Sejak ‘tragedy’ ba’da Isya itu—sengaja kami menyebutnya tragedy—psikologis
teman-teman terguncang. Sesungguhnya sejak lama hati teman-teman bergejolak,
menahan, mengelus dada dari beberapa deretan penglaman yang mereka lalui, yang
mereka rasakan. Puncaknya ya ba’da shalat tarawih itu. Titik kulminasi ‘kemarahan’
yang belum pernah terjadi sejak pondok ini didirikan. Ibu muntab, mungkin sudah
tidak tahan. Beberapa hari, menurutku sudah sejak almarhum Mas Umam dipanggil
Ibu sudah kehilangan keceriaan, tidak percaya diri, murung, terkesan cuek
dengan keadaan sekitar. Perasaan perempuan memang halus, sensitive, terhadap
siapa saja yang disayanginya, dicintainya. Termasuk Mas Umam, putra sulung Ibu.
Ba’da shalat tarawih, kami hanya menunduk, diam, salting, mematung,
mendengar penuturan Ibu. “ Ya Allah Mas...tolong ya. Sikapnya dijaga, etika
beribadahnya ditata. Allah itu tidak tuli. Sekalipun kalian berdo’a dengan
berbisik, Allah maha mendengar. Sudah beberapa hari Ibu perhatikan dan Ibu
diamkan dan sengaja memang Ibu tidak ikut shalat tarawih dengan kalian. Kalian sudah
dewasa, bukan anak TK lagi”.
Aku menunduk, beruntung rambutku panjang, wajahku tak terlihat oleh
Ibu. Kulirik Jamal, dia yang paling apes. Berhadap-hadapan pas dengan wajah
Ibu. Kubayangkan, bagaimana ekspresi kemarahan, merah padamnya muka, semprotan
bertubi-tubi yang ia dengar. Termasuk Hasan, Suyuti, Nizar dan Inyong diam tak
berkata. Bingung mau ekspresi bagaimana. Bingung dan salah tingkah. Kami sangat
faham dan mengerti bagaimana karakter Ibu. Tegas, mendidik, ceplas-ceplos. Kami
benar-benar menaruh hormat dan sungkem kepadanya. Beliau sangat berwibawa.
‘ Apa kalian tidak berpikir bagaimana tanggapan orang-orang kampung.
Tanggapan bapak-bapak takmir masjid sebelah, mendengar urakan kalian itu. Ibu
sudah tidak tahan, ingin rasanya marah. Ibu yakin, kalian ikhlas kok ikut
tarawih. Tapi mendengar suara kalian menjawab shalawat, banter-banteran
bersuara, rasanya kok itu kurang ajar. Kalian itu mendo’akan Nabi, bukan
demonstrasi. Ya Allahhhh’
Setengah jam lamanya kami mendengarkan ‘seminar’. Manggut-manggut
seperti kerbau dicocok hidungnya. Bukan berarti kami mengerti dan sadar diri,
melainkan bingung mau berekspresi yang bagaimana lagi. Sudah kurasa, pembunuhan
karakter sedang terjadi.
Disini, di pesantren ini kami benar-benar didik menuju pendewasaan
diri, diajari bagaimana memaknai kemerdekaan dengan tetap mengenal batas diri. Tidak
ada hijab antara santri putra dan putri, karena hijab yang sejati sesungguhnya
adalah bagaimana menata dan mengeksplorasi hati menjadi suci. Maka, kami
terbiasa masak, berbuka puasa, ngaji, nderes bersama-sama. melingkar dalam satu
kemesraan, ikatan saudara yang saling melengkapi dan mengingatkan. Paling tidak,
itulah hikmah yang bisa kubaca.
Lain halnya dengan sebagaian teman-teman—yang aku sendiri pun
diam-diam membenarkan—intepretasi yang muncul dari teman-teman sangat beragam. Dan
itu aku kira wajar. Setiap manusia dibesarkan, dididik dalam lingkungan, pola
fikir, usia dan latar belakang keluarga yang berbeda. Kesimpulan yang muncul
pun bermacam-macam.
‘ Emang kita salah ya kalau baca sholawat keras-keras. Lha wong
semangat kok. Kita ibadah kalau tidak didasari semangat juang dan niat yang
ikhlas, apa diterima ibadah kita. Emang siapa bilang Allah itu tuli bro,
ngawur aja. Yang betul itu, Allah maha mengerti. Mengerti apa isi hati kita. Kita
kayak gini karena kita senang, bergembira kok. Dan bentuk ekspresi kegembiraan
kan bermacam-macam’ ujar Jamal.
‘Bah, ora ngurus. Mau teriak-teriak kek, mau dianggap urakan
kek, aku tak peduli. Di arab sana, justru sholawat di teriakkan dengan keras
untuk melerai orang berkelahi, untuk mengajak orang ingat kepada Nabi sekalipun
dalam keadaan marah-marah, sekalipun lagi jotos-jotosan. Lha ini, justru
kita dimarah-marahin ketika shalat tarawih. Ini bulan ramadhan rek,
setiap orang berhak melampiaskan kebahagiaanya pada Tuhan. Mau orang bilang
urakan atau apa saja, intinya aku ora ngurus. Seng penting
khusyuk’ yang lain menimpali
‘ Sudah-sudah, besok kita tetap tarawih seperti biasanya. Lampiaskan
kebahagiaan kalian pada Tuhan, juga kepada Nabi. Termasuk semangat kalian
mengucapkan shalawat Nabi’
Maka, kami tarawih seperti biasanya. Dan ketika shalawat
dikumandangkan di antara jeda rakaat, lha kok berbeda pada hari
sebelumnya. Tidak ada semangat ‘teriakan’ shallu alaiiiiiiiih dengan lantang,
dengan semangat juang.
“ lho, kok gak semangat bro’
‘ ndak ah, nanti dimarahin
lagi sama Ibu’
‘ owalah le..le. gayamu koyok iyo-iyo’o.
Malang, 16
Ramadhan 1432 H