Rabu, 12 Februari 2014

Anak-anak itu...‎


Beberapa minggu ini ‘terpaksa’ aku bergumul dengan orang-orang yang kuanggap aneh, yang pekerjaannya mengidentifikasi jiwa orang, membaca perilaku manusia, karakternya, model serta gaya belajarnya, dan apapun saja mengenai antropolgi manusia dari sisi psikologisnya. Ahaha..aku sering terawa geli, mencerna kebodohanku sendiri mengenai hal-hal baku tentang ilmu pengetahuan.

Sudah satu tahun setengah kurang lebih, kulemparkan diriku ditengah kesibukan mengurus anak-anak. Anak-anak ini, hidup dan menghabiskan usia emasnya di sebuah daerah dimana segala akses peradaban normal manusia menjadi terbalik. Perilaku sosial, norma, nilai-nilai moral, agama, konflik sosial, menjadi menarik untuk diidentifikasi menjadi hal-hal yang lucu, asyik, di tengah liniernya pikiran manusia terhadap urusan hidup dan makan.

Yang aku sangat sedih adalah, anak-anak itu mau tidak mau, perlahan akan menjadi bias, korban, dari segala aura, nuansa, dimana mereka hidup di lingkungannya. Aku harus mengerem roso, tatkala ada anak usia 5 tahun mengerti hal-hal tabu mengenai urusan orang dewasa. Misalnya, dia kelosotan, merangkul-rangkul, kemudian tidur-tiduran di kakiku, masih sambil dengan kelosotannya ia bilang “Kak Aand, Bapak Ibuk tadi rangkul-rangkulan di rumah. Rangkul-rangkulan yok Kak..? Naif. Aku menantap dia. Di kedalaman matanya, kejujuran ucapnya,kepolosan hatinya, kebersihan jiwanya sebagai anak yang belum akil baligh. Ia pun berlalu, tertawa-tawa bersama teman-temannya.

Berbagai hal serta kelucuan-kelucuan yang lain mengenai anak-anak ini pun akhirnya membuatku sering nongkrong bersama teman-teman jurusan Psikologi. Paling tidak, mereka punya ilmunya, faham mengenai disiplin pengetahuan yang mereka geluti.

“ Itu murni karena pengaruh lingkungan. Terutama keluarga, bagaimana Ayah dan Ibunya  “ beberapa teman menimpali.

“ Lingkungan jelas memberi rangsangan dan pengaruh. Dampingi mereka, beri pembelajaran akhlak dengan mempertimbangkan kebutuhan mereka sebagai anak didik “ sahut yang lain

“Beri pendidikan parenting kepada orang tuanya, podo ae anake dididik tapi wong tuane gak dididik

Ah. Aku merasa tak mendapatkan solusi kongkrit. Segala macam solusi yang diberikan teman-teman tidak ada satupun yang nyantol di hati. Sama saja. Sami ugi sami mawon, silite babi dientup tawon. Ya sudahlah akan kuajak mereka dolanan, belajar, dengan caraku sendiri, dengan metode praktis tanpa banyak teori. Tentunya pendidikan moral, akhlak, sopan santun, ajaran agama, menjadi pondasi yang tak bisa ditinggalkan.

Aku cinta mereka. Rafi yang Indigo, Galih yang tak bisa diam, Abi yang pinter tapi ngambekan, Putri yang cerewet tapi hafal sholawatan, Rizki yang ngalem, dan lain-lain. Menemani mereka sudah cukup bagiku untuk merasa bahwa demikian halnyalah anak. Tuhan hadir dalam kebersihan jiwanya, tertawanya, kepolosannya, tangis dan ngambeknya.

Kamis, 06 Februari 2014

Untuk Presiden Maiyah


Ada seorang dengan pengetahuan mumpuni. Ia berwawasan luas, tahu sepak bola, pakar di bidang hukum, ahli srategi politik, dari soal pendidikan hingga ekonomi kapitalis, dari wacana kebangsaaan hingga penipuan global. Tampaknya ia menjadi pusat informasi dari segala pengetahuan yang ia kuasai. Ia adalah model dari orang yang tahu banyak tentang banyak hal.

ia dikasih Tuhan rahmat berupa ingatan tajam, kuat, dhobid, sehingga tidak perlu ia belajar berjam-jam. Ia dengan kelebihannya, mampu hafal segala akses informasi hanya dari hitungan menit. Ia lebih dari Yudi Lesmana, pemuda Indonesia yang mendapat gelar Grand Master of Memory dari Malaysia itu. Jika  Yudi Lesmana mampu hafal 880 digit angka dalam waktu satu jam, ia (sebu saja namanya Abdun) mampu hafal 1000 digit angka dalam waktu setengah jam.

