Beberapa
hari yang lalu, sebelum sebagian besar konco-konco pulang liburan, bercengkrama
teman-teman dengan Ustadz. Ba’da magrib adalah waktu dimana obrolan-obrolan
ringan, santai, dan bebas menghiasi senja yang selalu diselimuti nderes, wirid,
hizib, dan ngaji.
Nyambung
kemana-mana, dari soal tema sholat Rebu Wekasan hingga soal Pak Tukang ‘bandel’
yang ndandani kamar mandi baru, keberanian untuk siap ditunjuk ngisi kultum dan
lain sebagainya. Tapi, ba’da magrib yang singkat beberapa waktu lalu Ustadz cerita
tentang Pak Tua yang biasa ‘nyambangi’ teman-teman setiap pagi dan sore itu.
“ Dia
dulunya pemarah. Suka teriak-teriak dan kalau sedang sholat jama’ah dia
teriak-teriaknya di depan Imam yang sedang mimpin sholat jama’ah “ Teman-teman
pun ngakak.
“Ustadz,
majnunnya kok beda ya dengan orang kebanyakan ” timpal Suyuti. Mahasantri
pujaan santri putri
“ Maksudnya
“
“ Ya itu.
Orang pasti tidak nyangka kalau dia itu junun.
Gimana coba, gaya berpakaian dan performennya pun sekilas tak menunujukkan kalau
dia junun. Ya ikut
jum’atan, tahlilan, sholat jama’ah, kalau pagi dan sore hari “aktingnya”
seperti orang normal kebanyakan “
“ Dia itu
dulunya pernah mengamalkan amalan-amalan dan lelaku tirakat. Kemudian tidak
kuat, akhirnya seperti itulah. Toh, walau demikian, Allah menutupi “ke-jununannya” dengan cara
berpakaian dan bergaul seperti orang normal pada umumnya.
Pak Tua,
kami menyebutnya demikian. Yang selalu lalu lalang tiap pagi dan sore hari.
Hanya sejenak mampir kemudian menghilang lagi. Berkeliling dari satu rumah ke
rumah yang lain. Bercengkrama dengan dunianya yang sepi dan sunyi. Menggoda
realitas kehidupan, bernyanyi pada langit-langit yang tak bertiang.
Awal-awalnya,
tiada yang peduli dengan kehadirannya. Perlahan, kusapa dengan mengajaknya
“berdialog”. Kuhampiri, kuambilkan rokok kretek disaku. Dan ia membalas dialog
itu. Layaknya manusia normal lainnya, ia menghisap rokok kretek itu. Dan
disetiap kesempatan, kucuri-curi waktu untuk mengajaknya “dialog” dengan cara
dan metodaku sendiri.
Lalu
sekarang semua peduli. Mengajaknya komunikasi. Di kasih kopi, rokok,
kadang-kadang gorengan, sambal, apa saja yang bisa dimakan.
Bukan atas
dasar ke-majnunan-nya lalu ia kita ‘buang’. Ia punya hak kemanusiaan, ia punya
hak sebagai makhluk Allah sebagaimana kita punya “saham” hak yang sama. Urusan
gila, tidak waras, majnun, dan apapun saja namanya aku pribadi tidak ada
urusan. Toh, jika seluruh tatanan logika manusia menganggapnya gila dan
sebagainya, Allah lebih tahu daripada hamba-hambanya. Wallahu ya’lamu wa antum la ta’lamun.
Salah satu
prestasi yang aku iri kepada Pak Tua adalah ia pernah melakukan shalat di atas
menara. Begitu yang aku dengar dari Ustadz.
Ayoo....!!! sopo sing wani...?
Anshofa,
Januari 2014