Selasa, 29 Januari 2013

Iblis mengajari kita arti kesejatian cinta dan kepatuhan mutlak



Setiap manusia, terlepas dari seberapa cerdas dan jeniusnya dia, dari tukang bakso hingga camat, tukang tambal ban hingga ilmuwan, penganut ilmu kejawen hingga darmo gandol, gatoloco, aboge (aliran rebo wage), hingga sekelas wali, rasul dan nabi mempunyai satu bentuk kodrat alamiyah yang Tuhan ciptakan agar ia selalu menemukan hikmah, pengetahuan yang tersirat, mutiara kehidupan maupun nilai subantasi tentang dirinya serta apa saja yang disebut saliik. Sang pencari. Kodrat inilah yang membedakan antara manusia sebagai khalifah dengan bangsa tak kasat mata Jin, Iblis dan Malaikat sebagai abdi Tuhan. Ruh khalifat inilah yang akhirnya membuat manusia menemukan kreativitas, system manajerial hidup, tatanan bernegara, bersosial, hubungan makhluk dengan Tuhan maupun reduksitas manusia yang bisa berganti-ganti wajah menjadi Iblis atau Malaikat. Bangsa lain Jin, Iblis, dan Malaikat hanya menjadi pola supremasi ketaatan perintah Tuhan yang disematkan pada mereka. Jika Allah perintahkan malaikat bersujud kepada Adam As, ya sudah tanpa cincong sujudlah mereka. Beda urusan dengan Iblis, kisah Iblis anda harus bisa membaca dari sisi mana. Multi intepretasi. Yang aku baca adalah begitu taatnya Iblis kepada Allah sehingga ia tidak mau membagi taatnya kepada Adam. Iblis tidak ingin memadu cinta, ia tidak ingin poligami. Bentuk prinsip yang tak bisa ditukar oleh apapun, dengan bagaimanapun. Sekalipun ia harus berkorban dengan pengorbanan yang ia sendiri harus terima hingga anak cucunya kelak sampai yaumil kiyamah. Dari Iblis kita belajar kesetiaan, kepatuhan mutlak, liniersi cinta, kesejatian prinsip, pengorbanan dan tanggung jawab moral. Iblis gak patheken Tuhan sebut sebagai aduwwun mubin (musuh yang nyata), Ar-Rajim (yang terkutuk). Baginya, Jiwanya sudah Manunggaling Kawula lan Gusti. Seluruh anatomi tubuhnya, sel-sel otaknya, jiwanya yang ada hanyalah Allah. Lalu, beberapa abad kemudian, kita mencaci maki Iblis, mengutuknya diberbagai forum. Di seminar, halaqah ilmiah, pengajian, presentasi makalah, khutbah jum’at, diskusi dan lain-lain. Kasihan Kyai Iblis.
Lha wong, kita sendiri saja tidak faham siapa kita. dan akhirnya benar-benar tidak mau menggali sesungguhnya siapa itu manusia. Manusia sudah semakin tidak mengenali dirinya sendiri, apalagi mengenali Setan atau Iblis, sehingga tidak pernah sadar atau instingitif mengetahui apakah ia sedang dipengaruhi oleh setan, apakah sedang didorong dan dimotivasi oleh si Setan. Ah..seandainya aku dititipi ilmu manteg aji ngrogoh sukmo oleh Tuhan untuk berinteraksi dengan Setan aku akan bilang “ Ngapunten wahai makhluk Allah yang terbuat dari api, kita para manusia belum ta’arufan dengan sampeyan. Jadi, kalau mereka mengada-ada, membuat definisi tentang sampeyan, segala keburukan dan nilai kegelapan diorentasikan kepada bangsa anda, saya mewakili bangsa manusia mohon maaf. Lha sampeyan sendiri ndak memperkenalkan diri sih”.
Di dalam Al-qur’an diceritakan “ Dan ketika dikatakan kepada malaikat: bersujudlah kepada Adam, maka bersujudlah mereka, kecuali Iblis, karena sombong dan lalai…”
Diam-diam, ketika aku ngopi di warung Mak Yem dengan setan ia berujar : “Kami sengaja tidak bersujud kepada Adam, kami minta satu periode zaman saja kepda Tuhan untuk membuktikan tantangan kenapa kami tidak bersujud kepda Adam. Hari ini saya nyatakan: Tidak relevan Iblis bersujud kepada Adam, karena anak turun Adam sekarang sudah beramai-ramai, kompak menyembah Iblis”.
Si Setan dengan santai nyedot Dji Sam Soenya.
Malang, Januari 2013

