Prabu Brawijaya (lahir: ? - wafat: 1478) atau kadang
disebut Brawijaya V adalah raja terakhir Kerajaan Majapahit versi naskah-naskah babad dan
serat, yang memerintah sampai tahun 1478. Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya. Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara,
yang bermakna "baginda". Sedangkan gelar bhre yang banyak
dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang
bermakna "baginda di". Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara
Wijaya.
Jaka Tingkir
Nama aslinya adalah Mas Karèbèt,
putra Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga. Ketika ia
dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang
beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir. Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh
Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan
meninggal dunia.
Sepuluh tahun kemudian, Ki
Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap Kerajaan
Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus.
Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula.
Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki
Ageng Tingkir).
Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda
yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan
Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki
Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki
Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.
Babad
Tanah Jawi
selanjutnya mengisahkan, Jaka Tingkir ingin mengabdi ke ibu kota Demak. Di sana ia tinggal
di rumah Kyai Gandamustaka (saudara Nyi Ageng Tingkir) yang menjadi perawat Masjid
Demak berpangkat lurah ganjur. Jaka Tingkir pandai menarik simpati
raja Demak Trenggana
sehingga ia diangkat menjadi kepala prajurit Demak berpangkat lurah
wiratamtama.
Beberapa waktu kemudian, Jaka
Tingkir bertugas menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar
bernama Dadungawuk yang sombong dan suka pamer. Jaka Tingkir menguji
kesaktiannya dan Dadungawuk tewas hanya dengan menggunakan SADAK KINANG.
Akibatnya, Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari Demak.
Jaka Tingkir kemudian berguru pada
Ki Ageng Banyubiru atau Ki Kebo Kanigoro (saudara tua ayahnya / kakak mendiang
ayahnya). Setelah tamat, ia kembali ke Demak bersama ketiga
murid yang lain, yaitu Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil.
Rombongan Jaka Tingkir menyusuri
Sungai Kedung Srengenge menggunakan rakit. Muncul kawanan siluman buaya menyerang
mereka namun dapat ditaklukkan. Bahkan, kawanan tersebut kemudian membantu
mendorong rakit sampai ke tujuan.
Saat itu Trenggana sekeluarga sedang
berwisata di Gunung Prawoto. Jaka Tingkir melepas seekor kerbau gila yang
dinamakan sebagai Kebo Danu yang sudah diberi mantra (diberi tanah kuburan pada
telinganya). Kerbau itu mengamuk menyerang pesanggrahan raja, di mana tidak ada
prajurit yang mampu melukainya.
Jaka Tingkir tampil menghadapi
kerbau gila. Kerbau itu dengan mudah dibunuhnya. Atas jasanya itu, Trenggana
mengangkat kembali Jaka Tingkir menjadi lurah wiratamtama.
Kisah dalam babad tersebut seolah
hanya kiasan, bahwa setelah dipecat, Jaka Tingkir menciptakan kerusuhan di Demak, dan ia tampil
sebagai pahlawan yang meredakannya. Oleh karena itu, ia pun mendapatkan simpati
raja kembali.
Prestasi
Jaka Tingkir sangat cemerlang meskipun tidak diceritakan secara jelas dalam Babad
Tanah Jawi. Hal itu dapat dilihat dengan diangkatnya Jaka Tingkir sebagai
Adipati Pajang
bergelar Adipati Adiwijaya. Ia juga menikahi Ratu Mas Cempa, putri Trenggana.
Sepeninggal
Trenggana tahun 1546, puteranya yang bergelar Sunan
Prawoto seharusnya naik takhta, tapi kemudian ia tewas dibunuh Arya
Penangsang (sepupunya di Jipang) tahun 1549. Arya Penangsang membunuh
karena Sunan Prawoto sebelumnya membunuh karena Sunan Prawoto sebelumnya juga
membunuh ayah Aryo Penangsang yang bernama Pangeran Sekar Seda Lepen sewaktu ia
menyelesaikan salat ashar di tepi Bengawan Sore. Pangeran Sekar merupakan adik
kandung Trenggana sekaligus juga merupakan murid pertama Sunan Kudus.
Pembunuhan-pembunuhan ini dilakukan dengan menggunakan Keris Kiai Setan Kober.
Selain itu Aryo Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri suami dari Ratu
Kalinyamat yang menjadi bupati Jepara.
Kemudian
Aryo
Penangsang mengirim utusan untuk membunuh Adiwijaya di Pajang, tapi gagal.
Justru Adiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka
hadiah untuk mempermalukan Arya
Penangsang.
