Jumat, 23 November 2012

Berguru kepada Setan



Seluruh pendidikan akademisku habis sudah kubuang di loker-loker , di ranjang idealitas seorang mahasiswa. Aku puas sekaligus merana. Puas bahwa segala nilai dan metodologi berfikir menjadi teraktualisasikan. Ilmu menjadi beranak-pinak, semakin hari-semakin berkembang biak. Pola fikir dan penataan mental menjadi progresif dan komperehensif. Lingkup-lingkup struktur maupun kultur menjadi kohesitas yang saling mendukung satu sama lain. Inilah aku, Andri Kurniawan  yang menghabiskan kuliahnya di kantin, di tembok strukrural organisasi, di seminar, work shop, pelatihan, Ukm, komunitas-komunitas kecil diskusi, kelompok kritikus, aktivis, gegap gempita demonstrasi, audiensi birokrasi, dari pada bergelut dengan referensi dan bangku kelas dimana seharusnya aku menghabiskan waktuku disana. Menyesal? Sama sekali TIDAK.
Namun, betapapun aku dengan keras dan lantang mengatakan tidak, tetap saja sesungguhnya di relung jiwa aku masih mengatakan iya. Iya dan tidak hanya proses sedetik dua detik untuk menentukan pilihan dan jawaban.
Kurehat sejenak, mengambil nafas dalam. Lega sekali rasanya. Pori-poriku terbuka, kejernihan akal dan hati sedikit mulai terkuak. Lau tampaklah sketsa-sketsa bisu yang membuatku marah, jengkel, dan ingin berteriak.
Tiga tahun setengah sudah kelalui perjalanan sunyi ini. Di semester tujuh ini mulai kurasakan berbagai problematika klasik dimana seorang pemuda mulai akan memikirkan hidupnya ke depan. Lima, sepuluh, hingga dua puluh tahun kemudian. Segala kolektfitas keilmuan dimana aku mengambil jurusan PBA (Pendidikan bahasa Arab) tak mampu kukuasai. Opo-opoan iki rek. Seorang mahasiswa PBA yang pandai mengolah kata, bersilat lidah, update dengan wacana social dan realita, tapi tak satupun faham dengan kompleks apa itu Nahwu, Sharaf, Balaghah, Fiqh Lughah, Tsaqafah arabiyah dan kelimuan bahasa lainnya. Ya inilah aku, Andri kurniawan pemuda yang tak kunjung pandai dari Jombang.
Kegemaranku hanyalah menciptakan reduksi-reduksi yang tak berkesudahan. Dinamika hidupku hanya dipenuhi oleh kegetiran-kegetiran. Bahwa sesungguhnya hatiku memberontak jika kusaksikan berbagai macam ketimpangan dan aku sendiri pun tak bisa berbuat apa-apa. Maka. Aku selalu menyembunyikan mimik wajah dan mencoba memakai topeng. Destruktifitas akhirnya menjadi pelampiasan yang sesungguhnya tiada guna. Tapi itulah yang bisa kuperbuat, yang akhirnya semua orang terbuka matanya lebar-lebar bahwa peraturan, undang-undang, hukum dimana seorang berada harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.
Tak usahlah menunjukkan citra baik, jaga image, sok  pahlawan, merancang pemberontakan, demi sebuah kepentingan. Kepentingan orang banyak maupun pribadi. Inilah aku, yang tak kunjung mengerti mengapa aku harus selalu beridiri, duduk, melangkah, berbicara dan apapun saja. Seluruh gerak dialektikaku penuh dengan kebingungan dan ketidakfahaman. Jika suatu kali aku berdiri tegak, memegang microfon, berteriak lantang ditengah para demonstran itu hanyalah retorika kosong, gombal-gambil agar aku dianggap peduli. Jika pada suatu ketika aku berkumpul dengan banyak orang, membicarakan kontekstualitas, mempetakan pergerakan, merencanakan program-progam itu adalah caraku agar kepentingan pribadiku bisa terselipkan disetiap apa yang kubicarakan.
Irhamna Jami’an Warzukna Wasi’an. Sayangi dan jembarkan rezki kami semua.
Siapa sesungguhnya guru sejati itu. Yang selalu membimbing,mengarahkan, dan meniup ubun-ubun kita dengan indahnya ilmu pengetahuan. Siapapun itu guru kataku. Tapi bolehkah kita belajar kepada setan bahkan kepada lelembut, jin, Banaspati, Gandarwo dan makhluk tak kasat mata lainnya. Bagiku, mereka adalah guru sejati yang benar-benar murni mengajarkan keaslian diri. Mereka tak ragu mengajarkan pusaran hitam, pede dan tak menolak dianggap penebar kemaksiatan. Akal dan hati mereka apa adanya. Buruk dikatakan buruk baik dikatakan baik. Perbedaan yang mencolok jika aku belajar kepada sesama manusia. Semua kebenaran dan keburukan bisa terbalik hanya karena niat dan kepentingan. Mereka tak mau jujur dan selamanya tidak akan pernah bisa jujur. Ku ingin berguru pada setan dan malaikat. Kepadanya aku tahu makna kejujuran dan keaslian.     
             Mereka makhluk statis. Sekalipun setan berada di masjid, setan tetaplah setan. Walaupun malaikat nongkrong di diskotik, kafe malailat tetaplah malaikat. Artinya, kepribadian yang utuh tidak bisa terkalahkan dengan kehadiran muatan-muatan kesenangan maupun kesesatan. Dan aku suka itu.
Malang, November 2012

