Kamis, 13 Desember 2012

Renung Senja #4

Jadug, sakti itu satu kekuatan magic dalam diri manusia yang tidak semua orang punya. Proses intuisi, dejavu, intensitas sugestif yang tertanam dalam kejadugan itu berupa satu keyakinan bahwa apa yang dilakukan, diucapkan mempunyai hitungan matematis yang tepat. Misalnya, dulu di pesantren merupakan hal yang fardhu ketika santri mengamalkan ijazah dari kyai. Ijazah itu berupa hizib, wirid, do’a-doa. Dulu tahun 1991 hingga 2009 siklus kehidupan santri tidaklah seperti sekrang. Jika para santri era sekarang sudah dibabat habis dalam masalah tirakat dulu para santri justru betah, malah wajib melakukan tirakat sebagai pambukaning ngelmu. Bahwa ilmu tidaklah hanya cukup di akal saja, tapi juga merupakan satu kesatuan, nyawiji di jiwa manusia. Nah, biar ilmu itu njadug, semakin patrap di dalam diri, maka santri perlu melakukan upacara yang disebut dengan tirakat.

          
Berbagai macam tirakat dari mulai puasa, melek bengi, membaca wirid, istiqomah berjama’ah sampai pada mandi kembang merupakan hal yang biasa dilakukan ketika itu. Suatu kewajaran yang sangat biasa dan tidak tabu untuk diterapkan. Maka tidak heran, out put santri model dulu dengan sekarang jauh berbeda dalam kehidupan sekarang. Dalam sisi mental, psikologi, dan sensitifitas batin merupakan hal yang sangat kentara jika kita mau melihat dengan cermat dan tajam. 

Bukan berarti setiap santri harus jadug, tidak. Itu hanyalah masalah wilayah spiritual. Tapi paling tidak, merupakan hal yang fardhu kifayah bagi setiap santri untuk tidak mengisi ilmu di perangkat keras akalnya saja, tapi juga di perangkat lunak (software) di dalam hati, kalbunya. Jika akal dan hati sudah nyawiji, pambukaning ngelmu akan kentara, wajah akan memancarkan sinar ruhiyah, sensitifitas sosial semakin jernih. Nah, disitulah santri diharapkan siap mental untuk terjun di masyarakat, memberi cahaya baru untuk mendidik, ngayomi, natar, merangkul setiap masyarakat menjadi masyarakat madani.

Renung Senja #3

Benar-benar harus tahan banting. Beban mental, tanggung jawab moral, sosial,  heterogensi masyarakat dalam membangun system kedasaran natural antar manusianya. Ketika kesadaran mulai menjadi pola fikir, maka peraturan hanya menjadi tatanan hidup nomor sekian karena semua manusia sudah tidak membutuhkan atur-mengatur dalam berdialektika sosial. Sungguh nyaman dan mesra, tatakala hubungan suatu komunitas, kelompok, masyarakat tertata dengan apik, penuh dengan paguyuban ilmu, semangat kultural kolegial dalam mengayuh peradaban manusia yang disebut dengan masyarakat madani. Sudah tidak dibutuhkan lagi idiom-idiom afala ta’kilun, afala tatafakkarun, afala tadzakkarun. Sindiran “apakah kau tidak berfikir, mengapa kau tidak menganalisis, mengapa kau tidak sadar’ hanya menjadi sindrom, racun yang ditakuti setiap manusia karena akan menempatkan mereka pada golongan khasirun. Sudah rugi gak entuk bati.
Kebahagiaanku sebagai makhluk merdeka adalah tatkala semua orang bisa menempatkan kemerdekaannya dimana mereka berada. Pun, tetap pada koridor, batasan-batasan dimana kemerdekaan tetap membutuhkan aturan. Makan soto, rawon itu nikmat tapi kalau perutmu sudah mancal-mancal, aturan fairnya kau harus sudahi nggragasmu mangan. Jika kau tak bisa menjaga objektivitas perut, maka segala penilaianmu tentang sesuatu akan jauh dari keadilan, pun juga objektivitas. Rentetannya demikian.   

Renung Senja #2

Segala proses pencarian tentang jati diri merupakan ijtihad manusia dalam menemukan siapa Tuhannya ; man arafa nafsafu faqad arafa rabbahu. Siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya. Pengenalan terhadap diri inilah yang membuat setiap manusia harus jatuh bangun, kadang tersangkut, ketlingsut, bahkan buntu harus memulai dari mana dia akan melangkah. Ketidaktahuan untuk melangkahkan kaki ini mempunyai dua indikasi. Pertama, dia belum punya sistematika ilmu. Kedua, dia belum menemukan seorang guru.

Jika yang menjadi alasan adalah tentang sistematika ilmu, maka aku rasa yang harus kita lakukan dan dalami adalah bagaimana mendapat ilmu dimana pun itu berada. Ilmu itu bisa berupa sketsa-sketsa, pecahan-pecahan logika maupun satu bentuk pasti dari ilmu itu sendiri.  

#15 Des 2012
 

Renung Senja #1


Ketika titik kullminasi manusia memuncak, maka disitulah sesungguhnya patrap, pituduh, pinulungnya manusia akan tampak. Berbagai corak dan warna tergambar dengan jelas ketika manusia mengalami titik ini. Maksud yang kutulis tentang kuminasi disini adalah ketika otak tidak lagi mampu, ketika jasad tak bisa lagi menampung segala problem yang dialami manusia,  ketika menghadapi pboblematika hidup. Kehidupan bagi sebagian orang seperti jurang kematian bagi yang tak mampu menapakinya. Pun sebagian yang lain, kehidupan ibarat bak sawah ladang anggone nandur dan nyawijine rogo lan sugma, representasi demikian begtu indah direnungkan dari pada hanya ngersulo tiada henti menyalahkan nasib, bahkan menyalahkan Tuhan ketika kita goncang dilanda sempitnya jalan keluar.
Dalam segmentasi yang lebih luas, ngomong tentang kenegaraan, kebangsaan, dan kedaulatan juga sama mengalami problem-problem yang sekan tiada berkesudahan. Kasus korupsi, kalah bersaingnya produk local, memudarnya rasa nasionalisme, kekayaan budaya local yang tersingkirkan, bahkan hilangnya rasa persatuan ke-bhinekaan diantara mansuia Indonesia. 

#14 Des 2012