Jumat, 21 Desember 2012

Renung senja #5

Anda pastinya puya berbagai macam persepsi mengapa seniman dalam satu sisi tertentu mempunyai kesamaan performan yang biasa kita sebut gondrong. Gondrong bagi seniman, budayawan, preman, bahkan sebagian ustadz agaknya lebih menyiapkan idetitas gondrong sebagai seni, lantas jika yang diperbincanngkan adalah seni, tidak akan timbul satu kesepakatan untuk mencemoh, menghina, mencari sisi negative dari sebuah gondrong karena itu adalah seni. Setiap kepala terserah mengartikan, memberi definisi seni menurut ideology pribadi. Karena seni itu tiada batas yang mengikat, tidak pernah teridentivikasi dengan mutlak bahwa seni harus demikian dan demikian. Dia merupakan kreativitas, potret penggalian rasa, selera untuk dinikmati demi menangkap suatu keindahan yang terpendam. Dia bukan ibadah mahdhah, yang harus tersistem dengan paket yang telah ditentukan. Jika shalat lima waktu mencapai 17 rakaat dalam sehari, jangan anda tambah dengan dua kali lipat bilangannya, mentang-mentang fisik anda prima, kuat, tahan banting, dan seorang olahragawan. Maka, Seni sangat sulit untuk dijelaskan dan juga sulit dinilai, seni bisa dilihat dalam intisari ekspresi dari kreativitas manusia. Seni juga dapat diartikan dengan sesuatu yang diciptakan manusia yang mengandung unsur keindahan. Tidak ada batas yang mengikat untuk sebuah selera makan, keindahan performan, kepuasan jiwa, demi mengobati kehausan diri akan nikmat Tuhan yang tiada henti. 


Seni juga mempunyai satu medium untuk dicerna di hadapan public. Ada sudut-sudut batasan jika seni harus di sosialkan di hadapan masyarakat luas, di segment kehidupan yang penuh nilai-nilai, norma, adat, agama, politik, budaya, maupun pada garis sentral di hadapan Tuhan sang pencipta. Seni bisa menjadi cercaan sekaligus pujian. Bahwa, jika eksploitasi seksual mejadi daya tarik untuk mejadikan itu seni, maka seni sudah kehilangan ruhnya sebagai disiplin limu yang memangku etika, estetika, dan saintika. 

Etika itu adab, toto kromo, andab ashor, moral, akhlak. Etika itu macam banykanya, system sosial mengakar di kehidupan kita bahwa jika anda melawan orang tua itu namanya suul adab. langganan tiap tahun naik haji, sedang sebelah rumah, tetangga anda sakit, kelaparan butuh makan itu sudah ketimpangan moral. Mencuri buah kelapa dikurung 7 tahun karena perut sudah tak terisi beberapa hari, sedang menggerogoti uang rakyat tiap tahun, bermilyar-milyar, triliyunan rupiah, masih bisa bernafas cukup 2 tahun di penjara. Ironis sekaligus miris. Itu namanya etika. Etika tidak mengajarkan kepandaian akal dan kecemerlangan fikiran, ia memandu kita akan kemaslahatan, kepantasan berperilaku, dan kesadaran untuk berlaku sesuai adat dan norma.
 

Minggu, 16 Desember 2012

Dagelan yang bernama kuliah, UTS dan UAS


Semua hanya dagelan belaka. Seluruh gerak dimana kita melangkah, hanya dagelan. Sekolah, kuliah, kerja, pengembangan karier, hingga beranak pinak semuanya lagi-lagi adalah dagelan. Atau jangan-jangan manusia itu sendiri dagelan. Aku tak mengerti. Itu hak preogatif Allah. Kewajibanku hanyalah menjalankan dan menikmati fasilitas-fasilitas yang sudah diberikan. Menapakai kekhalifahan di muka bumi. Semampu-mampunya.
Heran, terlihat begitu gegap gempita. Sibuk sana-sini. Menyiapkan paper, makalah, resuman tugas selama kuliah, presentasi (padahal nggak semua presentator sinau tentang makalahnya, lha wong ikut urun NIM dan foto kopy). Mengapa sih seperti itu. mbok ya biasa ajalah. Kalau memang nggak ya nggak, kalau iya ya iya. Kok repot banget. Mengapa kita tidak menjadi seseorang yang sedang belajar dengan berbagai kelemahan. Mengapa kita harus sibuk menutupi diri dengan kemusykilan- kemusykilan. Seorang pebelajar sejati ialah ia rela dianggap bodoh, goblok, miskin intelektualitas, kurang wawasan walau sesungguhnya ia cerdas dan ulet. Ia tidak menelanjangi mukanya dengan topeng-topeng kusam. Ia berdiri tegak dengan kapasitasnya sebagai seorang yang belajar, bukan seorang yang telah benar-benar final.
UAS di depan mata. Konco-koncoku pada ndlahom, bingung mau apa dan gimana. UAS adalah prestisiusitas tinggi dimana nilai A, B, C, D adalah sebuah keniscayaan. Penentu takdir kesuksesan bahwa mahasiswa dengan IP tinggi merupakan kebanggaan tersendiri. Ah…busuk semuanya. Bukan berarti aku anti nilai, tetapi lebih pada kesadaran intelek, tanggung jawab moral bahwa itu hanyalah fiktif. Mahasiswa bukan anak SD. Mahasiswa adalah mahasiswa dengan pola fikir yang lebih dewasa dan luas.
Intinya, mengapa kita harus stress menghadapi proses. UAS bukan lagi waktunya belajar, tapi adalah leha-leha, senang-senang dan hura-hura. Belajarnya sudah kemarin mas bro. UAS tinggal ganyang.kalau tak bisa jawab tinggal karang. Selesai to.
Untuk teman-temanku yang sedang menghadapi UAS, semoga bisa ngarang dan lancar. Inilah aku, seperti inilah aku. UAS atau tidak UAS, bagiku sama saja. Semua hanyalah dagelan belaka.    


