahkan mendistorsi pemahaman peserta didik secara objektif terhadap nilai-nilai teologis yang sebenarnya. Akibatnya peserta didik cenderung memahami dimensi nilai teologis sebatas pada tataran ritualistik-formalistik dan dogmatis-sakralistik. Pendekatan yang demikian, menjadikan kajian dimensi teologis semakin absurd, abstrak, melangit, dan kurang menyentuh persoalan-persoalan riil kemanusiaan. Ditambah lagi dengan anggapan bahwa wilayah kajian teologi adalah wilayah sakral-absolut sehingga tidak memberikan ruang reinterpretasi secara kreatif dan aktual-kontekstual terhadap penafsiran sebelumnya.
Berdasarkan pengamatan dan kajian literatur diketahui bahwa madrasah-madrasah di Indonesia pada umumnya didapati masih juga menerapkan model pembelajaran yang tidak jauh berbeda sebagaimana diuraikan di atas. Hal ini terjadi hampir di semua bidang studi intern ilmu agama Islam , lebih lagi bidang studi sains. Sepertinya belum ada transformasi berarti dalam reorientasi sistemik dan filosofis baik muatan materi ajar maupun metodologi pengajaran ke arah yang relevan dengan tuntutan perubahan zaman. Karena itu dituntut adanya pembaharuan pemahaman terhadap masalah ini sehingga memungkinkan terwujudnya pendidikan Islam yang mumpuni bagi zamannya.

