Senin, 07 Juli 2014

Rakyat Indonesia yang ‘njawani’

Jika Clifford Geertz mengklasifikasi masyarakat Jawa dengan santri, abangan, dan priyayi, mungkin sebagai orang Jawa kita akan mempertanyakan dan berpendapat lain. Mengapa yang dimunculkan hanya tiga strata, dan tidak lebih? Sebab, dengan tiga penggolongan saja, realitasnya tidak cukup dan tidak lengkap. Ada satu golongan lagi yang keberadaannya belum atau justru sengaja tidak dimunculkan ke permukaan.

Dalam konteks kehidupan Islam di Jawa, pengelompokan santri dan abangan bisa diterima. Dimana santri adalah mereka yang mengamalkan syariat Islam dengan baik, sementara abangan adalah para pemeluk Islam yang belum atau tidak melakukan syariat dengan baik. Sedangkan yang disebut priyayi, adalah mereka yang memiliki kedudukan terhormat dalam masyarakat di masa lalu, seperti golongan pegawai negeri, pamong praja, dan lain-lain. Menurut bausastra (kamus) bahasa Jawa, priyayi mempunyai arti lebih spesifik lagi. Yaitu, kalangan bangsawan, pejabat istana, keturunan raja maupun penguasa kerajaaan. Pendeskripsian ini dapat dipahami karena munculnya golongan priyayi hanyalah di masa aristokrasi, bukan setelah kemerdekaan Indonesia atau masa demokrasi.

Manusia Jawa dan Unen-Unenya


Unen-unen / Paribahasa Jawa yang sampai saat ini melekat dan menjadi acuan masyarakat Jawa diklasifikasikan sebgai berikut :
1.       Adat Tradisi
·         Desa mawa cara negara mawa tata (desa mempunya aturan tersendiri, negara mempunyai tatanan tersendiri)
·         Kayak kali ilang kedunge, pasar ilang kumandhange (seperti sungai kehilangan lubuk, pasar kehilangan gaungnya)
·         Wong jowo nggone semu, sinamung ing samudono sesadone ing adu manis (sifat orang jawa cenderung semu/terselubung, menutup diri dengan kata-kata tersamar, masalah apapun dihadapi dengan muka manis)