Renung Senja # 6

          Sebenarnya, akankah ada perubahan, sebuah revolusi besar terhadap diri manusia jika ia benar-benar mau berkontlempasi atas kekerdilan dirinya sebagai manusia? Atau jangan-jangan manusia harus terjebak pada nilai-nilai subversi Iblis yang tak bisa dihindarkan. Iblis secara sifat ke-Ibllisannya sudah ber-oposisi kepada manusia dari zaman Adam hingga yaumil kiyamah nanti. Apa mau dikata. Kita harus bertahan atau sekalian perang akbar untuk gelut, paten pinaten dengan makhluk cerdas bernama Iblis. Artinya, bukan berarti harus mendiskreditkan Iblis dalam skala permusuhan, kebencian dia sebagai makhluk. Tapi sebagai “teman” yang selalu mengingatkan dengan model peringatan yang berbeda. Iblis hanya makhluk statis yang Tuhan ciptakan dengan segala pola nilai keburukan. Kodrasitas yang menepel pada seluruh anatomi gerak Iblis merupakan penyeimbang dari nilai keadilan yang Tuhan sudah atur di dunia. Nggak adil dong, jika anda memaki-maki Iblis karena kesesatan, kesombongan, keburukannya. Bagaimanapun anda tidak bisa mengenal kebaikan tanpa keburukan. Tidak bisa meneropong cahaya tanpa gelap. Tidak mengenal putih tanpa kehadiran si hitam. Inti mentalnya adalah, kita pun bisa belajar kepada Iblis tanpa harus mengikuti ajakannya. Kata Imam Ghazali, siapapun itu guru, apapun itu ilmu dan dimanapun itu sekolahan.  

Jumat, 25 Januari 2013

Lantunan shalawat diba’ di kolong speaker reyot

Peringatan maulid nabi kali ini, aku hanya mengurung diri di kamar sempit. Bermain dengan kesendirian bisu yang tak kunjung aku nikmati. Berbeda dengan sebelumnya, dimana aku masih bergelut dengan berbagai animo refleksitas di lapangan, organisasi, komunitas ku ajak teman-teman, sekelompok kawan untuk duduk melingkar, bersila, menikmati kekhusukan hati dengan bersama-sama melantunkan shalawat nabi. Al-barjanzi, Shalawat Burdah dan lain-lain. Diiringi hadrah, sejenis alat rebana yang biasanya digunakan untuk mengiringi lagu-lagu shalawat atau dalam suatu kebudayaan masyarakat, hadrah juga dipakai untuk ngarak orang sunatan atau upacara perkawinan. 
Biasanya, satu sampai dua jam kami Diba’an. Setelah itu dilanjutkan dengan makan-makan, cangkru’an sejenak sambil kebal-kebulDji Sam Soe. Sesederhana inilah kami meluapkan cinta kami kepada Rasulullah. Kami belum mampu mencapai maqam tinggi dimana segala refleksi hidup sesungguhnya sudah dicontohkan Nabi kepada umatnya, dimana umat islam harus mengeksekusi contoh perilaku nabi untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, aku hanyalah berandal yang hanya bisa berceloteh siang dan malam tanpa tahu apa sesungguhnya yang kucelotehkan itu.
Anta Syamsun Anta Badrun kau adalah matahari dan rembulan. Hatiku gemetar mendengar lantunan itu. dalam arti sesungguhnya, tak akan padam sinar matahari menerangi dunia. Begitu rupa kita disinari oleh cahaya wahyu yang Tuhan titipkan pada Muhammad. Sinar akhlak, ilmu pengetahuan, rahasia semesta, juklak kehidupan yang hakiki hingga hitungan matematis tentang rahasia Tuhan yang begitu luas bak samudra. Namun sinar Muhammad seakan pudar oleh kenistaan diri kita sendiri. Kita bangga dan mengagung-agungkan beliau, tapi menguburnya hidup-hidup dalam teks sejarah. Pujian kita lantunkan, tapi legitiminasi nilai moral kita sampingkan.
Tak apalah, aku hanya manusia awam yang belum bisa sepenuhnya mengambil sikap tegas untuk meneladani cara hidup Nabi. Yang aku bisa hanyalah selalu melantunkan pujian kepadanya, bershalawat untuknya. Ya rabbi shalli ala Muhammad ya rabbi salli ala’hi wasallim.
            Kelantunkan dalam kesendirian shalawat diba’ itu dengan hembusan angin malam dan suara derik pintu. Tak ada keramaian apalagi sorak gemontang kebersamaan. Hampa sekali namun sangat menyayat. Hening namun tenang. Aku mengandai-ngandai bergelayut di pangkuan Rasulullah (emange aku sopo kok enake dipangku Nabi).
Namun, suasana yang penuh dengan komtemplasi itu hilang tatkala corong, speaker masjid sebelah berdentum keras seakan tak mau tahu. Kudengar beramai-ramai orang melantunkan shalawat diba’. Dipimpin seorang ustadz yang lembut suaranya. Iringan serta alunan hadrah menyertai berbagai macam lagu shaalawat. Gegap gempita asma rasul dikumandangkan. Shallu ‘ala nabiiii Muhammad.
Para aktivis masjid maupun takmir seharusnya mempertimbangkan aturan teknis dalam beribadah. Terlebih perangkat pendukung seperti tape, speaker dan perangkat yang lain. Karena itu akan mendukung sarana dakwah. Siapapun yang mendengar lantunan shalawat dengan kualitas mic, speaker yang sudah reyot, telinga rsanya gatal. Eman-eman suara ustadz yang sangat indah itu laksana blek diseret. Mbok ya beli sound yang lebih bagus, mahal ndak masalah asal maslahah. Apalagi speaker masjid itu didengar orang banyak, masyarakat luas. 

Malang, Januari 2013