Jumat, 05 Juli 2013

Membentuk sikap, perilaku dengan dongeng

Lagi, kali ini Romo Agus Sunyoto mengecek lembaran KHP (kegiatan harian pembelajaran) yang disusun sistematis berdasarkan alur kegiatan yang dilakukan siswa dari pagi hingga pulang sekolah. KHP ini terdiri atas enam point dengan beberapa keterangan, yang menyangkut segala indicator dimana siswa akan dibimbing sesuai kemampuannya, kelompoknya.

Agak lama beliau mencermati KHP tersebut. Aku melihat dahi beliau berkerut, sesekali melihat inbox handphone merk cross yang dipegangnya. Tentang handphone, Bu Nur pernah menceritakan.

“ Pak Agus saking zuhudnya, hingga ia tidak memikirkan dirinya. Pakaiannya, motornya, dan Handphonya itu lho. Jadul juga jelek lagi. Hehehe. Dan itu yang membuat saya cinta sama dia. Saya berusaha untuk tidak kagum kepaada siapa saja kecuali kepada suami saya. Apalagi kagum kepada Cak Nun. “ Bu Nur tertawa.

“ Cak Nun?”

“ Iya. Karena saya takut sama dia (Cak Nun)”

“ Kenapa Bu”

“ Matanya itu lho. Suka jelalatan kalau lihat perempuan”

“ Itu bukan jelalatan Bu. Mungkin Cak Nun mau transfer ilmu”

“ halah”

Romo melepas kaca matanya. Bu Har, Bu Heny, dan Bu Sar menyimak apa yang dikatakan Romo. Beliau mengambil selembar kertas. Menggambar bagan, skema.

“ Seluruh kurikulum  pendidikan di dunia sebenarnya berpuncak pada tiga hal. Dimana Taxonomi Blung men-skemakannya atas tiga hal. Kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kognitif yang berarti intelektual, afektif itu sikap maupun perilaku dan psikomotorik. Psikomotorik itu gerak. Untuk anak yang masih berusia satu sampai tujuh tahun, porsi yang lebih banyak diberikan adalah afektif dan psikomotorik. Disitulah dogma-dogma disusupkan”

“ Maksudnya disusupkan dos pundi Romo?”

“ Ajaran tentang perilaku, sikap bagusnya diajarkan lewat dongeng-dongeng, cerita-cerita, kisah-kisah. Anak usia seperti itu imajinasinya harus dikembangkan. Dan kita tidak boleh memaksa. Biarkan imajinasinya tumbuh, berkhayal kesana-kemari. Kisah Malinkundang, Panji Laras, Timun Emas dan lain-lainnya akan pelan-pelan membentuk sikap dan perilaku mereka. Bagaimana harus sopan sama orang tua, menyayangi binatang, berbagi kepada sesama. Karena inti pendidikan sebenarnya adalah mendekaatkan mereka kepada warisan leluhur, budaya turun-temurun dari nenek moyang mereka. Bukan mengejar prestisius di skala internasional”.

Pagi itu mbak Nisa’ tidak nongol seperti biasanya. Entah pergi kemana. Biasanya, ia rajin membantu Bu Heny dan Bu Har. Membantu apa saja. Menyampul LKS, buku, membelikan spidol, urun rembuk ide dan gagasan.

Romo melanjutkan

“ Inilah yang membedakan anak desa dengan anak kota. Anak-anak desa masih terbangun segala perilakunya dengan dongeng-dongeng yang diceritakan orang tuanya. Anak-anak kota tidak. Dari kecil hingga dewasa fikirannya, cara melihat sesuatu, sudah terkontaminasi dengan game. Dan semua game isinya tawuran, perang-perangan. Counter strike, warrior de el el. Jangan heran di kota marak sekali anak-anak sekolah yang terlibat tawuran. Cara berfikir mereka dari kecil sudah terbangun dengan game-game yang mereka mainkan.  ”

“ Setelah anak-anak diajarkan tentang pembangunan sikap dan perilaku, bimbing, ajak mereka untuk bergerak. Menggerakkan apa saja. Misal dengan membuat kerajianan dan kreatifitas. Ajak mereka menggambar apa saja. Biarkan imajinasinya tumbuh, liar kemana-mana.  Dan jangan diajari berhitung. Nanti dulu. Itu belum waktunya. Boleh diajari, tapi yang sederhana-sederhana saja.