Selasa, 20 November 2012

Bertemu Romobargowo



Aku ingin tertawa. Sekencang-kencangnya. Ingin menangis. Sederu-derunya. Terhadap keinginan nafsu yang membuat akal dan hatiku buta dan bisu. Kebutaan itu merongrong bagai siuman srigala di tengah sinar rembulan. Membuat sejengkal langkah kakiku lumpuh. Telingaku keluar darah dan nanah yang anyir sekali baunya. Mengeluarkan peluh basah, keringat deras menutupi pori-pori kulitku yang kasar. Terasa panas sekali peluh ini. Benar-benar panas. Tetesannya yang jatuh ke tanah tiba-tiba berubah menjadi percikan api yang membakar. Membakar sedikit demi sedikit apa-apa yang ada disampingku.
Tiba-tiba angin berhembus. Perlahan namun pasti. Hembusannya terasa sejuk, kemudian hangat, lalu berubah lagi menjadi panas. Seperti sinar matahari membakar kulit jika kau terhempas di tengah samudra. Rambut panjangku terurai. Lalu tiba-tiba rontok perlahan. Ada apa ini.
Angin itu berubah menjadi kencang. Kencang sekali. Kerikil, bebatuan, daun-daun kering, besi, tanah liat disekitarku beterbangan. Membentuk sebuah poros deras yang melingkar. Berputar terus berputar. Aku terjebak di tengah derasnya porosan itu. Aku ketakutan. Di tempat gelap nan dingin ini aku tak ada teman. Kepada siapa aku meminta bantuan.
Kumencoba keluar dari derasnya porosan itu. Kusingkap. Cruuuuuuus. Tanganku berdarah. Ternyata semakin deras membuat poros itu seakan menjadi silet tajam. Aku tak bisa keluar darinya. Aku menjerit sekeras-kerasnya. Berharap ada seseorang yang mendengar teriakanku. Nihil. Aku pasrah.
Aku hanya diam tak berbuat apa-apa. Yang kulihat hanya putaran-putaran deras mengelilingiku. Dua jam, tiga jam hingga lima jam aku terjebak. Tiba-tiba, seseorang menarik tanganku dengaan keras. Keras sekali. Hingga aku terlempar beberapa meter darinya. Kepalaku terhantam batu. Mengeluarkan darah kental di ujung pelipisku. Ssambil meringis kesakitan, kucoba menerawang siapa yang ada dihadapanku. Agak samar, karena hantaman itu juga berpengaruh terhadap penglihatanku.
Sosoknya besar, besar sekali. Tingginya lima kaki dari tinggiku. Rambutnya panjang terurai. Memakai jubbah panjang hitam. Seekor rajawali hinggap di pundaknya.matanya yang tajam menatapku penuh kedengkian, kesombongan, tapi kurasakan bahwa matanya diam-diam menyimpan kelembutan.
Dia menghampiriku yang terseok-seok. Ya Allah…siapa dia. Aku tak mampu berdiri. Tiba-tiba kakiku serasa lumpuh. Aku hanya bisa merangkak kebelakang untuk menghindarinya. Kusingkap sebuah batu, bersiap-siap jika ada sesuatu yang terjadi.
“ Tak usah kau mencoba melarikan diri, percuma” katanya
Dia bisa mendengar fikiranku. Sedang dia semakin mendekat. Dia mencengkram bajuku. Ditariknya dengan keras hingga terkoyak. Aku telanjang dada. Tak puas. Dia mencekkiku hingga aku terangkat. Persis di wajahnya aku bertatap dengannya.
“Kau tahu aku kan”?
“ Kau Romobargowo” ucapku tak kuat.
Aku dilempar hingga terhempas ke pepohonan. Sepertinya tulang punggungku retak. Aku semakin tak bisa berbuat apa-apa. Kalaupun Allah menakdirkanku mati dengan cara seperti ini, sekali lagi aku hanya bisa pasrah.
            “Camkan An, begitu terpedayanya kau dengan kemesraan dunia. Hingga kau tak sadar dan menjadi lupa. Bodooh. Ingin sekali kumakan daging, jantung, dan telingamu. Tapi tidak sekarang. Sekali lagi dengarkan ucapanku. Jika kau terus melakukan hal-hal bodoh, tak berguna, memubadzirkan hal-hal yang baik. Aku akan datang kepadamu di lain waktu. Ini peringatan untukmu”. Ucapnya dengan lantang”.
Ia menghilang. Disertai dengan pusaran itu. Aku hanya meringis kesakitan. Aku hanya sendirian di tengah gelapnya malam. Kedinginan tanpa selimut tebal. Luluh lantah badanku, hancur lebur indra-indraku.
Ya Allah apa lagi ini.
Malang, November 2012.
01.37 Wib dini hari