D. Pendidikan Islam Perspektif Lembaga Pendidikan
Di Indonesia, ada dua Departemen yang menangani bidang pendidikan, yakni Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Dalam pelaksanaannya Departemen Pendidikan Nasional membawahi lembaga pendidikan mulai TK, SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi Umum. Sedangkan Departemen Agama mengurusi lembaga pendidikan dari RA, MI, MTs, MA, hingga Perguruan Tinggi Agama Islam (UIN/IAIN/STAIN) dan PTAIS. Menyikapi manajemen pendidikan seperti itu, menurut penulis buku ini akan membawa kita kepada pemahaman tentang adanya dikotomi penyelenggaraan pendidikan, yakni adanya sekolah umum dan sekolah agama. Kedua lembaga penyelenggara pendidikan tersebut semua diakui sah dan merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Dikotomi ternyata tidak saja menyangkut kelembagaannya, akan tetapi merambah pada jenis ilmu yakni ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.. Pihak-pihak yang berkompeten, terutama dari kalangan UIN/IAIN/STAIN melihat terjadinya dikotomi dalam memandang ilmu tersebut, pada umumnya tidak sepakat dan harus segera diakhiri. Ilmu, kata mereka, adalah satu, akan tetapi pada kenyataannya secara operasional tidak mudah menyatukan kedua jenis ilmu tersebut. Buktinya, kehadiran Universitas Islam Negeri (UIN) di beberapa kota yakni UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Malang, UIN Pekanbaru, UIN Makasar, dan UIN Bandung yang misi awalnya adalah untuk mengembangkan ilmu yang bersifat integratif antara ilmu agama Islam dan Ilmu umum, tetapi pada kenyataannya di masing-masing UIN tersebut selain mengembangkan fakultas agama juga mengembangkan fakultas-fakultas umum. Akibatnya ilmu agama dan ilmu umum lagi-lagi masih terlihat dengan jelas terpisah, yakni masih memelihara pandangan dan perlakuan dikotomi ilmu.[6]
Melalui penelusuran sejarah, ditemukan bahwa kehadiran IAIN selain dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan Departemen Agama, juga memiliki misi yang sangat jelas yaitu ingin menjadikan para lulusannya sebagai sarjana (intelek) sekaligus ulamaâ??. Sebutan sarjana (intelek) untuk menggambarkan seseorang yang telah menamatkan pendidikan di perguruan tinggi. Sedangkan ulama adalah sebutan terhadap seseorang yang memiliki pengetahuan, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam secara mendalam. Mengenai dikotomi ilmu berikut upaya pemecahannya. Bangunan ilmu yang bersifat integratif adalah dengan memposisikan al-Qurâ??an dan hadits sebagai sumber ayat-ayat qawliyah. Sedangkan hasil observasi, eksperimen, dan penalaran logis diposisikan sebagai sumber ayat-ayat kawniyah. Di buku ini juga disertai gambar dan contoh nyata seperti yang dikembangkan di UIN Malang tentang bangunan ilmu yang bersifat integratif sehingga pembaca dapat lebih mudah untuk memahaminya. Agar lebih mudah difahami, penulis juga memaparkan tentang batas materi kajian yang terdapat dalam ajaran Islam. Selama ini kita sebagai umat Islam sepakat bahwa Islam merupakan agama yang bersifat Universal. Namun, seperti yang kita saksikan di lembaga pendidikan Islam, mulai dari tingkat Ibtidaiyah hingga perguruan tinggi, bahkan terjadi di pondok pesantren, ketika orang menyebut pelajaran agama Islam, maka yang muncul adalah pelajaran Tauhid, Fiqh, Akhlaq dan Tasawuf, al-Qurâ??an dan Hadits, Bahasa Arab, dan lain-lain. Demikian juga di perguruan tinggi, Fakultas yang dikembangkan adalah Tarbiyah, Syariah, Ushuluddin, Dakwah, dan Adab. Bahkan pembidangan ilmu seperti ini juga terjadi di Universitas Al-Azhar yang telah berdiri lebih dari 1000 tahun yang lalu.
Oleh karenanya, menurut penulis perlu untuk melakukan upaya-upaya perluasan batas terhadap pemahaman al-Qurâ??an lebih-lebih jika dikaitkan dengan kemajuan sains dan teknologi yang demikian cepat. Al-Ghazali membagi ilmu berdasarkan hukum mencarinya, yakni fardlu ain dan fardlu kifayah. Ilmu yang termasuk pertama (fardlu ain) adalah ilmu agama Islam berupa al-Qurâ??an dan hadits. Sedangkan ilmu yang termasuk jenis kedua (fardlu kifayah) adalah ilmu yang dipandang penting dan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, misalnya ilmu administrasi, ilmu teknik, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi, ilmu humaniora, dan sebagainya. Dalam perspektif kurikulum, bangunan ilmu yang bersifat integratif tersebut digunakan metafora sebuah pohon yang tumbuh subur, lebat, dan rindang. Masing-masing bagian pohon dan bahkan tanah di mana sebatang pohon itu tumbuh digunakan untuk menjelaskan keseluruhan jenis ilmu pengetahuan yang harus dikaji oleh seseorang agar dianggap telah menyelesaikan program studinya.. Selayaknya sebatang pohon terdiri atas tanah di mana pohon itu tumbuh, akar yang menghujam ke bumi dengan kuatnya. Akar yang kuat dapat menjadikan batang sebuah pohon berdiri tegak dan kokoh. Pohon itu juga akan menumbuhkan dahan, ranting, daun, dan buah yang sehat dan segar. Bagian-bagian itu digunakan sebagai alat untuk menjelaskan posisi masing-masing jebis mata kuliah yang harus ditempuh oleh seseorang agar dianggap telah menyelesaikan seluruh program studinya. (Imam Suprayogo: 2006)
Dalam konteks Indonesia, peranan lembaaga pendidikan Islam termasuk didalamnya madrasah, sekolah Islam dan pesantren, tidak bisa diabaikan dalam hal penyediaan pendidikan yang mudah diakses masyarakat luas, khususnya masyarakat muslim. Lembaga pendidikan Islam telah menjadi bagian penting perkembangan bangsa ini. Di zaman penjajahan lembaga pendidikan Islam tampil menjadi salah satu pilar yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Setelah merdeka, lembaga pendidikan Islam tetap memainkan peranannya sebagai penyedia pendidikan yang mudah diakses.[7]   


