Pun juga itu, ia ‘disidak’ banyak orang lantaran ke-wawasan pengetahuannya. namun, rasanya tidak fair karena beberapa orang mengeksploitasinya demi tendensi dan tujuannya masing-masing.

Beberapa kali ia diminta untuk pasang badan demi membela ‘kepentingan’ orang. Ia begitu baik, begitu lugu, begitu jujur, hingga semua ‘syahadat’ kebaikannya dieksploitir, dimanipulir, oleh orang-orang yang punya ambisi dan niat tertentu.

Kasihan. Ia menjadi lilin semua ruang, menerangi dan memberi cahaya ditengah kegelapan. Ia memancar benderang dikebutaan malam. Tapi malam maupun gelap tidak peduli, untuk sejenak saja menoleh, menengok, pada cahayanya yang memancar yang membuat dirinya meleleh meninggalkan bekas keredupan.  
Ia tidak terekam oleh tinta sejarah. Ia pernah mengatakan “ Saya tidak peduli tidak ditulis oleh sejarah, karena saya yang menulis sejarah”. Sejarah hanya ditulis oleh mereka yang menang. Dan arti kemenangan buat dia adalah justru menghilangkan dirinya dalam cetakan-cetakan sejarah yang dibaca orang.

Ia tidak pernah dikenal orang. Ia mengutuk filsafat eksistensialisme. Dimana orang sibuk hati dan fikirannya untuk berlomba-lomba menegakkan kepala demi tertancap eksistensi kepribadiaanya—maupun prestasi-prestasi hidupnya.

ia melebur dalam konsep tauhid. Garis lurus vertikal menembus cakrawala langit tujuh. Ia melakukan banyak hal, mengurai pemahaman atas kebodohan nasional maupun universal, terjun ke parit, merangkul mereka yang terjerembab, mengajak untuk percaya diri, berani menghadapi segala kemungkinan kebobrokan dunia, membuat lingkaran-leingkaran yang penuh kemesraan dan cinta. Ia lakukan semua itu atas dasar perintah Tuhan. Karena sesungguhnya manusia adalah khalifatullah fil ard.

Kata ikhlas dan tulus tidak mampu menakar apa yang sudah ia lakukan. Karena sesungguhnya manusia lebih besar, lebih tinggi, dari derajat keduanya. Dunia menjadi enteng, ringan, karena dunia hanya sebesar kerikil yang berada digenggaman.

Yang besar adalah Allah. Yang tertinggi adalah Allah. Allah maha detail atas segala sesuatu. Allah maha mesra, maha romantis, dari segala kisah roman yang ditulis oleh sejarah manusia.

Ikhlas itu tidak ada. Yang ada hanyalah kemurnian. Kebaikan ya kebaikan. Kemulyaan ya kemulyaan. Anda menolong orang kecelakaan di jalan itu adalah kebaikan. Sedekah adalah kebaikan. Tidak usah menuntut ganjaran, pahala, balasan, dari semua kebaikan yang sudah anda lakukan—termasuk balasan dari Tuhan.

Jika Tuhan berbaik hati membalas atas kebaikan yang anda lakukan, itu adalah romantisme kemesraan. Tuhan tahu bahwa manusia itu lemah, tidak kuatan hatinya, maka Tuhan menghibur hati manusia dengan memberi balasan terhadap kebaikannya. Apapun bentuk dan modusnya. Satu kebaikan dibalas sepuluh ganjaran, jika engkau mendekat ke Tuhan dengan berjalan, maka Ia mendekatimu dengan berlari. Jika engkau menyapa Tuhan dengan senyuman, maka ia menyapamu dengan ribuan rahmad dan kecintaan.

