Lagi, kali ini Romo Agus Sunyoto mengecek lembaran KHP (kegiatan
harian pembelajaran) yang disusun sistematis berdasarkan alur kegiatan yang
dilakukan siswa dari pagi hingga pulang sekolah. KHP ini terdiri atas enam
point dengan beberapa keterangan, yang menyangkut segala indicator dimana siswa
akan dibimbing sesuai kemampuannya, kelompoknya.
Agak lama beliau mencermati KHP tersebut. Aku melihat dahi beliau
berkerut, sesekali melihat inbox handphone merk cross yang dipegangnya. Tentang
handphone, Bu Nur pernah menceritakan.
“ Pak Agus saking zuhudnya, hingga ia tidak memikirkan dirinya.
Pakaiannya, motornya, dan Handphonya itu lho. Jadul juga jelek lagi. Hehehe.
Dan itu yang membuat saya cinta sama dia. Saya berusaha untuk tidak kagum
kepaada siapa saja kecuali kepada suami saya. Apalagi kagum kepada Cak Nun. “
Bu Nur tertawa.
“ Cak Nun?”
“ Iya. Karena saya takut sama dia (Cak Nun)”
“ Kenapa Bu”
“ Matanya itu lho. Suka jelalatan kalau lihat perempuan”
“ Itu bukan jelalatan Bu. Mungkin Cak Nun mau transfer ilmu”
“ halah”
Romo melepas kaca matanya. Bu Har, Bu Heny, dan Bu Sar menyimak apa
yang dikatakan Romo. Beliau mengambil selembar kertas. Menggambar bagan, skema.
“ Seluruh kurikulum
pendidikan di dunia sebenarnya berpuncak pada tiga hal. Dimana Taxonomi
Blung men-skemakannya atas tiga hal. Kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Kognitif yang berarti intelektual, afektif itu sikap maupun perilaku dan
psikomotorik. Psikomotorik itu gerak. Untuk anak yang masih berusia satu sampai
tujuh tahun, porsi yang lebih banyak diberikan adalah afektif dan psikomotorik.
Disitulah dogma-dogma disusupkan”
“ Maksudnya disusupkan dos pundi Romo?”
“ Ajaran tentang perilaku, sikap bagusnya diajarkan lewat
dongeng-dongeng, cerita-cerita, kisah-kisah. Anak usia seperti itu imajinasinya
harus dikembangkan. Dan kita tidak boleh memaksa. Biarkan imajinasinya tumbuh,
berkhayal kesana-kemari. Kisah Malinkundang, Panji Laras, Timun Emas dan
lain-lainnya akan pelan-pelan membentuk sikap dan perilaku mereka. Bagaimana
harus sopan sama orang tua, menyayangi binatang, berbagi kepada sesama. Karena
inti pendidikan sebenarnya adalah mendekaatkan mereka kepada warisan leluhur,
budaya turun-temurun dari nenek moyang mereka. Bukan mengejar prestisius di
skala internasional”.
Pagi itu mbak Nisa’ tidak nongol seperti biasanya. Entah pergi
kemana. Biasanya, ia rajin membantu Bu Heny dan Bu Har. Membantu apa saja.
Menyampul LKS, buku, membelikan spidol, urun rembuk ide dan gagasan.
Romo melanjutkan
“ Inilah yang membedakan anak desa dengan anak kota. Anak-anak desa
masih terbangun segala perilakunya dengan dongeng-dongeng yang diceritakan
orang tuanya. Anak-anak kota tidak. Dari kecil hingga dewasa fikirannya, cara
melihat sesuatu, sudah terkontaminasi dengan game. Dan semua game
isinya tawuran, perang-perangan. Counter strike, warrior de el el.
Jangan heran di kota marak sekali anak-anak sekolah yang terlibat tawuran. Cara
berfikir mereka dari kecil sudah terbangun dengan game-game yang mereka
mainkan. ”
“ Setelah anak-anak diajarkan tentang pembangunan sikap dan
perilaku, bimbing, ajak mereka untuk bergerak. Menggerakkan apa saja. Misal
dengan membuat kerajianan dan kreatifitas. Ajak mereka menggambar apa saja.
Biarkan imajinasinya tumbuh, liar kemana-mana. Dan jangan diajari berhitung. Nanti dulu. Itu
belum waktunya. Boleh diajari, tapi yang sederhana-sederhana saja.
Romo kemudian memerikan contoh. Beliau membuat simulasi perkalian
yang biasa diajarkan di sekolah-sekolah. Lalu menghitungnya dengan perkalian
yang sangat sederhana. Perkalian yang dianggap rumit, bisa menyenangkan dengan
metode, cara, yang asyik, tidak ruwet.
“ lha dengan cara seperti ini kan bisa. Sedang yang
diajarkan di sekolah caranya ya itu-itu saja. Dari tahun ke tahun tidak ada perubahan.
Tidak ada perkembangan, menjemukan”
Pagi itu, Bu heny, Bu Har, Romo sedang mempersiapkan segala
keperluan untuk rapat wali murid. Tidak terasa waktu menunjukkan pukul 11.25
Wib. Adzan sholat jum’at sudah berkumandang.
Aku ingat pesan beliau
“ Anak-anak harus diperlakukan seperti raja. Ia harus dipuji,
dihibur, tidak boleh dipaksa dalam hal, bentuk apapun”.
Pakis, 05 Juli
2013