     

Jumat, 16 November 2012

Tottenham Vs Manchester City = 10 November 1945


Ketika liga Premier inggris menayangkan laga Manchester  City versus Tottenham Hospur beberapa waktu yang lalu, ada yang menarik. Begitupun dengan laga sebelumnya Arsenal versus Fulham, Chelsea versus Liverpool pada hari berikutnya. Ketika semua pemain dan official akan memulai pertandingan, ada semacam upacara, dedungo, ditengah lapangan bersama semua pemain, wasit, dan beberapa pasukan kerajan istana. Untuk siapakah mereka berdo’a? mengheningkan cipta sejenak dengan khusyuk nan tawadhu. Mengapa harus repot-repot mengadakan upacara di tengah lapangan bola segala. Apakah ritus ini dilakukan di skala nasional kerajaan Inggris ataukah hanya dalam skala kecil persepakbolaan Premier League?
Duduk persoalannya bukanlah tentang beberapa klub akan bertanding, ataupun sebuah ritus tahunan yang diselenggarakan kerajaan Inggris. Bukan. Bukan itu. Ketika aku cangkruan bersamakonco-konco menyaksikan bal-balan Manchester  City versus Tothenham Hospur, ada semacam kegetiran, perenungan mendalam dan wacana kritis akan pertandingan itu. Dan sangat kebetulan sekali, pas dengan peringatan hari pahlawan 10 November.

