Jumat, 05 Oktober 2012

Tuhan ndak ndeso


            Allah itu ndak ndeso lo. Kita sering terjebak pada satu liniersi pemikiran dan ajaran  kalau Allah sudah menetapkan satu hukum dan  kita sengaja melanggarnya, sudah tentu dosa menjadi efeknya. Dalam ranah ibadhah mahdhah, shalat, puasa, zakat, dan haji menjadi tonggak utama kualitas keislaman kita sehingga tak ada dalil dalam pustaka apa saja bahwa kelima rukun islam itu boleh ditinggalkan. Tapi memang dasar kita, kadangkala mungkin juga seringkali kita ini ngajak “guyon” Gusti Allah. Jangan kaget jika ada santri sering ngomong “Afdhalul A’mal Assholatu fi Awwali Waktiha” ternyata diam-diam dia justru sering  shalat “Fi Akhiri Waktiha”.  Anda harus sedikit pintar, jangan buru-buru men-just bahwa dia menyepelekan shalat, kita tidak tahu bahwa ternyata Allah justru menaruh rahmad dan kasihNya kepada si santri ini. Nah lo.
            Inilah yang sering menjebak kita dalam menangkap berbagai kompleksitas permasalahan yang ada. Orang dengan seenaknya menghakimi sesuatu tanpa tahu persoalan dibelakangnya. Seorang dosen dengan mudah mengebiri nilai mahasiswanya hanya karena si mahasiswa sering terlambat dalam mata kuliahnya, padahal  mahasiswa ini setiap pagi harus bertarung melawan waktu dengan pertarungan yang tak rasional. Dari shubuh hingga pukul 06.30 dia harus membagi waktu dengan menjadi loper Koran sekaligus kuliah. Setiap hari tanpa berhenti. Praktis, dia sering telat masuk kuliah pagi. Pengebirian nilai itu tak akan terjadi bila tercipta hubungan harmonis dengan menanyakan alasan-alasan mengapa dia sering terlambat.
            Seorang santri dita’zir oleh keamanan pondok karena ketahuan tidak sholat jum’at pada suatu hari. Tanpa mengetahu alasan yang sebenarnya, keamanan pondok nyeramahi habis-habisan tanpa memberi kesempatan santri itu mengemukakan alasannya mengapa ia tak shalat jum’at. Alasan “klise”, shalat jum’at hukumnya wajib, sehingga jika ada seorang muslim tidak menunaikan shalat jum’at maka ketentukan syari’at sudah jelas ia akan berdosa sebagaimana meninggalkan shalat fardhu. Karena shalat jum’at adalah pengganti dari shalat dhuhur. Maka pendidikan di pesantren benar-benar mengajarkan akan pentingnya melaksanakan syari’at dengan sempurna. Dimulai dengan dipaksa diharapkan santri bisa terbiasa, jika santri sudah mampu melaksanakan syari’at dengan kebiasaan tanpa proses berfikir lagi itulah sesungguhnya letak keberhasilan pendidikan yang diterapkan. Pun dengan kelebihan dan kekurangannya. Maka, wajar jika keamanan pondok itu member sanksi kepada si santri walaupun jauh dibelakang ada alasan rasional dan logis mengapa si santri harus meninggalkan shalat jum’at.
Sebuah flash back
            Aku sedikit berani mengatakan Allah ndak ndeso salah satunya adalah karena faktor latar belakang dan konsekuensi logis dari mengapa si santri harus berat hati meninggalkan shalat jum’atnya. Gus santri ini dihadapkan pada dua hal yang membuatnya harus memilih . Tetap menunaikan kewajiban syari’atnya atau menolong orang kecelakaan di hadapannya. “Ah..Gusti Allah ndak ndeso” begitu batinnya sambil bergegas menolong pengendara motor yang kecelakan di depan matanya. Aku kira si santri tetap mendapatkan pahala shalat jum’atnya  sebagaimana kisah kyai yang mendapat predikat haji mabrur tetapi wurung berangkat ke makkah karena mentasarufkan tabungan hajinya kepada tetangganya yang sakit untuk berobat. Begitu juga dengan seseorang yang membatalkan puasa sunnahnya karena menghormati hidangan tuan rumah yang menjamunya.
            Salah satu output keislaman seseorang adalah dalam ranah sosialnya. Kebaikan dan kemaslahatan sosial harus diutamakan karena  frekuensi ampunan Allah tidak akan terwujud tanpa saling meminta maaaf dulu diantara manusia.   
            Saling husnudzonlah diantara sesama.
Malang, oktober 2012