Anshofa, Februari 2014  

Senin, 03 Februari 2014

Pak Tua Sholat di atas Menara

Beberapa hari yang lalu, sebelum sebagian besar konco-konco pulang liburan, bercengkrama teman-teman dengan Ustadz. Ba’da magrib adalah waktu dimana obrolan-obrolan ringan, santai, dan bebas menghiasi senja yang selalu diselimuti nderes, wirid, hizib, dan ngaji. 

Nyambung kemana-mana, dari soal tema sholat Rebu Wekasan hingga soal Pak Tukang ‘bandel’ yang ndandani kamar mandi baru, keberanian untuk siap ditunjuk ngisi kultum dan lain sebagainya. Tapi, ba’da magrib yang singkat beberapa waktu lalu Ustadz cerita tentang Pak Tua yang biasa ‘nyambangi’ teman-teman setiap pagi dan sore itu. 

“ Dia dulunya pemarah. Suka teriak-teriak dan kalau sedang sholat jama’ah dia teriak-teriaknya di depan Imam yang sedang mimpin sholat jama’ah “ Teman-teman pun ngakak. 

“Ustadz, majnunnya kok beda ya dengan orang kebanyakan ” timpal Suyuti. Mahasantri pujaan santri putri 

“ Maksudnya “ 

“ Ya itu. Orang pasti tidak nyangka kalau dia itu junun. Gimana coba, gaya berpakaian dan performennya pun sekilas tak menunujukkan kalau dia junun. Ya ikut jum’atan, tahlilan, sholat jama’ah, kalau pagi dan sore hari “aktingnya” seperti orang normal kebanyakan “ 

“ Dia itu dulunya pernah mengamalkan amalan-amalan dan lelaku tirakat. Kemudian tidak kuat, akhirnya seperti itulah. Toh, walau demikian, Allah menutupi “ke-jununannya” dengan cara berpakaian dan bergaul seperti orang normal pada umumnya. 

Pak Tua, kami menyebutnya demikian. Yang selalu lalu lalang tiap pagi dan sore hari. Hanya sejenak mampir kemudian menghilang lagi. Berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain. Bercengkrama dengan dunianya yang sepi dan sunyi. Menggoda realitas kehidupan, bernyanyi pada langit-langit yang tak bertiang. 

Awal-awalnya, tiada yang peduli dengan kehadirannya. Perlahan, kusapa dengan mengajaknya “berdialog”. Kuhampiri, kuambilkan rokok kretek disaku. Dan ia membalas dialog itu. Layaknya manusia normal lainnya, ia menghisap rokok kretek itu. Dan disetiap kesempatan, kucuri-curi waktu untuk mengajaknya “dialog” dengan cara dan metodaku sendiri.  

Lalu sekarang semua peduli. Mengajaknya komunikasi. Di kasih kopi, rokok, kadang-kadang gorengan, sambal, apa saja yang bisa dimakan.

Bukan atas dasar ke-majnunan-nya lalu ia kita ‘buang’. Ia punya hak kemanusiaan, ia punya hak sebagai makhluk Allah sebagaimana kita punya “saham” hak yang sama. Urusan gila, tidak waras, majnun, dan apapun saja namanya aku pribadi tidak ada urusan. Toh, jika seluruh tatanan logika manusia menganggapnya gila dan sebagainya, Allah lebih tahu daripada hamba-hambanya. Wallahu ya’lamu wa antum la ta’lamun

Salah satu prestasi yang aku iri kepada Pak Tua adalah ia pernah melakukan shalat di atas menara. Begitu yang aku dengar dari Ustadz. 
Ayoo....!!! sopo sing wani...?   

Anshofa, Januari 2014

Sabtu, 01 Februari 2014

Renung Senja 17

Tidak mungkin Allah menciptakan manusia tidak beserta desain-desain khusus yang melingkupinya. Jasadnya, fisiknya, elemen-elemen hardware maupun sofwarenya. Kecondongan manusia satu dengan yang lainnya. Bakat, ketrampilan, cara pandang maupun arah berpikirnya, kreativitasnya, ‘sekuel’ manajement hatinya, kelebihan dan kekurangannya. Allah melengkapi semua struktur itu, itulah mengapa manusia disebut unik. Dari sidik jari hingga bentuk jempol kaki. Model rambut hingga lebar telinga, dan apapun saja. Tidak ada satu persamaan pun disetiap hadrware maupun sofware manusia sama. Allah maha detail atas segala hal. 