Selasa, 13 November 2012

Baliho Dan Calon Pemimpin Bangsa



Terpampang baliho besar ukuran 5x3m di gedung Sport Center bertuliskan “Selamat Datang Para Calon Pemimpin Bangsa”. Rupa-rupanya baliho itu adalah ucapan selamat datang kepada mahasiswa baru yang memasuki babak baru dalam proses dinamika mereka menjadi seorang pelajar di kampus, calon pemimpin, generasi baru dalam mengemban amanat rakyat dan Negara. Agent of change, agen of control. Untung nggak agen pulsa, agen minyak tanah. Hehehe. Seorang Margobleh, mahasiswa baru Uin begitu “Waw” membaca baliho itu.
“Weh-weh, ternyata kita adalah calon pemimpin ya” lugasnya
“Ah biasa aja” acuh temannya Margobleh
Semprol
            Ternyata, dari semester ke semester, tahun ke tahun Margobleh benar-benar tidak bisa melupakan kalimat “Waw” itu. Ya, Selamat Datang Para Calon Pemimpin Bangsa itu. Selalu terngiang-ngiang ditelinganya betapa dahsyatnya, saktinya kalimat itu. Kalimat yang dianggapnya sebuah teka-teki, rahasia. Mengandung ‘Alimul ghaib’. Keghaibannya mengalahkan keberadaan makhluk tak kassat mata. Jin, Dalbo, Gendruwo, Sundel Bolong, Banaspati wa akhawatuhum. Kalau di dunia wayang, kalimat ‘Waw’ itu layaknya Wahyu Teja Maya, mungkin juga Cupu manik Asta Gina’ yang kadar kerahasiaannya mencapai pusat kewenangan para Dewata untuk membongkarnya.
            Serem.
Disetiap kesempatan Margebleh selalu mengajak siapa saja yang ditemuinya untuk selalu ngobrolin kalimat ‘Waw’itu. Di kantin, UKM, kantor Dema Sema, rektorat lantai tiga, depan Sc, bahkan waktu wiridan shalat jama’ah dhuhur pun masih sempet-sempetnya ngicau. Apalagi kalau bukan karena kalimat ‘Waw’itu. Tidak hanya terbawa pada kondisi sadar, di alam bawah sadarnya pun Mergbebleh selalu meronta-ronta menyebut ‘Kita adalah calon pemimpin bangsa’.     
            Kegalauan Margebleh ini akhirnya menjadi satu bentuk rasa ingin tahu yang mendalam. Ditambah lagi belum ada satu orang pun yang ditemui Margebleh entah dosen, mahasiswa, karyawan, petugas BAK, Ketua UKM bisa menjadi partner dialog, ngobrol tentang kalimat ‘Waw’ itu. Sangking jengkelnya, Margebleh sempat uring-uringan sendiri. Nggrutu-nggrutu sendiri.
            “Dasar mahasiswa IQ melati, lemot, diajak ngomongin ini nggak ada yang nyambung, nyrocos politik gak mudeng, kapitalis gak nyampek, realita social gak update,  sak jane apa se yang ada di otak mereka itu. Paling ya isine gendaan, ngopi. Tapi masih mending. Ngopi maupun gendaan menunjukkan kejantanan paling tidak. Jangan-jangan utek mereka sudah kemasukan virus nilai. Nilai A, B, C, D bla..bla. Ah..kosong. pingen nilai baik, tapi copy paste. Bla..bla..bla…” Margebleh uring-uringan sendiri sesekali nyedot Dji Sam Soenya
Beberapa tahun kemudian, ketika Margebleh semester tujuh
Rektorat lt.3 pukul 08.00 Wib
            Pertemuan atau semacam audensi itu dihadiri banyak kalangan, khususnya berbagai macam latar belakang mahasiswa. Mahasiswa dari golongan “Hijau”, “kuning”, “merah” , “pink”, dll. Begitupun dengan para fungsionaris intra kampus. Dewan eksekutif dan legislative mahasiswa baik tingkat jurusan maupun fakultas. Hanya Margebleh yang tidak dari golongan penting. Entah, apa status Margebleh ikut nimbrung di forum ini. PD sekali dia, dikiranya dia ini siapa. Baginya, tak peduli siapa dan apa yang berhak memperoleh aksentuasi dalam berfikir, berkarya, maupun berdinamika. Di segala bidang, teoritis maupun empiris. Margebleh sadar bahwa ia orang bodoh, tidak update berita, miskin wacana, tak punya manajemen stratag yang ampuh, bisanya ya cuma sedal-sedul mangan beluk. makanya wajib baginya untuk selalu nimbrung di berbagai forum dan seminar untuk mencari pengetahuan, pembacaan sosial, dan transformasi gerakan-gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa maupun isu reduksitas birokrasi kampus sebagai gerbong kebijakan structural-verbal-legal.
            Audiensi itu membahas tentang agenda besar. Dimana gawe besar itu akan menentukan segala proses kebijakan selama lima tahun ke depan. Pilrek (Pemilu Rektor). Tampak di forum itu Presiden Dema-U, Sema-U, beberapa aktivis LSM,  Tampak juga konco-konco UKM dan segelintir mahasiswa netral yang mencoba peduli terhadap segala wacana atau isu kampus.
            Ada sedikit kegetiran di hati Margebleh. Semacam ketakutan, tapi segera ditepisnya perasaan itu. Tiba-tiba seseorang memangilnya pelan. Ternyata presiden Dema-U.
            “Eh..kamu Margebleh ya?”
            “ Ho’oh”
            “Nanti kamu Tanya gini ya. Bla…bla..bla…”
            “Lho ”
            “Nanti tak tambahin dengan pertanyaanku, oke Blehh?”
Margebleh hanya meng-iyakan saja. Sebuah siasat pertanyaan menjebak. Dan jawabannya pun juga bisa ditebak. Audiensi yang dipromotori oleh mahasiswa-mahasiswa tesebut sesungguhnya ingin mendapatkan transparansi, objektivitas, dan bentuk peran kongkrit civittas akademika-khususnya- mahasiswa sebagai objek kebijakan. Apa yang ditransparansikan? Yaitu Pilrek.
            “ Mana sesungguhnya peraan mahasiswa? Mereka selalu dijadikan domba, objek kebijakan yang tidak fair. Lalu, apa maksudanya ketika mahasiswa tidak punya hak pilih dalam Pilrek ini? Dari tahun ke tahun, kita selalu disambut dengan baliho-baliho besar, ucapan sakral nan agung. SELAMAT DATANG PARA CALON PEMIMPIN BANGSA. Tapi apa, mereka tidak pernah diberikan pendidikan politik untuk memilih caon pemimpinnya, calon rektornya”  Margebleh dengan suara yang lantang. Entah, setan jenis apa yang merasukinya.
Malang, November 2012

