Senin, 03 Februari 2014

Pak Tua Sholat di atas Menara

Beberapa hari yang lalu, sebelum sebagian besar konco-konco pulang liburan, bercengkrama teman-teman dengan Ustadz. Ba’da magrib adalah waktu dimana obrolan-obrolan ringan, santai, dan bebas menghiasi senja yang selalu diselimuti nderes, wirid, hizib, dan ngaji. 

Nyambung kemana-mana, dari soal tema sholat Rebu Wekasan hingga soal Pak Tukang ‘bandel’ yang ndandani kamar mandi baru, keberanian untuk siap ditunjuk ngisi kultum dan lain sebagainya. Tapi, ba’da magrib yang singkat beberapa waktu lalu Ustadz cerita tentang Pak Tua yang biasa ‘nyambangi’ teman-teman setiap pagi dan sore itu. 

“ Dia dulunya pemarah. Suka teriak-teriak dan kalau sedang sholat jama’ah dia teriak-teriaknya di depan Imam yang sedang mimpin sholat jama’ah “ Teman-teman pun ngakak. 

“Ustadz, majnunnya kok beda ya dengan orang kebanyakan ” timpal Suyuti. Mahasantri pujaan santri putri 

“ Maksudnya “ 

“ Ya itu. Orang pasti tidak nyangka kalau dia itu junun. Gimana coba, gaya berpakaian dan performennya pun sekilas tak menunujukkan kalau dia junun. Ya ikut jum’atan, tahlilan, sholat jama’ah, kalau pagi dan sore hari “aktingnya” seperti orang normal kebanyakan “ 

“ Dia itu dulunya pernah mengamalkan amalan-amalan dan lelaku tirakat. Kemudian tidak kuat, akhirnya seperti itulah. Toh, walau demikian, Allah menutupi “ke-jununannya” dengan cara berpakaian dan bergaul seperti orang normal pada umumnya. 

Pak Tua, kami menyebutnya demikian. Yang selalu lalu lalang tiap pagi dan sore hari. Hanya sejenak mampir kemudian menghilang lagi. Berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain. Bercengkrama dengan dunianya yang sepi dan sunyi. Menggoda realitas kehidupan, bernyanyi pada langit-langit yang tak bertiang. 

Awal-awalnya, tiada yang peduli dengan kehadirannya. Perlahan, kusapa dengan mengajaknya “berdialog”. Kuhampiri, kuambilkan rokok kretek disaku. Dan ia membalas dialog itu. Layaknya manusia normal lainnya, ia menghisap rokok kretek itu. Dan disetiap kesempatan, kucuri-curi waktu untuk mengajaknya “dialog” dengan cara dan metodaku sendiri.  

Lalu sekarang semua peduli. Mengajaknya komunikasi. Di kasih kopi, rokok, kadang-kadang gorengan, sambal, apa saja yang bisa dimakan.

Bukan atas dasar ke-majnunan-nya lalu ia kita ‘buang’. Ia punya hak kemanusiaan, ia punya hak sebagai makhluk Allah sebagaimana kita punya “saham” hak yang sama. Urusan gila, tidak waras, majnun, dan apapun saja namanya aku pribadi tidak ada urusan. Toh, jika seluruh tatanan logika manusia menganggapnya gila dan sebagainya, Allah lebih tahu daripada hamba-hambanya. Wallahu ya’lamu wa antum la ta’lamun

Salah satu prestasi yang aku iri kepada Pak Tua adalah ia pernah melakukan shalat di atas menara. Begitu yang aku dengar dari Ustadz. 
Ayoo....!!! sopo sing wani...?   

Anshofa, Januari 2014