Maka, pluralisme sesungguhnya tidak ada. Karena hakikat perbedaan maupun keberagaman menjadi kenistaan, sunnatullah yang nyata. Plurali-tas yang menjadi hakikat sunnatullah tereduksi menjadi plural-isme. Ia menjadi faham, aliran, madzhab, golongan, dari sekian keberagaman yang ada. 


Pak Tua ngomong soal energi dan cahaya I

Rek, tak kandani yo. Iki asli. Pak Tua sing biasane teko ben isuk lan sore nggolek sak jumput-rong jumput kopi karo rokok iku pancen wali. Haha. Wes tah percoyo ae. Percoyo gak percoyo poko’e ngene iki.


Pinter-pinterlah bersyukur kepada Allah tentang apa-apa yang sudah Allah kasih kepada kita. Tidak hanya terbatas pada skala luas menyangkut lingkup materi, wadag, yang kadang-kadang aku banyak terjebak disini. Struktur materi kan banyak. Ia bisa terpola pada satu kesatuan wujud harta benda, maupun cara pandang tentang harta benda itu sendiri—materialistik. 

lho emang kita gak boleh materialistik ya, itu satu ilmu yang diberikan Tuhan agar kamu bisa mengolah harta Bung “ 

“ Ndak gitu juga maksudku Bang “ 

“ Lha terus. Mbok jangan nemen-nemen menghimpit dan mencerca dunia (baca,- harta), lha wong kamu sendiri adalah bagian dari dunia itu sendiri “  

“ Aku ndak mempersoalkan bentuk padatan dari dunia itu Bang. Yang kuprotes adalah cara pandang keliru dari adanya dunia itu sendiri. Lha kita kan khalifah. Mestinya, derajat kita adalah diatas dunia, bukan kita yang’ndilati pantatnya’ dunia. 

Kamu sudah mulai ber-silat lidah “ 

“ Berfilsafat Bang “ 

“ Yo wes. Di udud dulu trubusnya, ben encer “  

Dengan analogi sederhana, uang adalah materi. Sedang nilai dari materi adalah ya materi. Ia tidak bermakna apa-apa, ia hanya sebuah kausalitas kecil dari proses berputarnya transaksi antar manusia—dalam konteks ekonomi. Maka, agar materi tidak hanya bernilai sebagai materi ia harus diolah, disublim, ‘dimanipulir’ agar menjadi energi. Kita infak, shodaqoh, nguruni, nombo’i duit untuk beli lampu, konsumsi, dan lain sebagainya. Maka ada dialetika ‘harmonis’ antara materi dengan rohani. Disitulah anda akan mulai belajar arti ketulusan, keikhlasan, kerelaan, kemauan untuk berkorban, aweh dengan sesama. Secara perlahan, diam-diam—disadari atau tidak—derajat kemanusiaan kita naik beberapa tahap. Dan jangan lupa, Tuhan tersenyum sama kita. 

Jika pelan-pelan kita bisa mengolah materi sedemikian rupa menjadi energi, maka energi itu pun secara bertahap akan menjadi cahaya. Semua lelaku, tindak tanduk, riuh rendah pergulatan hidup, cara bergaul dengan teman, memompa semangat untuk terus bangkit dan apapun saja cahaya Allah senantiasa murup di hati, akal, dan karakter anda. 

Aku tak mengerti apa-apa soal bisnis dan cara menghitung materi. Maka, kubesar-besarkan hatiku dengan hitung-hitungan tak rasional seperti ini. 

“ Wes yo sinaune “ Pak Tua mau berpamitan pergi 

“ Wah, sek to Pak, kulo tasek wonten permasalahan niki “ Aku mencoba menahannya

“ Sesok ketemu maneh. Tak duduhi asal muasale kopi iku teko ndi “ Pak Tua ngeloyor pergi.

Pak..Pak... Njenengan niku pancen mboten saras nopo “ teriakku sambil berlari menyongsong beliau

Dan Pak Tua seperti berjalan begitu cepat dan menghilang begitu saja.

Anshofa, 03/01/2014 

CINTA VERSI GURU TAHSIN

Saat pertama kali berjumpa denganmu, aku bagaikan berjumpa dengan saktah, hanya bisa terpana dengan menahan nafas sebentar.