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Selama kaum Muslimin memandang kebudayaan Barat sebagai satu-satunya kekuatan yang dapat meregenerasi kebudayaannya yang macet, maka mereka menghancurkan kepercayaan kepada diri mereka sendiri dan secara tidak langsung menopang penegasan Barat bahwa Islam adalah satu “kekuatan yang telah habis dikerahkan. “Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi penolong dan penentu umat manusia dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Tanpa pendidikan, maka diyakini bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia masa lampau, yang dibandingkan dengan manusia sekarang, telah sangat tertinggal baik kualitas kehidupan maupun proes-proses pembedayaannya. Secra ekstrim bahkan dapat dikatakan, bahwa maju mundurnya atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat, suatu bangsa, akan ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut.
Krisis pendidikan di Indonesia, oleh H.A. Tilaar [1991] secara umum, diidentifikasi dalam empat krisis pokok, yaitu menyangkut masalah kualitas, relevansi, elitisme dan manajemen. Berbagai indicator kuantitatif dikemukakan berkenaan dengan keempat masalah di atas, antara lain analisis komparatif yang membandingkan situasi pendidikan antara negara di kawasan Asia. Memang disadari bahwa keempat masalah tersebut merupakan masalah besar, mendasar, dan multidimensional, sehingga sulit dicari ujung pangkal pemecahannya [Sukamto, 1992]









DAFTAR PUSTAKA
Nur Uhbiyati., 1998, Ilmu Pendidikan Islam., CV. Pustaka Setia., Bandung
Ahmad Tafsir., 2001, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam., PT. Remaja Rosdakarya., Bandung
Tilaar, Prof. Dr., 2004, Manajemen Pendidikan Nasional, PT. Remaja Rosdakarya., Bandung
Imam Suprayogo, Prof. Dr., Januari 2006, Paradigma Pengembangan Keilmuan Islam Perspektif UIN Malang., Penerbit : UIN-Malang Press., Cet Ke-1, Malang
Ahmad Syafii Maarif, 1996, Keutuhan dan Kebersamaan dalam Pengelolaan Pendidikan Sebagai Wawasan Pendidikan Muhammadiyah, Makalah pada Rakernas Pendidikan Muhammadiyah di Pondok Gede, Jakarta.
HM. Arifin, 1991, Kapita Selekta Pendidikan, Bina Aksara, Jakarta.
Hifni Muchtar, 1992, Fakta dan Cita-Cita Sistem Pendidikan Islam di Indonesia, UNUSIA No. 12 Th. XIII, UII, Yogyakarta.
Muslih Usa, 1991, Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Cita dan Fakta [Suatu Pengantar], Tiara Wacana, Yogyakarta.
Suyata, 1992, Penataan Kembali Pendidikan Islam pada Era Kemajuan Ilmu dan Teknologi, UNISIA No. 12 Th. XIII, UII, Yogyakarta.
Soeroyo, 1991, Berbagai Persoalan Pendidikan, Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, Volume I, Fak. Tarbiyah IAIN Suka, Yogyakarta.
H.A.R. Tilaar, 1991, Sistem Pendidikan Nasional yang Kondusif Bagi Pembangunan Masyarakat Industri Modern Berdasarkan Pancasila, Makalah Utama Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional V.



[1] Sayid Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Bandung: Mizan, 1984, hal 60
[2] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, hal 195-196
[3] Djumransjah & Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam, Malang: UIN-Malang Press, 2007, hal1-2
[4] Abdurrahman an Nahlawi, Pendidikan Islam Dirumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995 hal 25
[5] Abdurrahman an Nahlawi, Pendidikan Islam Dirumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, hal 118
[6] Imam Suprayogo, Paradigma Pengembangan Keilmuan Islam Perspektif UIN Malang, Malang;UIN-Malang Press,2006
[7] Kusmana, Paradigma Baru Pendidikan Islam, Jakarta: PIC UIN Jakarta,2008, hal 285

