Selasa, 20 November 2012

Bertemu Romobargowo



Aku ingin tertawa. Sekencang-kencangnya. Ingin menangis. Sederu-derunya. Terhadap keinginan nafsu yang membuat akal dan hatiku buta dan bisu. Kebutaan itu merongrong bagai siuman srigala di tengah sinar rembulan. Membuat sejengkal langkah kakiku lumpuh. Telingaku keluar darah dan nanah yang anyir sekali baunya. Mengeluarkan peluh basah, keringat deras menutupi pori-pori kulitku yang kasar. Terasa panas sekali peluh ini. Benar-benar panas. Tetesannya yang jatuh ke tanah tiba-tiba berubah menjadi percikan api yang membakar. Membakar sedikit demi sedikit apa-apa yang ada disampingku.
Tiba-tiba angin berhembus. Perlahan namun pasti. Hembusannya terasa sejuk, kemudian hangat, lalu berubah lagi menjadi panas. Seperti sinar matahari membakar kulit jika kau terhempas di tengah samudra. Rambut panjangku terurai. Lalu tiba-tiba rontok perlahan. Ada apa ini.
Angin itu berubah menjadi kencang. Kencang sekali. Kerikil, bebatuan, daun-daun kering, besi, tanah liat disekitarku beterbangan. Membentuk sebuah poros deras yang melingkar. Berputar terus berputar. Aku terjebak di tengah derasnya porosan itu. Aku ketakutan. Di tempat gelap nan dingin ini aku tak ada teman. Kepada siapa aku meminta bantuan.
Kumencoba keluar dari derasnya porosan itu. Kusingkap. Cruuuuuuus. Tanganku berdarah. Ternyata semakin deras membuat poros itu seakan menjadi silet tajam. Aku tak bisa keluar darinya. Aku menjerit sekeras-kerasnya. Berharap ada seseorang yang mendengar teriakanku. Nihil. Aku pasrah.
Aku hanya diam tak berbuat apa-apa. Yang kulihat hanya putaran-putaran deras mengelilingiku. Dua jam, tiga jam hingga lima jam aku terjebak. Tiba-tiba, seseorang menarik tanganku dengaan keras. Keras sekali. Hingga aku terlempar beberapa meter darinya. Kepalaku terhantam batu. Mengeluarkan darah kental di ujung pelipisku. Ssambil meringis kesakitan, kucoba menerawang siapa yang ada dihadapanku. Agak samar, karena hantaman itu juga berpengaruh terhadap penglihatanku.
Sosoknya besar, besar sekali. Tingginya lima kaki dari tinggiku. Rambutnya panjang terurai. Memakai jubbah panjang hitam. Seekor rajawali hinggap di pundaknya.matanya yang tajam menatapku penuh kedengkian, kesombongan, tapi kurasakan bahwa matanya diam-diam menyimpan kelembutan.
Dia menghampiriku yang terseok-seok. Ya Allah…siapa dia. Aku tak mampu berdiri. Tiba-tiba kakiku serasa lumpuh. Aku hanya bisa merangkak kebelakang untuk menghindarinya. Kusingkap sebuah batu, bersiap-siap jika ada sesuatu yang terjadi.
“ Tak usah kau mencoba melarikan diri, percuma” katanya
Dia bisa mendengar fikiranku. Sedang dia semakin mendekat. Dia mencengkram bajuku. Ditariknya dengan keras hingga terkoyak. Aku telanjang dada. Tak puas. Dia mencekkiku hingga aku terangkat. Persis di wajahnya aku bertatap dengannya.
“Kau tahu aku kan”?
“ Kau Romobargowo” ucapku tak kuat.
Aku dilempar hingga terhempas ke pepohonan. Sepertinya tulang punggungku retak. Aku semakin tak bisa berbuat apa-apa. Kalaupun Allah menakdirkanku mati dengan cara seperti ini, sekali lagi aku hanya bisa pasrah.
            “Camkan An, begitu terpedayanya kau dengan kemesraan dunia. Hingga kau tak sadar dan menjadi lupa. Bodooh. Ingin sekali kumakan daging, jantung, dan telingamu. Tapi tidak sekarang. Sekali lagi dengarkan ucapanku. Jika kau terus melakukan hal-hal bodoh, tak berguna, memubadzirkan hal-hal yang baik. Aku akan datang kepadamu di lain waktu. Ini peringatan untukmu”. Ucapnya dengan lantang”.
Ia menghilang. Disertai dengan pusaran itu. Aku hanya meringis kesakitan. Aku hanya sendirian di tengah gelapnya malam. Kedinginan tanpa selimut tebal. Luluh lantah badanku, hancur lebur indra-indraku.
Ya Allah apa lagi ini.
Malang, November 2012.
01.37 Wib dini hari