Aku di matamu mungkin bagaikan nun mati di antara idgham billaghunnah, terlihat, tapi dianggap tak ada.

Aku ungkapkan maksud dan tujuan perasaanku seperti Idzhar, jelas dan terang.

Jika mim mati bertemu ba disebut ikhfa syafawi, maka jika aku bertemu dirimu, itu disebut cinta.

Sejenak pandangan kita bertemu, lalu tiba-tiba semua itu seperti Idgham mutamaatsilain, melebur jadi satu.

Cintaku padamu seperti Mad Wajib Muttasil, paaaaaling panjang di antara yang lainnya.

Setelah kau terima cintaku nanti, hatiku rasanya seperti Qalqalah kubro, terpantul-pantul dengan keras.

Dan akhirnya setelah lama kita bersama, cinta kita seperti Iqlab, ditandai dengan dua hati yang menyatu.

Sayangku padamu seperti mad thobi'I dalam quran, buaaanyak banget.

Semoga dalam hubungan, kita ini kayak idgham bilaghunnah ya, cuma berdua seperti lam dan ro'.

Meski perhatianku ga terlihat kayak alif lam syamsiah, cintaku padamu seperti alif lam Qomariah, terbaca jelas.

Kau dan aku seperti Idghom Mutaqooribain, perjumpaan 2 huruf yang sama makhrajnya tapi berlainan sifatnya.

Aku harap cinta kita seperti waqaf lazim, terhenti sempurna di akhir hayat.

Layaknya huruf Tafkhim, namamu pun bercetak tebal di fikiranku.

Seperti Hukum Imalah yg dikhususkan untuk Ro' saja, begitu juga aku yang hanya untukmu.

Semoga aku jadi yang terakhir untuk kamu seperti mad aridlisukun.

Tiga model manusia ‎

Ta’lim Qur’an (Ma’anil Kallimat)
____** Jadilah orang yang mengerti terhadap objek. Banyaknya pengetahuan bukan untuk menghakimi mereka yang tidak tahu apa-apa. Kitalah yang harus lebih bijak, lebih tahu. Kita sudah menjadi langit, jangan suruh mereka menjadi langit. Turunlah ke Bumi untuk menggadeng tangannya, untuk membuatnya lebih mengerti, untuk mengangkat derajatnya menjadi langit bersama kita. Itulah kebijaksanaan. __Abi Muslimin__
Masih seputar surat Al-Baqarah, yang berarti sapi betina. Banyak catatan maupun penjelasan mengapa surat ini bernama sapi betina, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
“ Ini juga ada kaitannya dengan kelabilan—dalam konteks nafsu. Artinya, sapi betina adalah sebuah simbolik atas penggambaran nafu yang sedang labil.

Manusia—yang digambarkan di surat ini—sesungguhnya terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, manusia yang oleh Allah disebut Muttaqin. Mereka manusia “jelas”. Ayat 1-5 menjadi legitimasi atas semua itu. Kedua, kafirin. Kafir itu artinya tertutup, ingkar. Bukan Allah yang menutup hati, pendengaran, penglihatan, mereka. Jutru karena perbuatan mereka itulah Allah mengunci segala indra mereka. Terhadap kebaikan, kebenaran, maupun kemulyaan.

Pengarang Syi'ir Tombo Ati



Pengantar 

Isuk Ngaji, Awan Ngaji, Sore Ngaji, Bengi Ngaji, Koyok Bu Nyai Ae. (Ustadz Syafa’at)

Usai ba’da sholat Isya’, sebagaimana jadwal yang ada, Fashohah berjalan seperti biasa. Sebelum Fashahah dimulai, tampak Abi Imam Muslimin ngobrol ringan dengan Ustadz Syafaat. Dan para santri sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti fashahah yang ‘digelar’ setiap dua minggu sekali ini. 

‘Rehatnya’ aktivitas kuliah tidak membuat santri Anshofa berleha-leha dengan semua kegiatan yang ada. Dengan efisiensi waktu yang disepakati, justru santri anshofa mengisi libur kuliah dengan kegiatan yang manfaat, kultual, dan asyik. 

Tampak berbeda dari biasanya, fashahah kali ini Ustadz Syafaa’at memberikan ulasan isi materi yang begitu komprehensif dan historis. Pemaknaan tentang keihklasan, asal usul lirik tombo ati, epistimologi lafadh hawa nafsu, dan mengurai hal-hal yang sifatnya kontekstual. 