Kamis, 13 Desember 2012

Renung Senja #4

Jadug, sakti itu satu kekuatan magic dalam diri manusia yang tidak semua orang punya. Proses intuisi, dejavu, intensitas sugestif yang tertanam dalam kejadugan itu berupa satu keyakinan bahwa apa yang dilakukan, diucapkan mempunyai hitungan matematis yang tepat. Misalnya, dulu di pesantren merupakan hal yang fardhu ketika santri mengamalkan ijazah dari kyai. Ijazah itu berupa hizib, wirid, do’a-doa. Dulu tahun 1991 hingga 2009 siklus kehidupan santri tidaklah seperti sekrang. Jika para santri era sekarang sudah dibabat habis dalam masalah tirakat dulu para santri justru betah, malah wajib melakukan tirakat sebagai pambukaning ngelmu. Bahwa ilmu tidaklah hanya cukup di akal saja, tapi juga merupakan satu kesatuan, nyawiji di jiwa manusia. Nah, biar ilmu itu njadug, semakin patrap di dalam diri, maka santri perlu melakukan upacara yang disebut dengan tirakat.

          
Berbagai macam tirakat dari mulai puasa, melek bengi, membaca wirid, istiqomah berjama’ah sampai pada mandi kembang merupakan hal yang biasa dilakukan ketika itu. Suatu kewajaran yang sangat biasa dan tidak tabu untuk diterapkan. Maka tidak heran, out put santri model dulu dengan sekarang jauh berbeda dalam kehidupan sekarang. Dalam sisi mental, psikologi, dan sensitifitas batin merupakan hal yang sangat kentara jika kita mau melihat dengan cermat dan tajam. 

Bukan berarti setiap santri harus jadug, tidak. Itu hanyalah masalah wilayah spiritual. Tapi paling tidak, merupakan hal yang fardhu kifayah bagi setiap santri untuk tidak mengisi ilmu di perangkat keras akalnya saja, tapi juga di perangkat lunak (software) di dalam hati, kalbunya. Jika akal dan hati sudah nyawiji, pambukaning ngelmu akan kentara, wajah akan memancarkan sinar ruhiyah, sensitifitas sosial semakin jernih. Nah, disitulah santri diharapkan siap mental untuk terjun di masyarakat, memberi cahaya baru untuk mendidik, ngayomi, natar, merangkul setiap masyarakat menjadi masyarakat madani.

Renung Senja #3

Benar-benar harus tahan banting. Beban mental, tanggung jawab moral, sosial,  heterogensi masyarakat dalam membangun system kedasaran natural antar manusianya. Ketika kesadaran mulai menjadi pola fikir, maka peraturan hanya menjadi tatanan hidup nomor sekian karena semua manusia sudah tidak membutuhkan atur-mengatur dalam berdialektika sosial. Sungguh nyaman dan mesra, tatakala hubungan suatu komunitas, kelompok, masyarakat tertata dengan apik, penuh dengan paguyuban ilmu, semangat kultural kolegial dalam mengayuh peradaban manusia yang disebut dengan masyarakat madani. Sudah tidak dibutuhkan lagi idiom-idiom afala ta’kilun, afala tatafakkarun, afala tadzakkarun. Sindiran “apakah kau tidak berfikir, mengapa kau tidak menganalisis, mengapa kau tidak sadar’ hanya menjadi sindrom, racun yang ditakuti setiap manusia karena akan menempatkan mereka pada golongan khasirun. Sudah rugi gak entuk bati.
Kebahagiaanku sebagai makhluk merdeka adalah tatkala semua orang bisa menempatkan kemerdekaannya dimana mereka berada. Pun, tetap pada koridor, batasan-batasan dimana kemerdekaan tetap membutuhkan aturan. Makan soto, rawon itu nikmat tapi kalau perutmu sudah mancal-mancal, aturan fairnya kau harus sudahi nggragasmu mangan. Jika kau tak bisa menjaga objektivitas perut, maka segala penilaianmu tentang sesuatu akan jauh dari keadilan, pun juga objektivitas. Rentetannya demikian.   

Renung Senja #2

Segala proses pencarian tentang jati diri merupakan ijtihad manusia dalam menemukan siapa Tuhannya ; man arafa nafsafu faqad arafa rabbahu. Siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya. Pengenalan terhadap diri inilah yang membuat setiap manusia harus jatuh bangun, kadang tersangkut, ketlingsut, bahkan buntu harus memulai dari mana dia akan melangkah. Ketidaktahuan untuk melangkahkan kaki ini mempunyai dua indikasi. Pertama, dia belum punya sistematika ilmu. Kedua, dia belum menemukan seorang guru.

Jika yang menjadi alasan adalah tentang sistematika ilmu, maka aku rasa yang harus kita lakukan dan dalami adalah bagaimana mendapat ilmu dimana pun itu berada. Ilmu itu bisa berupa sketsa-sketsa, pecahan-pecahan logika maupun satu bentuk pasti dari ilmu itu sendiri.  

#15 Des 2012