Rabu, 24 Juli 2013

Shalawat nabi dan semangat juang ‘45



Sejak ‘tragedy’ ba’da Isya itu—sengaja kami menyebutnya tragedy—psikologis teman-teman terguncang. Sesungguhnya sejak lama hati teman-teman bergejolak, menahan, mengelus dada dari beberapa deretan penglaman yang mereka lalui, yang mereka rasakan. Puncaknya ya ba’da shalat tarawih itu. Titik kulminasi ‘kemarahan’ yang belum pernah terjadi sejak pondok ini didirikan. Ibu muntab, mungkin sudah tidak tahan. Beberapa hari, menurutku sudah sejak almarhum Mas Umam dipanggil Ibu sudah kehilangan keceriaan, tidak percaya diri, murung, terkesan cuek dengan keadaan sekitar. Perasaan perempuan memang halus, sensitive, terhadap siapa saja yang disayanginya, dicintainya. Termasuk Mas Umam, putra sulung Ibu. 

Ba’da shalat tarawih, kami hanya menunduk, diam, salting, mematung, mendengar penuturan Ibu. “ Ya Allah Mas...tolong ya. Sikapnya dijaga, etika beribadahnya ditata. Allah itu tidak tuli. Sekalipun kalian berdo’a dengan berbisik, Allah maha mendengar. Sudah beberapa hari Ibu perhatikan dan Ibu diamkan dan sengaja memang Ibu tidak ikut shalat tarawih dengan kalian. Kalian sudah dewasa, bukan anak TK lagi”. 

Aku menunduk, beruntung rambutku panjang, wajahku tak terlihat oleh Ibu. Kulirik Jamal, dia yang paling apes. Berhadap-hadapan pas dengan wajah Ibu. Kubayangkan, bagaimana ekspresi kemarahan, merah padamnya muka, semprotan bertubi-tubi yang ia dengar. Termasuk Hasan, Suyuti, Nizar dan Inyong diam tak berkata. Bingung mau ekspresi bagaimana. Bingung dan salah tingkah. Kami sangat faham dan mengerti bagaimana karakter Ibu. Tegas, mendidik, ceplas-ceplos. Kami benar-benar menaruh hormat dan sungkem kepadanya. Beliau sangat berwibawa.  

‘ Apa kalian tidak berpikir bagaimana tanggapan orang-orang kampung. Tanggapan bapak-bapak takmir masjid sebelah, mendengar urakan kalian itu. Ibu sudah tidak tahan, ingin rasanya marah. Ibu yakin, kalian ikhlas kok ikut tarawih. Tapi mendengar suara kalian menjawab shalawat, banter-banteran bersuara, rasanya kok itu kurang ajar. Kalian itu mendo’akan Nabi, bukan demonstrasi. Ya Allahhhh’

Setengah jam lamanya kami mendengarkan ‘seminar’. Manggut-manggut seperti kerbau dicocok hidungnya. Bukan berarti kami mengerti dan sadar diri, melainkan bingung mau berekspresi yang bagaimana lagi. Sudah kurasa, pembunuhan karakter sedang terjadi. 

Disini, di pesantren ini kami benar-benar didik menuju pendewasaan diri, diajari bagaimana memaknai kemerdekaan dengan tetap mengenal batas diri. Tidak ada hijab antara santri putra dan putri, karena hijab yang sejati sesungguhnya adalah bagaimana menata dan mengeksplorasi hati menjadi suci. Maka, kami terbiasa masak, berbuka puasa, ngaji, nderes bersama-sama. melingkar dalam satu kemesraan, ikatan saudara yang saling melengkapi dan mengingatkan. Paling tidak, itulah hikmah yang bisa kubaca. 

Lain halnya dengan sebagaian teman-teman—yang aku sendiri pun diam-diam membenarkan—intepretasi yang muncul dari teman-teman sangat beragam. Dan itu aku kira wajar. Setiap manusia dibesarkan, dididik dalam lingkungan, pola fikir, usia dan latar belakang keluarga yang berbeda. Kesimpulan yang muncul pun bermacam-macam. 

‘ Emang kita salah ya kalau baca sholawat keras-keras. Lha wong semangat kok. Kita ibadah kalau tidak didasari semangat juang dan niat yang ikhlas, apa diterima ibadah kita. Emang siapa bilang Allah itu tuli bro, ngawur aja. Yang betul itu, Allah maha mengerti. Mengerti apa isi hati kita. Kita kayak gini karena kita senang, bergembira kok. Dan bentuk ekspresi kegembiraan kan bermacam-macam’ ujar Jamal. 

Bah, ora ngurus. Mau teriak-teriak kek, mau dianggap urakan kek, aku tak peduli. Di arab sana, justru sholawat di teriakkan dengan keras untuk melerai orang berkelahi, untuk mengajak orang ingat kepada Nabi sekalipun dalam keadaan marah-marah, sekalipun lagi jotos-jotosan. Lha ini, justru kita dimarah-marahin ketika shalat tarawih. Ini bulan ramadhan rek, setiap orang berhak melampiaskan kebahagiaanya pada Tuhan. Mau orang bilang urakan atau apa saja, intinya aku ora ngurus. Seng penting khusyuk’ yang lain menimpali 

‘ Sudah-sudah, besok kita tetap tarawih seperti biasanya. Lampiaskan kebahagiaan kalian pada Tuhan, juga kepada Nabi. Termasuk semangat kalian mengucapkan shalawat Nabi’ 

Maka, kami tarawih seperti biasanya. Dan ketika shalawat dikumandangkan di antara jeda rakaat, lha kok berbeda pada hari sebelumnya. Tidak ada semangat ‘teriakan’ shallu alaiiiiiiiih dengan lantang, dengan semangat juang. 

lho, kok gak semangat bro’ 

 ndak ah, nanti dimarahin lagi sama Ibu’

owalah le..le. gayamu koyok iyo-iyo’o.        

Malang, 16 Ramadhan 1432 H