Sepeninggal
suaminya, Ratu Kalinyamat (adik Sunan
Prawoto) mendesak Adiwijaya agar menumpas Aryo
Penangsang karena hanya ia yang setara kesaktiannya dengan adipati Jipang
tersebut. Adiwijaya segan memerangi Aryo
Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak dan merupakan
saudara seperguruan sama-sama murid Sunan Kudus.
Maka,
Adiwijaya pun mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Aryo
PenangsangPati dan mentaok/Mataram sebagai
hadiah. akan mendapatkan tanah
Sayembara
diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Dalam perang
itu, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan) berhasil menyusun siasat
cerdik sehingga sehingga Sutawijaya (Anak Ki Ageng Pemanahan) dapat menewaskan Arya
Penangsang setelah menusukkan Tombak Kyai Plered ketika Aryo Penangsang
menyeberang Bengawan Sore dengan mengendarai Kuda Jantan Gagak Rimang.
Setelah
peristiwa tahun 1549 tersebut, Pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke Pajang dengan
Hadiwijaya sebagai raja pertama. Demak kemudian dijadikan Kadipaten dengan anak
Suan Prawoto yang menjadi Adipatinya
Hadiwijaya
juga mengangkat rekan-rekan seperjuangannya dalam pemerintahan. Mas Manca
dijadikan patih bergelar Patih Mancanegara, sedangkan Mas Wila dan Ki Wuragil
dijadikan menteri berpangkat ngabehi.
Sumpah
setia Ki Ageng Mataram
Sesuai perjanjian sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan bergelar Ki
Ageng Pati. Sementara itu, Ki Ageng Pemanahan masih menunggu karena
seolah-olah Hadiwijaya menunda penyerahan tanah Mataram.
Sampai tahun 1556, tanah Mataram masih
ditahan Adiwijaya. Ki Ageng Pemanahan segan untuk meminta. Sunan
Kalijaga selaku guru tampil sebagai penengah kedua muridnya itu. Ternyata,
alasan penundaan hadiah adalah dikarenakan rasa cemas Adiwijaya ketika mendengar
ramalan Sunan Prapen bahwa di Mataram akan lahir
sebuah kerajaan yang mampu mengalahkan kebesaran Pajang. Ramalan itu
didengarnya saat ia dilantik menjadi raja usai kematian Arya
Penangsang.
Sunan
Kalijaga meminta Adiwijaya agar menepati janji karena sebagai raja ia
adalah panutan rakyat. Sebaliknya, Ki Ageng Pemanahan juga diwajibkan bersumpah
setia kepada Pajang.
Ki Ageng bersedia. Maka, Adiwijaya pun rela menyerahkan tanah Mataram pada
kakak angkatnya itu.
Tanah Mataram adalah
bekas kerajaan kuno, bernama Kerajaan
Mataram yang saat itu sudah tertutup hutan bernama Alas Mentaok. Ki Ageng Pemanahan sekeluarga, termasuk Ki
Juru Martani, membuka hutan tersebut menjadi desa Mataram. Meskipun
hanya sebuah desa namun bersifat perdikan atau sima swatantra. Ki Ageng Pemanahan yang kemudian bergelar Ki
Ageng Mataram, hanya diwajibkan menghadap ke Pajang secara rutin
sebagai bukti kesetiaan tanpa harus membayar pajak dan upeti.
Menundukkan Jawa Timur
Saat
naik takhta, kekuasaan Adiwijaya hanya mencakup wilayah Jawa Tengah
saja, karena sepeninggal Trenggana, banyak daerah bawahan Demak yang melepaskan
diri.
Negeri-negeri
di Jawa
Timur yang tergabung dalam Persekutuan Adipati Bang Wetan saat itu dipimpin
oleh Panji Wiryakrama bupati Surabaya. Persekutuan adipati tersebut sedang menghadapi
ancaman invansi dari berbagai penjuru, yaitu Pajang, Madura,
dan Blambangan.
Pada
tahun 1568 Sunan Prapen penguasa Giri
Kedaton menjadi mediator pertemuan antara Hadiwijaya raja Pajang di atas
negeri yang mereka pimpin. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama
diambil sebagai menantu Adiwijaya.
Selain
itu, Adiwijaya juga berhasil menundukkan Madura
setelah penguasa pulau itu yang bernama Raden Pratanu bergelar Panembahan Lemah
Duwur Arosbaya menjadi menantunya.
Dalam
pertemuan tahun 1568 itu, Sunan Prapen untuk pertama
kalinya berjumpa dengan Ki Ageng Pemanahan dan untuk kedua kalinya
meramalkan bahwa Pajang
akan ditaklukkan Mataram
melalui keturunan Ki Ageng tersebut.
