Seluruh
pendidikan akademisku habis sudah kubuang di loker-loker , di ranjang idealitas
seorang mahasiswa. Aku puas sekaligus merana. Puas bahwa segala nilai dan
metodologi berfikir menjadi teraktualisasikan. Ilmu menjadi beranak-pinak,
semakin hari-semakin berkembang biak. Pola fikir dan penataan mental menjadi
progresif dan komperehensif. Lingkup-lingkup struktur maupun kultur menjadi
kohesitas yang saling mendukung satu sama lain. Inilah aku, Andri Kurniawan yang menghabiskan kuliahnya di kantin, di
tembok strukrural organisasi, di seminar, work shop, pelatihan, Ukm,
komunitas-komunitas kecil diskusi, kelompok kritikus, aktivis, gegap gempita
demonstrasi, audiensi birokrasi, dari pada bergelut dengan referensi dan bangku
kelas dimana seharusnya aku menghabiskan waktuku disana. Menyesal? Sama sekali
TIDAK.
Namun,
betapapun aku dengan keras dan lantang mengatakan tidak, tetap saja
sesungguhnya di relung jiwa aku masih mengatakan iya. Iya dan tidak hanya
proses sedetik dua detik untuk menentukan pilihan dan jawaban.
Kurehat
sejenak, mengambil nafas dalam. Lega sekali rasanya. Pori-poriku terbuka,
kejernihan akal dan hati sedikit mulai terkuak. Lau tampaklah sketsa-sketsa
bisu yang membuatku marah, jengkel, dan ingin berteriak.
Tiga
tahun setengah sudah kelalui perjalanan sunyi ini. Di semester tujuh ini mulai
kurasakan berbagai problematika klasik dimana seorang pemuda mulai akan
memikirkan hidupnya ke depan. Lima, sepuluh, hingga dua puluh tahun kemudian.
Segala kolektfitas keilmuan dimana aku mengambil jurusan PBA (Pendidikan bahasa
Arab) tak mampu kukuasai. Opo-opoan iki
rek. Seorang mahasiswa PBA yang pandai mengolah kata, bersilat lidah,
update dengan wacana social dan realita, tapi tak satupun faham dengan kompleks
apa itu Nahwu, Sharaf, Balaghah, Fiqh Lughah, Tsaqafah arabiyah dan kelimuan
bahasa lainnya. Ya inilah aku, Andri kurniawan pemuda yang tak kunjung pandai
dari Jombang.
Kegemaranku
hanyalah menciptakan reduksi-reduksi yang tak berkesudahan. Dinamika hidupku hanya
dipenuhi oleh kegetiran-kegetiran. Bahwa sesungguhnya hatiku memberontak jika
kusaksikan berbagai macam ketimpangan dan aku sendiri pun tak bisa berbuat
apa-apa. Maka. Aku selalu menyembunyikan mimik wajah dan mencoba memakai
topeng. Destruktifitas akhirnya menjadi pelampiasan yang sesungguhnya tiada
guna. Tapi itulah yang bisa kuperbuat, yang akhirnya semua orang terbuka
matanya lebar-lebar bahwa peraturan, undang-undang, hukum dimana seorang berada
harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.
Tak
usahlah menunjukkan citra baik, jaga image, sok
pahlawan, merancang pemberontakan, demi sebuah kepentingan. Kepentingan
orang banyak maupun pribadi. Inilah aku, yang tak kunjung mengerti mengapa aku
harus selalu beridiri, duduk, melangkah, berbicara dan apapun saja. Seluruh
gerak dialektikaku penuh dengan kebingungan dan ketidakfahaman. Jika suatu kali
aku berdiri tegak, memegang microfon, berteriak lantang ditengah para
demonstran itu hanyalah retorika kosong, gombal-gambil agar aku dianggap peduli.
Jika pada suatu ketika aku berkumpul dengan banyak orang, membicarakan
kontekstualitas, mempetakan pergerakan, merencanakan program-progam itu adalah
caraku agar kepentingan pribadiku bisa terselipkan disetiap apa yang
kubicarakan.
Irhamna Jami’an Warzukna
Wasi’an. Sayangi dan jembarkan rezki kami semua.
Siapa
sesungguhnya guru sejati itu. Yang selalu membimbing,mengarahkan, dan meniup
ubun-ubun kita dengan indahnya ilmu pengetahuan. Siapapun itu guru kataku. Tapi
bolehkah kita belajar kepada setan bahkan kepada lelembut, jin, Banaspati,
Gandarwo dan makhluk tak kasat mata lainnya. Bagiku, mereka adalah guru sejati
yang benar-benar murni mengajarkan keaslian diri. Mereka tak ragu mengajarkan
pusaran hitam, pede dan tak menolak dianggap penebar kemaksiatan. Akal dan hati
mereka apa adanya. Buruk dikatakan buruk baik dikatakan baik. Perbedaan yang
mencolok jika aku belajar kepada sesama manusia. Semua kebenaran dan keburukan
bisa terbalik hanya karena niat dan kepentingan. Mereka tak mau jujur dan
selamanya tidak akan pernah bisa jujur. Ku ingin berguru pada setan dan
malaikat. Kepadanya aku tahu makna kejujuran dan keaslian.
Mereka
makhluk statis. Sekalipun setan berada di masjid, setan tetaplah setan.
Walaupun malaikat nongkrong di diskotik, kafe malailat tetaplah malaikat.
Artinya, kepribadian yang utuh tidak bisa terkalahkan dengan kehadiran
muatan-muatan kesenangan maupun kesesatan. Dan aku suka itu.
Malang,
November 2012