Jadug, sakti itu satu kekuatan magic dalam
diri manusia yang tidak semua orang punya. Proses intuisi, dejavu, intensitas
sugestif yang tertanam dalam kejadugan itu berupa satu keyakinan bahwa
apa yang dilakukan, diucapkan mempunyai hitungan matematis yang tepat.
Misalnya, dulu di pesantren merupakan hal yang fardhu ketika santri mengamalkan
ijazah dari kyai. Ijazah itu berupa hizib, wirid, do’a-doa. Dulu tahun 1991
hingga 2009 siklus kehidupan santri tidaklah seperti sekrang. Jika para santri
era sekarang sudah dibabat habis dalam masalah tirakat dulu para santri justru betah,
malah wajib melakukan tirakat sebagai pambukaning ngelmu. Bahwa ilmu
tidaklah hanya cukup di akal saja, tapi juga merupakan satu kesatuan, nyawiji
di jiwa manusia. Nah, biar ilmu itu njadug, semakin patrap di
dalam diri, maka santri perlu melakukan upacara yang disebut dengan tirakat.
Berbagai macam tirakat dari mulai puasa, melek bengi,
membaca wirid, istiqomah berjama’ah sampai pada mandi kembang merupakan hal
yang biasa dilakukan ketika itu. Suatu kewajaran yang sangat biasa dan tidak
tabu untuk diterapkan. Maka tidak heran, out put santri model dulu dengan
sekarang jauh berbeda dalam kehidupan sekarang. Dalam sisi mental, psikologi,
dan sensitifitas batin merupakan hal yang sangat kentara jika kita mau melihat
dengan cermat dan tajam.
Bukan berarti setiap santri harus jadug, tidak.
Itu hanyalah masalah wilayah spiritual. Tapi paling tidak, merupakan hal yang
fardhu kifayah bagi setiap santri untuk tidak mengisi ilmu di perangkat keras
akalnya saja, tapi juga di perangkat lunak (software) di dalam hati, kalbunya.
Jika akal dan hati sudah nyawiji, pambukaning ngelmu akan
kentara, wajah akan memancarkan sinar ruhiyah, sensitifitas sosial semakin
jernih. Nah, disitulah santri diharapkan siap mental untuk terjun di
masyarakat, memberi cahaya baru untuk mendidik, ngayomi, natar,
merangkul setiap masyarakat menjadi masyarakat madani.