Kamis, 01 November 2012

Majnunku


Malam kali ini begituuuuuuu sunyi, lelap, dan sepi
Hanya ditemani secangkir kopi dan gumpalan sedih yang menyeruak dari hati
Suara jangkrik menemaniku hingga mata ini serasa berayun-ayun
Dengkuran merdu sahabat-sahabatku masih terdengar jelas terlantun
Aku tak ingin menyalahkan malam
Apalagi menyalahkan keadaan
Kukatakan padaMu wahai Tuhan
Kehidupan ini penuh dengan ketidaktahuan
Entah sekarang, maupun dimasa depan
Aku hanya bergelantung pada asa
Dimana secercah harapan masih tersisa
Ya Tuhan
Kau menciptakan seluruh gerak nadiku menjadi seorang insan
Dengan martabat tinggi, derajat luhur, dan kemuliaan
Meneropong bahkan mungkin harus selalu melawan
Apa saja yang menjadi tembok perjuangan
Sahabat, system, kemunduran moral, rusaknya kesopanan, dan mungkin juga perempuan
Aaaiiiiih…
Kata terakhir membuatku terisak, lara, terhempas, jatuh tak berdaya
Karena sampai saat ini Tuhan
Aku tak mampu melawan makhlukMu yang bernama perempuan
Karenanya, doaku malam ini kepadaMu Tuhan
Semoga aku selalu mampu mencari obat hati untuk ketenangan
Dalam merindukan seorang perempuan
Engkau sangat tahu Tuhan
Siapa perempuan yang membuatku dilanda keresahan
Malang, 22 Oktober 2012
00.53 Wib