Ayo konco
nggrayahi karyo ning projo
Kene gogor
gunung tandang gawe
Sayuk sayuk
rukun bebarengan ro kancane
Lelo lan legowo
kanggo mulya ning negoro
Siji loro telu
papat
Maju papat papat
diulang-ulangake
tansoyo enggal
rampunge
Kolobis kuntul
bares
Kalau dalam masyarakat madani ada
system horizontal dimana setiap kelompok, komunitas, suku mempunyai kesadaran
kolektif akan kebersamaan dalam menjunjung satiap perbedaan. Perbedaan ini
mempunyai hierarkisitas yang bermacam-macam. Misal yang paling sederhana
mungkin bisa dilihat dari sisi usia. Di pedesaan, yang disbut pamong, kamituo,
sesepuh desa, petinggi sangat dihormati terlepas apakah yang menjadi kamituo
muda atau tua. Yang dilihat bukan apakah dia mempunyai kapabilitas atau tidak.
Apakah dia bersosiaal atau tidak. Apakah dia berkompeten dalam bidangnya atau
apakah dia hanya sebatas nyantol di structural desa itu tidak penting. Di dusun
Loring desa Sukopuro kecamatan Jabung Malang, kalau anda pernah sesekali main
kesana jangan kaget kalau kepala desanya masih muda. Kemudaaannya bisa dilihat
dari cara bergaul, bagaimana dia menghadapi masyarakat yang penuh dengan
perbedaan, cara dia berbicara, bahkan cara dia berpakaian. Begitupun dengan
pamong-pamong yang lain. Sekretaris desa juga misalnya, masih jejaka, belum
menikah sekilas kalau anda menjumpai beliau nampak seperti preman, pakai celana
seperempat, besar, dan agak serem. Itu baju luar pak heri sekretaris desa. Baju
dalamnya beliau sangat sekeco, sederhana, dan selalu nyumanggakno.
Pun dengan pamong-pamong yang lain. Sukopuro adalah pusat “peradaban” dari
sekian desa yang mengelilinginya. Hiruk pikuk adat, budaya, keagamaan, sosial,
ekonomi Sukopuro adalah pusat dari semua itu.
Aiiiih….Puji syukurku pada Allah,
aku dan teman-teman ditakdirkan nyemplung di dusun ini. Kalau sudah
nyemplung, mau apalagi kalau tidak basah
kuyup sekalian. Bicara kesan, terlalu sombong rasanya kalau berlebihan. Tetapi
tidak dipungkiri kesan yang kami dapat benar-benar berkesan. Entah, bagaimana
kabar teman-teman yang lain. Yang pasti, ketika kami sudah kembali ke kampus,
kumpul di warung kopi, dikelas, mau diskusi, pasti ribut sana-sini. Yang ini nyerocos
pengalaman ini, yang situ tak mau kalah, gegap gempita tukar cerita selama
“terpenjara” empat puluh hari di tempat PKLI.
Selamat mencari pengalaman baru, bertukar ilmu, mengabdi kepada kebenaran
sejati, mencari jati diri, dan bergelut dengan persoaalan-persoalan baru demi
sebuah tingkat kedewasaan yang bernama kebijaksanaan.
Malang, Juli 2012