Romo kemudian memerikan contoh. Beliau membuat simulasi perkalian yang biasa diajarkan di sekolah-sekolah. Lalu menghitungnya dengan perkalian yang sangat sederhana. Perkalian yang dianggap rumit, bisa menyenangkan dengan metode, cara, yang asyik, tidak ruwet.

lha dengan cara seperti ini kan bisa. Sedang yang diajarkan di sekolah caranya ya itu-itu saja. Dari tahun ke tahun tidak ada perubahan. Tidak ada perkembangan, menjemukan”

Pagi itu, Bu heny, Bu Har, Romo sedang mempersiapkan segala keperluan untuk rapat wali murid. Tidak terasa waktu menunjukkan pukul 11.25 Wib. Adzan sholat jum’at sudah berkumandang.

Aku ingat pesan beliau

“ Anak-anak harus diperlakukan seperti raja. Ia harus dipuji, dihibur, tidak boleh dipaksa dalam hal, bentuk apapun”.
Pakis, 05 Juli 2013


Sabdo Pak Agus dan Celana Bolong

Pak Agus Sunyoto membuka beberapa lembar LKS dan buku-buku ajar RA. Terbitan Eirlangga. Pasokan kurikulum dari Depag untuk semua pendidikan RA diseluruh Indonesia. Tahun terbitan 2013. Beliau tiba-tiba duduk disebelah saya yang lagi ngebal-ngebul roko’an. Bingung membuan putung rokok, tak slempitno ae neng clono. Pulang-pulang celana sudah bolong. Inilah kritik, pandangan-pandangan yang beliau lontarkan tentang pendidikan.

“Depag kadang-kadang ngawur membuat kurikulum PAUD, RA dan TK. Mereka berfikir bahwa pendidikan anak usia demikian harus diajarkan baca dan tulis. Itu bukan dunia mereka. Dunia anak adalah dunia cerita, kisah, dongeng dan permainan. Di Jerman, metode ini benar-benar diterapkan. Pengetahuan matematika, agama, berbahasa dielaborasi dalam sebuah cerita menarik, permainan yang kreatif. Kurikulum seperti ini—yang mengajarkan menulis dan berhitung, hanya akan mendoktrin, mendikte fikiran orsinil mereka. Pendidikan kita sudah benar-benar kehilangan arah. Dikiranya urusan sekolah, kuliah hanya tentang pengetahuan akal. Dogma-dogma pragmatisme hampir menjalar di seluruh segment. Ya misalnya “ kalau kamu tidak dapat nilai bagus, rangking satu, dapat gelar, kuliah di perguruan hebat, nanti orepmu soro, angel nggolek kerjo dan lain-lain. Podo ngawur kabeh”.

Masih salting. Saya hanya mengangguk.

“Pendidikan itu bahasa arabnya tarbiyah dari akar kata rabbun yang berarti Tuhan. Itulah hakikatnya, subtansinya. Maka, di sekolah ini An, anak-anak sebisa mungkin disusupkan nilai-nilai ketuhanan, ajaran-ajaran agama dalam pembelajarannya. Sebelum mereka memulai pelajaran, anak-anak yang masih suci itu membaca wirid, membaca surat-surat pendek, do’a-do’a, sholawat, dengan khusyuk sebelum memulai pelajaran. Membaca istigfar, shalawat nariyah, shalawat burdah dan ditutup dengan shalat dhuha. Ada dua makna tersirat didalamnya”.

Bu Sar mengetuk pintu. Membawa gorengan tape dan es  marimas.

“ Niki Pak jajane”

“nggeh, njenengan seleh mriku” ujar Pak Agus dan kembali melanjutkan.

Pertama, anak dengan usia 4-5 tahun sangat mudah, cepat menghafal dan meniru setiap kata, kalimat maupun  perilaku yang ada didepannya. Wirid, shalawat, hafalan doa, hafalan surat-surat pendek dan shalat dhuha yang mereka lakukan setiap hari akan benar-benar menempel dalam ingatan, menancap dalam alam bawah sadarnya sampai berpuluh-puluh tahun berikutnya. Saya ketika SMP banyak hafal lagu-lagu barat, dan lupa ketika sudah jadi mahasiswa. Tapi do’a-do’a yang saya hafal ketika masih ngaji dulu masih kuat melekat.

