Beberapa minggu
ini ‘terpaksa’ aku bergumul dengan orang-orang yang kuanggap aneh, yang
pekerjaannya mengidentifikasi jiwa orang, membaca perilaku manusia,
karakternya, model serta gaya belajarnya, dan apapun saja mengenai antropolgi
manusia dari sisi psikologisnya. Ahaha..aku sering terawa geli, mencerna
kebodohanku sendiri mengenai hal-hal baku tentang ilmu pengetahuan.
Sudah satu tahun
setengah kurang lebih, kulemparkan diriku ditengah kesibukan mengurus
anak-anak. Anak-anak ini, hidup dan menghabiskan usia emasnya di sebuah daerah
dimana segala akses peradaban normal manusia menjadi terbalik. Perilaku sosial,
norma, nilai-nilai moral, agama, konflik sosial, menjadi menarik untuk diidentifikasi
menjadi hal-hal yang lucu, asyik, di tengah liniernya pikiran manusia terhadap
urusan hidup dan makan.
Yang aku sangat
sedih adalah, anak-anak itu mau tidak mau, perlahan akan menjadi bias, korban,
dari segala aura, nuansa, dimana mereka hidup di lingkungannya. Aku harus
mengerem roso, tatkala ada anak usia 5 tahun mengerti hal-hal tabu
mengenai urusan orang dewasa. Misalnya, dia kelosotan, merangkul-rangkul,
kemudian tidur-tiduran di kakiku, masih sambil dengan kelosotannya ia
bilang “Kak Aand, Bapak Ibuk tadi rangkul-rangkulan di rumah. Rangkul-rangkulan
yok Kak..? Naif. Aku menantap dia. Di kedalaman matanya, kejujuran ucapnya,kepolosan
hatinya, kebersihan jiwanya sebagai anak yang belum akil baligh. Ia pun
berlalu, tertawa-tawa bersama teman-temannya.
Berbagai hal
serta kelucuan-kelucuan yang lain mengenai anak-anak ini pun akhirnya membuatku
sering nongkrong bersama teman-teman jurusan Psikologi. Paling tidak, mereka
punya ilmunya, faham mengenai disiplin pengetahuan yang mereka geluti.
“ Itu murni
karena pengaruh lingkungan. Terutama keluarga, bagaimana Ayah dan Ibunya “ beberapa teman menimpali.
“ Lingkungan
jelas memberi rangsangan dan pengaruh. Dampingi mereka, beri pembelajaran
akhlak dengan mempertimbangkan kebutuhan mereka sebagai anak didik “ sahut yang
lain
“Beri
pendidikan parenting kepada orang tuanya, podo ae anake dididik tapi wong
tuane gak dididik
Ah. Aku merasa
tak mendapatkan solusi kongkrit. Segala macam solusi yang diberikan teman-teman
tidak ada satupun yang nyantol di hati. Sama saja. Sami ugi sami
mawon, silite babi dientup tawon. Ya sudahlah akan kuajak mereka dolanan,
belajar, dengan caraku sendiri, dengan metode praktis tanpa banyak teori. Tentunya
pendidikan moral, akhlak, sopan santun, ajaran agama, menjadi pondasi yang tak
bisa ditinggalkan.
Aku cinta
mereka. Rafi yang Indigo, Galih yang tak bisa diam, Abi yang pinter tapi
ngambekan, Putri yang cerewet tapi hafal sholawatan, Rizki yang ngalem, dan
lain-lain. Menemani mereka sudah cukup bagiku untuk merasa bahwa demikian
halnyalah anak. Tuhan hadir dalam kebersihan jiwanya, tertawanya, kepolosannya,
tangis dan ngambeknya.