Mendengar
ramalan tersebut, Adiwijaya tidak lagi merasa cemas karena ia menyerahkan
semuanya pada kehendak takdir.
Pemberontakan Sutawijaya
Sutawijaya
adalah putra Ki Ageng Pemanahan yang juga menjadi anak angkat
Hadiwijaya. Sepeninggal ayahnya tahun 1575, Sutawijaya
menjadi penguasa baru di Mataram, dan diberi hak untuk tidak menghadap selama setahun
penuh.
Waktu setahun berlalu dan Sutawijaya
tidak datang menghadap. Adiwijaya mengirim Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi
Wuragil untuk menanyakan kesetiaan Mataram. Mereka
menemukan Sutawijaya
bersikap kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun kedua pejabat
senior itu pandai menenangkan hati Adiwijaya melalui laporan mereka yang
disampaikan secara halus.
Tahun demi tahun berlalu. Adiwijaya
mendengar kemajuan Mataram semakin pesat. Ia pun kembali mengirim utusan untuk
menyelidiki kesetiaan Sutawijaya. Kali ini yang berangkat adalah Pangeran
Benawa (putra mahkota), Arya Pamalad (menantu yang menjadi adipati Tuban), serta Patih
Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan pesta oleh Sutawijaya.
Di tengah keramaian pesta, putra sulung Sutawijaya
yang bernama Raden Rangga membunuh seorang prajurit Tuban yang didesak
Arya Pamalad. Arya Pamalad sendiri sejak awal kurang suka dengan Sutawijaya
sekeluarga.
Maka sesampainya di Pajang, Arya
Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, sedangkan Pangeran
Benawa menjelaskan kalau peristiwa pembunuhan tersebut hanya kecelakaan
saja. Hadiwijaya menerima kedua laporan itu dan berusaha menahan diri.
Pada tahun 1582 seorang keponakan Sutawijaya
yang tinggal di Pajang,
bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian
menemui Ratu Sekar Kedaton (putri bungsu Adiwijaya). Ayah Pabelan yang bernama
Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membantu anaknya.
Ibu Raden Pabelan yang merupakan
adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke Mataram. Sutawijaya
pun mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan
pembuangannya ke Semarang.
Kematian
Perbuatan Sutawijaya
itu menjadi alasan Hadiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang
antara kedua pihak pun meletus. Pasukan Pajang bermarkas di
Prambanan
dengan jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan. Adiwijaya semakin
tergoncang mendengar Gunung Merapi tiba-tiba meletus dan laharnya ikut
menerjang pasukan Pajang
yang berperang dekat gunung tersebut.
Adiwijaya menarik pasukannya mundur.
Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke makam Sunan
Tembayat namun tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya
sebagai firasat kalau ajalnya segera tiba.
Adiwijaya melanjutkan perjalanan
pulang. Di tengah jalan ia jatuh dari punggung gajah tunggangannya,
sehingga harus diusung dengan tandu. Sesampai di Pajang, datang
makhluk halus anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman memukul dada Adiwijaya,
membuat sakitnya bertambah parah.
Adiwijaya berwasiat supaya anak-anak
dan menantunya jangan ada yang membenci Sutawijaya,
karena perang antara Pajang dan Mataram diyakininya sebagai takdir. Selain itu, Sutawijaya
sendiri adalah anak angkat Adiwijaya yang dianggapnya sebagai putra tertua.
Pada cerita rakyat dinyatakan bahwa sebenarnya Sutawijaya adalah anak kandung
Adiwijaya dengan anak Ki Ageng Sela.
Adiwijaya alias Jaka Tingkir
akhirnya meninggal dunia tahun 1582 tersebut. Ia dimakamkan di desa Butuh,
yaitu kampung halaman ibu kandungnya.
Pengganti
Hadiwijaya memiliki beberapa orang
anak. Putri-putrinya antara lain dinikahkan dengan Panji Wiryakrama Surabaya,
Raden Pratanu Madura, dan Arya Pamalad Tuban. Adapun putri yang paling tua
dinikahkan dengan Arya Pangiri bupati Demak. Arya Pangiri
sebenarnya adalah anak Sunan Prawoto, yang seharusnya memang menggantikan
Trenggana menjadi raja Demak.
Arya
Pangiri didukung Panembahan Kudus (pengganti Sunan Kudus)
untuk menjadi raja. Pangeran Benawa sang putra
mahkota disingkirkan menjadi bupati Jipang. Arya
Pangiri pun menjadi raja baru di Pajang dengan nama
tahta Ngawantipura.