Kamis, 24 November 2011

MENYEBUT DAN MEMBUANG MUSNAD ILAIH


A.    Menyebut Musnad Ilaih
Al-Dzikr secara leksikal bermakna menyebut. Sedangkan dalam terminologi ilmu balaghah Al-Dzikr adalah menyebut musnad ilaih. Al-Dzikr merupakan kebalikan dari al-Hadzfu.
Contoh:
الأستاذ جاء. جوابا لمن سأل: من جاء
Dalam praktek berbahasa Al-Dzikr mempunyai beberapa tujuan / faidah, yaitu:
1.      Al-Idhah wa al-tafriq (menjelaskan dan membedakan)
Penyebutan musnad ilaih pada suatu kalimat salah satunya bertujuan untuk menjelaskan subjek pada suatu nisbah. Jika musnad ilaih itu tidak disebutkan maka tidak akan muncul kesan kekhususannya.
Contoh:
محمدٌ محاضرٌ
sebagai jawaban dari
مَنِ المحاضرُ؟
2.      Ghabawatul mukhathab (menganggap mukhâthab bodoh)
Mutakallim yang menganggap mukhathab tidak tahu apa-apa ia akan menyebut musnad ilaih pada suatu kalimat yang ia ucapkan. Dengan menyebut musnad ilaih, mukhathab mengetahui fa’il, mubtada, atau fungsi-fungsi lain yang termasuk musnad ilaih. Demikian juga akan terhindar dari kesalahfahaman mukhathab pada ungkapan yang dimaksud.
3.      Taladzdzudz (senang menyebutnya)
Seorang mutakallim yang menyenangi sesuatu ia pasti akan banyak menyebutnya. Pepatah mengatakan:
مَنْ أَحَبَّ شَيْئاً كَثُرَ ذِكْرُهُ
 (barang siapa yang menyenangi sesuatu ia pasti akan banyak menyebutnya).
Jika mutakallim menyenagi mukhathab ia pasti akan menyebutnya, dan tidak akan membuangnya.


B.     Membuang Musnad ilaih
Al-Hadzfu secara leksikal bermakna membuang. Sedangkan maksudnya dalam terminologi ilmu balaghah adalah membuang musnad ilaih. Al-Hadzfu merupakan kebalikan dari al-Dzikru. Dalam praktek berbahasa al-Hadzfu mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
a.       Untuk meringkas atau karena sempitnya konteks kalimat.
Contoh:
قال لي: كيف أنت؟ قلت: عليل
Pada dialog di atas terdapat kalimat yang padanya dibuang musnad ilaih-nya, yaitu pada kata عليل. Kalimat lengkapnya adalahأنا عليل
Dalam sebuah syi’ir terdapat suatu ungkapan
سهر دائم وحزن طويل
Kalimat lengkap dari ungkapan tersebut adalah:
حالي سهر دائم وحزن طويل
Kata yang dibuang pada kalimat di atas adalah musnad ilaih-nya, yaitu.’حالى
b. Terpeliharanya lisan ketika menyebutnya, contoh:
و ما أدراك ما هية – نار حامية
Pada ayat kedua terdapat lafazh yang dibuang, yaitu kata "هــي" yang kedudukannya sebagai musnad ilaih.
Kalimat lengkapnya adalah:
هي نار حامية
c. Li al-hujnah (merasa jijik jika menyebutnya)
Jika seseorang merasa jiji menyebut sesuatu - apakah nama orang atau benda - ia pasti tidak akan menyebutkannya atau mungkin menggantikannya dengan kata-kata lain yang sebanding.
d. Li al-Ta’mîm (generalisasi)
Membuang musnad ilaih pada suatu kalimat juga mempunyai tujuan untuk mengeneralkan pernyataan. Suatu pernyataan yang tidak disebut subjeknya secara jelas akan menimbulkan kesan banya pesan itu berlaku untuk umum (orang banyak).
e. Ikhfâu al-amri ‘an ghairi al-mukhâthab
Kadang-kadang seorang mutakallim ingin merahasiahkan musnad ilaih kepada selain orang yang diajak bicara (mukhâthab). Untuk itu ia membuang musnad ilaih, sehingga orang lain tidak mengetahui siapa subjeknya.