Dengan
teman sebaya, aku tancap gas ke Malang kota. Menghadiri maulid bersama IKAPMII
di kantor NU Malang. Supra fit siap menunggu di altar musholla depan. Motor butut
tahun 2003 yang sampai hari ini masih setia menemani. Pun dengan konsekuensi
logis. Namanya motor butut, perkara mogok, busi hangus, lampu kelap-kelip, rantai
kendor menjadi bagian estetik dari ke-bututan motor tahun 2003 ini.
Maaf,
keindahan itu tidak bisa terlepas dari tiga hal. Estetika, saintika, dan etika.
Aksentuasi penerapannya terserah harus dipandang dari sudut mana dan siapa
pelakunya. Termasuk teman sejatiku Supra Fit ini. Di dalam rengekan mesinnya,
kelap-kelip lampu sorotnya, mengslenya dua kaca spion, deru knalpotnya dan
seluruh anatomi mesinnya.
Estetika
itu bentuk keindahan, pesona, aura perasaan yang tak terungkap. Perempuan misalnya.
Jika bilogisitas menjadi estetik intuitif pada mata anda memandang, ya sudah
yang indah hanya itu-itu saja. Eksploitasi sensual menjadi efek paling mengena,
bahwa penilaian anda letaknya pada fisik bukan nilai. Hidungnya, matanya,
wajahnya, bodinya, mulusnya, de el el. Supra fitku yang jadul, bagiku menyimpan
akselerasi estetik yang sufistik (opo iku.hehehe). jadul itulah nilai
estetikanya.
Tingkat
kedua adalah saintika. Pengetahuan. Pengetahuan esensi pada manusia
sesungguhnya terletak pada dinamika berfikir, merenung, ber-tadabbur, kritis,
sebagai landasan dasar dari proses mereka menggali sesuatu, menerapkan
kekhalifahan di dunia. membuat stabilitas dimana ia berada. Ia menjadi mukmin—orang
yang setia pada amanat— pengetahuan tentang amanat itulah yang menjadikan nilai
keindahan menempati spectrum tinggi dalam pencapaian pengetahuan manusia. Amanat
untuk ngedusi motor, ndandani busi, ngelap bodi, mungkin
juga rajin nyervis di ahass motor. Heuheuheu.
Yang
ketiga adalah etika. Beda terminology antara apa itu etika, moral dan akhlak. Etika
itu ketika anda melakukan hal-hal—yang mencakup perilaku manusia—secara
spontanitas, tetapi didahului oleh metodoli sikap, hakikat filosoif
kemanusiaan, pengetahuan dasar akan kesadaran berperilaku. Ia terbangun dari
sikap kritis dan komunikasi antar manusia. Anda bisa ngekos, ngontrak selama
dua tahun berturut-turut tapi tidak mengenal teman kos samping kamar anda. Lalu
anda mulai membuka ruang untuk mengenalnya, menyapanya, bertegur sapa,
main-main ke kamarnya untuk membangun hubungan personal diantara sesama. Itulah
etika.
Moral,
ia adalah produk dari agama dan budaya. Ia bersifat elastis dan relative. Dimana
setiap keberagaman budaya, adat, termasuk agama menyimpan heterogensi moral
yang berbeda-beda. Orientasi vertikalnya mengacu pada perilaku positif
sosialis. Anda menampung anak-anak yatim, mendidiknya dengan baik, mengasuhnya
dengan kasih sayang, memberikan ruang kreativitas-kreativitas, agama
melegitiminasi anda termasuk orang-orang yang beriman. Kebudayaan menghargai
perbuatan anda dengan orang yang bermoral.
Sedang
akhlak. Ia jamak dari lafadh khuluk yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat. Seseorang dapat dikatakan berakhlak jika
timbul dengan sendirinya dan didorong oleh motivasi dari dalam diri dan dilakukan tanpa banyak pertimbangan,
pemikiran apalagi pertimbangan yang sering diulang-ulang, sehingga terkesan
sebagai keterpaksaan untuk berbuat. Kesadaran intuitif dalam berperilaku.
Setiap pagi, anda berkeliling desa, nyambangi ibu-ibu, nengok ke dapur,
lalu memberikan semacam idkholul surur—nambahi uang saku untuk beli
beras, uang jajan anak—anda termasuk orang yang berakhlak.
Tiba-tiba aku dikagetkan dengan bau gosong,
sepertinya ada yang hangus.
“Aaaaaaa tidaaaaak…!!!”
Busi motorku kobong lagi.