Kedua, hati atau qolbiyah anak senantiasa harus dilatih, dibiasakan dan digiring menuju nilai-nilai ketuhanan. Melihat awan, gunung, membaca subhanallah. Merasakan angin berhembus sadar Tuhan. Sebelum dan sesudah makan membaca do’a, merasakan angin berhembus sadar Allah. Jika ini dilatih, dibiasakan dalam proses berikutnya kehadiran dzat Allah akan pelan-pelan merasuk dalam alam bawah sadar anak. Dalam berperilakunya, cara berfikirnya, penataan mentalnya, berperasangkanya. Kita dengan tlaten dan sabar mengasah intuisi ketuhanan mereka.

Mbak Nisa’ ikut nimbrung. Ngrangkul Abinya. Mbak Nisa’ siang itu tidak berkerudung, rambutnya kemerah-merahan, lurus sebahu diikat ekor kuda.

“ Bi, kertas harga sudah habis. Harus beli lagi “

“ Yo wes tuku kono “ Pak Agus menyahut dan Mbak Nisa’ ngluyur ke belakang. Pak Agus masih melanjutkan.

“ Intisari pendidikan sesungguhnya adalah menjadikan manusia bertakwa, beriman. Bukan ketergantungan. Apalagi bergantung dengan gelar, pangkat, jabatan, harta dan dunia seisinya. Kita ini kan khalifah, wakil Allah. Menempati derajat tertinggi dalam tatanan dan penciptaaan alam semesta. Derajat kita sangat tinggi. Maka bukanlah kita yang mencari dunia, dunia itulah yang seharusnya mencari kita. dalam tahap tertentu, jika manusia sudah menyatu dengan Tuhannya ia akan mudah menyerap ilmu pengetahuan apapun. Ia akan pandai, cerdas—karena nilai-nilai ketuhanan sudah menyatu dalam dirinya. Dan mereka tidak harus sekolah”.

“ Maka, mumpung mereka masih kecil pendidikan seperti ini harus ditanamkan pada mereka. Perbedaan paling nyata sekolah ini dengan sekolah Kristen adalah ; kita sangat punya asupan waktu banyak mengajarkan nilai-nilai agama. Salah satunya di bulan ramadhan. Nah mereka ibadahnya hanya hari minggu, dan tidak ada waktu mengajarkan, mendoktrin agama Kristen dan seluk beluknya yang diajarkan hanya ilmu-ilmu umum. Matematika, fisika, biologi, bahasa inggris dan seterusnya.

“ Coba lihat gedung sebelah An. Gedung baru dalam proses pembangunan itu. Banyak yang protes, Tanya sama saya. Termasuk teman-teman dari Unibraw”.

“ Lho, njenengan kan cuma dosen tamu dan penulis saja Pak. Kok bisa membangun gedung baru dengan pengeluaran lebih banyak dari pemasukan, gaji anda sendiri”  Saya hanya cengar-cengir saja mendengar pertanyaan mereka.

“ Gedung ini saya bangun dengan biaya sendiri, tabungan saya sendiri. Ya uang saya pribadi. Saya tidak pernah meminta, apalagi mengemis pada teman-teman konglomerat, instansi, perusahan manapun. Yo moro-moro onok ae. Kita lagi butuh, kok Alhamdulillah ada jalan. Ceritanya tiba-tiba bapak-bapak tukang sudah ndak kerja. katanya materiilnya habis. Saya hanya ada uang seratus lima puluh ribu. Besoknya, ada seorang facebooker dari Jakarta meminta nomer rekening. Ya saya kasih rekening sekolah itu. tiga hari kemudian, ia memberi kabar sudah mentransfer beberapa juta ke rekening. Ia bilang ingin membantu pembangunan gedung. Dan itu saya tidak meminta. Ada lagi. Seorang janda pemilik depot disamping Universitas Widyiagama menelfon saya. Juga meminta nomor rekening. Tiga hari kemudian ia bilang “ Ini nadzar saya Pak. Sudah saya kirim ke rekening njenengan. Lalu saya cek ada beberapa puluh juta yang ditansfer. Lalu jadilah gedung baru itu. walaupun status tanahnya wakof”.

“ Di al Qur’an sudah tertera siapa yang bertakwa kepada Allah akan disediakannya jalan dan rezeki yang tidak terduga-duga. Bukan berarti pasrah total dan hanya mengandalkan iman dan takwa. Ya harus tetap ikhtiyar”


Pakis 02 Juli 2013