Allah itu ndak ndeso lo. Kita sering terjebak pada
satu liniersi pemikiran dan ajaran kalau
Allah sudah menetapkan satu hukum dan
kita sengaja melanggarnya, sudah tentu dosa menjadi efeknya. Dalam ranah
ibadhah mahdhah, shalat, puasa, zakat, dan haji menjadi tonggak utama kualitas
keislaman kita sehingga tak ada dalil dalam pustaka apa saja bahwa kelima rukun
islam itu boleh ditinggalkan. Tapi memang dasar kita, kadangkala mungkin juga
seringkali kita ini ngajak “guyon” Gusti Allah. Jangan kaget jika ada santri
sering ngomong “Afdhalul A’mal Assholatu fi Awwali Waktiha” ternyata diam-diam
dia justru sering shalat “Fi Akhiri
Waktiha”. Anda harus sedikit pintar,
jangan buru-buru men-just bahwa dia menyepelekan shalat, kita tidak tahu bahwa
ternyata Allah justru menaruh rahmad dan kasihNya kepada si santri ini. Nah lo.
Inilah yang sering menjebak kita dalam menangkap berbagai
kompleksitas permasalahan
yang ada. Orang dengan seenaknya menghakimi sesuatu tanpa tahu persoalan
dibelakangnya. Seorang dosen dengan mudah mengebiri nilai mahasiswanya hanya
karena si mahasiswa sering terlambat dalam mata kuliahnya, padahal mahasiswa ini setiap pagi harus bertarung
melawan waktu dengan pertarungan yang tak rasional. Dari shubuh hingga pukul
06.30 dia harus membagi waktu dengan menjadi loper Koran sekaligus kuliah.
Setiap hari tanpa berhenti. Praktis, dia sering telat masuk kuliah pagi.
Pengebirian nilai itu tak akan terjadi bila tercipta hubungan harmonis dengan
menanyakan alasan-alasan mengapa dia sering terlambat.
Seorang santri dita’zir oleh keamanan pondok karena
ketahuan tidak sholat jum’at pada suatu hari. Tanpa mengetahu alasan yang
sebenarnya, keamanan pondok nyeramahi habis-habisan tanpa memberi kesempatan
santri itu mengemukakan alasannya mengapa ia tak shalat jum’at. Alasan “klise”,
shalat jum’at hukumnya wajib, sehingga jika ada seorang muslim tidak menunaikan
shalat jum’at maka ketentukan syari’at sudah jelas ia akan berdosa sebagaimana
meninggalkan shalat fardhu. Karena shalat jum’at adalah pengganti dari shalat
dhuhur. Maka pendidikan di pesantren benar-benar mengajarkan akan pentingnya
melaksanakan syari’at dengan sempurna. Dimulai dengan dipaksa diharapkan santri
bisa terbiasa, jika santri sudah mampu melaksanakan syari’at dengan kebiasaan
tanpa proses berfikir lagi itulah sesungguhnya letak keberhasilan pendidikan
yang diterapkan. Pun dengan kelebihan dan kekurangannya. Maka, wajar jika
keamanan pondok itu member sanksi kepada si santri walaupun jauh dibelakang ada
alasan rasional dan logis mengapa si santri harus meninggalkan shalat jum’at.
Sebuah flash back
Aku sedikit berani mengatakan Allah
ndak ndeso salah satunya adalah karena faktor latar belakang dan konsekuensi logis dari mengapa si
santri harus
berat hati meninggalkan shalat jum’atnya. Gus santri ini dihadapkan pada dua
hal yang membuatnya harus memilih . Tetap menunaikan kewajiban syari’atnya atau
menolong orang kecelakaan di hadapannya. “Ah..Gusti Allah ndak ndeso” begitu
batinnya sambil bergegas menolong pengendara motor yang kecelakan di depan
matanya. Aku kira si santri tetap mendapatkan pahala shalat jum’atnya sebagaimana kisah kyai yang mendapat predikat
haji mabrur tetapi wurung berangkat ke makkah karena mentasarufkan
tabungan hajinya kepada tetangganya yang sakit untuk berobat. Begitu juga
dengan seseorang yang membatalkan puasa sunnahnya karena menghormati hidangan
tuan rumah yang menjamunya.
Salah satu output
keislaman seseorang adalah dalam ranah sosialnya. Kebaikan dan kemaslahatan
sosial harus diutamakan karena frekuensi
ampunan Allah tidak akan terwujud tanpa saling meminta maaaf dulu diantara
manusia.
Saling husnudzonlah
diantara sesama.
Malang, oktober 2012