Aku
ingin tertawa. Sekencang-kencangnya. Ingin menangis. Sederu-derunya. Terhadap keinginan
nafsu yang membuat akal dan hatiku buta dan bisu. Kebutaan itu merongrong bagai
siuman srigala di tengah sinar rembulan. Membuat sejengkal langkah kakiku
lumpuh. Telingaku keluar darah dan nanah yang anyir sekali baunya. Mengeluarkan
peluh basah, keringat deras menutupi pori-pori kulitku yang kasar. Terasa panas
sekali peluh ini. Benar-benar panas. Tetesannya yang jatuh ke tanah tiba-tiba
berubah menjadi percikan api yang membakar. Membakar sedikit demi sedikit apa-apa
yang ada disampingku.
Tiba-tiba
angin berhembus. Perlahan namun pasti. Hembusannya terasa sejuk, kemudian
hangat, lalu berubah lagi menjadi panas. Seperti sinar matahari membakar kulit
jika kau terhempas di tengah samudra. Rambut panjangku terurai. Lalu tiba-tiba
rontok perlahan. Ada apa ini.
Angin
itu berubah menjadi kencang. Kencang sekali. Kerikil, bebatuan, daun-daun
kering, besi, tanah liat disekitarku beterbangan. Membentuk sebuah poros deras
yang melingkar. Berputar terus berputar. Aku terjebak di tengah derasnya porosan
itu. Aku ketakutan. Di tempat gelap nan dingin ini aku tak ada teman. Kepada siapa
aku meminta bantuan.
Kumencoba
keluar dari derasnya porosan itu. Kusingkap. Cruuuuuuus. Tanganku berdarah. Ternyata
semakin deras membuat poros itu seakan menjadi silet tajam. Aku tak bisa keluar
darinya. Aku menjerit sekeras-kerasnya. Berharap ada seseorang yang mendengar
teriakanku. Nihil. Aku pasrah.
Aku
hanya diam tak berbuat apa-apa. Yang kulihat hanya putaran-putaran deras
mengelilingiku. Dua jam, tiga jam hingga lima jam aku terjebak. Tiba-tiba,
seseorang menarik tanganku dengaan keras. Keras sekali. Hingga aku terlempar
beberapa meter darinya. Kepalaku terhantam batu. Mengeluarkan darah kental di
ujung pelipisku. Ssambil meringis kesakitan, kucoba menerawang siapa yang ada
dihadapanku. Agak samar, karena hantaman itu juga berpengaruh terhadap
penglihatanku.
Sosoknya
besar, besar sekali. Tingginya lima kaki dari tinggiku. Rambutnya panjang
terurai. Memakai jubbah panjang hitam. Seekor rajawali hinggap di pundaknya.matanya
yang tajam menatapku penuh kedengkian, kesombongan, tapi kurasakan bahwa matanya
diam-diam menyimpan kelembutan.
Dia
menghampiriku yang terseok-seok. Ya Allah…siapa dia. Aku tak mampu berdiri. Tiba-tiba
kakiku serasa lumpuh. Aku hanya bisa merangkak kebelakang untuk menghindarinya.
Kusingkap sebuah batu, bersiap-siap jika ada sesuatu yang terjadi.
“
Tak usah kau mencoba melarikan diri, percuma” katanya
Dia
bisa mendengar fikiranku. Sedang dia semakin mendekat. Dia mencengkram bajuku. Ditariknya
dengan keras hingga terkoyak. Aku telanjang dada. Tak puas. Dia mencekkiku
hingga aku terangkat. Persis di wajahnya aku bertatap dengannya.
“Kau
tahu aku kan”?
“
Kau Romobargowo” ucapku tak kuat.
Aku
dilempar hingga terhempas ke pepohonan. Sepertinya tulang punggungku retak. Aku
semakin tak bisa berbuat apa-apa. Kalaupun Allah menakdirkanku mati dengan cara
seperti ini, sekali lagi aku hanya bisa pasrah.
“Camkan An, begitu terpedayanya kau dengan kemesraan
dunia. Hingga kau tak sadar dan menjadi lupa. Bodooh. Ingin sekali kumakan
daging, jantung, dan telingamu. Tapi tidak sekarang. Sekali lagi dengarkan
ucapanku. Jika kau terus melakukan hal-hal bodoh, tak berguna, memubadzirkan
hal-hal yang baik. Aku akan datang kepadamu di lain waktu. Ini peringatan
untukmu”. Ucapnya dengan lantang”.
Ia
menghilang. Disertai dengan pusaran itu. Aku hanya meringis kesakitan. Aku hanya
sendirian di tengah gelapnya malam. Kedinginan tanpa selimut tebal. Luluh lantah
badanku, hancur lebur indra-indraku.
Ya Allah apa lagi ini.
Malang, November 2012.
01.37 Wib dini hari