Kilas Reportase  

Sebelum mengisi ta’lim, Ustadz Syafaat meminta kepada seluruh santri agar mengingatkan jadwal ta’lim yang beliau isi.
“ Saya tolong diingatkan. Karena beberapa hari yang lalu saya ada acara, dan lupa kalau hari itu adalah jadwal saya bersama kalian. Mbok ada yang jadi Sie Peng-sms gitu lho “ ujar beliau sambil mencairkan suasana disambut tawa para santri. 

Pemaknaan Ikhlas

Syirik Ashgar adalah syirik kecil. Kalau riya’ adalah tidak melakukan sesuatu kebaikan karena khawatir dipuji/riya’

Orang yang ikhlas adlah dimana semua gerakannya, diamnya, aktivitasnya, ada atau tidak ada orang lain, ia melakukannya hanya karena Allah semata. Nderes misalnya, ada orang dan tidak ada orang, ia tetap nderes, kuliah libur atau masuk, ia pun juga tetap nderes. Hadirnya manusia tidak membawa pengaruh apa-apa dalam dirinya, karena semua yang berpegaruh dalam dirinya hanyalah kepada Allah, untuk Allah. 

Bahkan dalam definisi yang radikal, jika orang sudah mampu menyamakan antara cacian dengan pujian, sesungguh demikianlah tingkatan ikhlas yang paling tinggi. Dicaci dan dipuji bagaimanapun ia melakukan segala hal, jika menurut pandangan Allah itu baik, ia tetap berpegang teguh dengan apa yang ia lakukan itu. 

Pengertian hawa nafsu 

Nafsu adalah melakukan sesuatu untuk menguntungkan dirinya sendiri. Hawa adalah melakukan sesuatu yang nikmat—yang dalam bahasa modern disebut hedonisme. Maka, hawa nafsu adalah menghalalkan sesuatu apapun, kepentingan apapun, yang berorientasi untuk kenikmatan dirinya sendiri. Itulah Hedonisme, aliran kenikmatan. Ia akan melakukan apapun jika semua itu menguntungkan dirinya. Suruh berjuang, ia tidak mau. Suruh berkorban, ia enggan. 

Sari’ As-Tsaqofi adalah guru dari Imam Junaid Al-Bagdadi. Sari’ As-Tsaqofi pada suatu ketika pernah bersyukur kepada Allah karena gledaknya terselamatkan dari kebakaran, sedang gledak orang-orang disekitar Sari’ As-Tsaqofi musnah terbakar. Dalam syukurnya Sari’ As-Tsaqofi mengucapkan Hamdalah. Dan ketika malamnya beliau bermimpi bertemu entah dengan Rasulullah atau sahabat Rasulullah sendiri (beliau tidak memastikan) dan dimarahi habis-habisan. 

“ Kamu adalah orang yang paling alim, paling santri, paling tinggi ilmunya, diantara orang-orang yang ada di pasar.  Tapi kenapa kamu masih sempat-sempatnya bersyukur atas kenikmatanmu sendiri ditengah-tengah penderitaan orang lain, mestinya kamu ikut susah dan menangis kepada Allah, mengapa orang lain susah dan hanya saya sendiri yang tidak susah “ 

Sejak itulah beliau bertaubat selama empat puluh tahun, hanya karena mensyukuri nikmatnya sendiri. Bukankah orang hebat adalah mereka yang memikirkan nasib orang lain, bukan memikirkan nasib dirinya sendiri. 

Berbekal pengalaman yang serupa, Ustadz Syafa’at juga menuturkan pernah bermimpi dimarahi gurunya karena kelalaian beliau dalam menjaga Al-Qur’an. 

Tentang Tombo Ati

Imam Al-Khusyairi (pengarang kitab Ar-Risalah AL-Khusyairiyyah) meng-copy righ ungkapan Syeikh Ali AL-Khawwas tentang dawaul qolbi khomsatun, yang kita sebut dengan tombo ati ada lima. Menurut beliau, justru yang mengarang tombo ati bukanlah orang Indonesia, indikasinya adalah karena penjelasan dan syair tombo ati itu sendiri persis ada di dalam penjelasan kitab Syeikh Ali AL-Khawwas tersebut.