Sabtu, 27 Juli 2013

Lebaran Tinggal Satu Hari Lagi

Oleh : A. Mustofa Bisri

Saat pamit dua minggu yang lalu, suaminya berjanji akan pulang sebelum lebaran. Kini lebaran sudah tinggal satu hari dan belum ada kabar berita dari suaminya itu. Hatinya jadi gelisah. Sebetulnya suaminya pergi seminggu-dua minggu sudah biasa. Selama ini dia sama sekali tidak pernah merasa gelisah. Tapi ini menjelang lebaran. Selama ini mereka selalu berlebaran bersama. Mungkin juga berita-berita yang selalu didengarnya, turut mempengaruhi batinnya.

Setelah ledakan bom di Bali, tampaknya semua orang bisa saja diciduk aparat. Setiap rumah bisa digeledah polisi. Seperti beberapa orang yang dicurigai polisi itu, dia juga tidak begitu mengetahui kegiatan suaminya di luaran. Selama ini, sebagai orang yang berasal dari desa yang dikawin orang kota, dia merasa tidak pantas bila bertanya macam-macam urusan lelaki. Jika suaminya bilang bisnis, itu sudah cukup baginya; dia tidak pernah kepingin tahu bisnis apa. Tapi sekarang, dia mulai was-was. Jangan-jangan apa yang dibilang suaminya bisnis itu merupakan kegiatan seperti yang dilakukan oleh mereka yang saat ini dicurigai polisi itu. Ah, tapi tidak. Suaminya orangnya lembut dan tidak neko-neko. Tidak mungkin. Tapi kebanyakan yang ditangkap polisi itu sepertinya juga tidak tampak sangar dan neko-neko. Ah.

Sehabis menidurkan anak semata wayangnya, Siti sembahyang Isya’. Tidak seperti biasanya, kali ini doanya panjang sekali. Semua doa yang dihafalnya dibaca semua, bahkan ditambah doa dengan bahasa ibunya. Dia pernah mendengar dari seorang kiai, doa menggunakan bahasa ibu, terasa jauh lebih khusyuk. Ternyata benar. Air matanya sampai berlelehan saat dia meminta keselamatan suaminya.

Dia teringat semua kebaikan suaminya yang selama ini tidak begitu ia perhatikan. Bicaranya yang selalu lembut kepadanya. Jika pulang dari bepergian, jauh atau dekat, selalu tidak lupa membawa oleh-oleh untuk dirinya dan anak mereka. Bila memberi uang, suaminya tidak pakai hitungan. Seringkali, belum sempat dia meminta, suaminya seperti sudah tahu dan langsung memberikan uang yang ia perlukan. Tidak jarang suaminya, jika sedang di rumah, ikut membantunya; tidak hanya momong anak, tapi juga mencuci dan di dapur.

Siti tersenyum sendiri, teringat ketika suaminya berlelelahan air matanya saat membantunya merajang bawang merah. “Ya Allah, lindungilah suamiku! Jauhkanlah dia dari segala mara bahaya!”

Ketika kemudian Siti merebahkan badannya di sisi anaknya yang pulas, dia masih terus berzikir. Tiba-tiba terdengar suara orang menggedor-gedor pintunya. Buru-buru Siti meloncat turun. Sejenak dia merasa lega. Ini pasti suaminya. Alhamdulillah. Namun betapa kagetnya ketika baru saja dia membuka pintu, beberapa orang berhamburan masuk. Semuanya berwajah waspada atau lebih tepatnya angker.

“Kami petugas,” kata salah seorang di antara mereka, “Kami mendapat perintah mencari suami Anda. Anda istri Mat Soleh?”

Siti hanya mengangguk asal mengangguk. Pikirannya tak karuan. Ketika dilihatnya orang-orang itu menyebar ke seluruh ruang rumahnya, yang terpikir oleh Siti hanyalah anaknya yang sedang tidur. “Tolong jangan terlalu berisik!” pintanya, “anak saya baru saja tidur.”

Tapi tak ada gunanya. Dari biliknya, Intan, anaknya yang baru berumur lima tahun itu sudah keluar sambil menangis, memanggil-manggilnya. Siti segera menghambur memeluk buah hatinya itu sambil berusaha menenangkannya. “Bu, takut! Siapa mereka ini, Bu?” tanya si anak masih sesenggukan.

“Syhh, syhh, tidak ada apa-apa, sayang. Bapak-bapak ini petugas yang sedang mencari sesuatu.” Siti asal menjawab. “Bapal-bapak inilah yang sering ibu ceritakan sebagai pelindung-pelindung kita.”

Orang-orang itu mengobrak-abrik seisi rumah. Tak ada satu benda pun yang selamat dari pemeriksaan mereka. Bahkan grobok tempat makanan pun mereka udal-udal, entah mencari apa? Salah seorang di antaranya mencecar Siti dengan pertanyaan-pertanyaan tentang suaminya. Kapan kenal, kapan kawin, bagaimana kelakuannya selama ini; dan kapan terakhir bersama suaminya. Semua pertanyaan dijawab Siti apa adanya. Setelah puas dan tidak mendapatkan apa yang mereka cari, seorang di antara mereka pun memberi isyarat pergi. Namun sebelumnya dia masih sempat mengatakan kepada Siti bahwa mereka akan datang lagi.

Begitu mereka keluar, Siti buru-buru menutup pintunya sambil berdoa semoga mereka tidak berubah pikiran dan balik lagi. Dia kembali menidurkan anaknya dan berbaring di sampingnya dengan pikiran yang kalut. Ternyata apa yang dikhawatirkan benar-benar terjadi. Suaminya dicari polisi. Bagaimana mungkin. Seingatnya, suaminya tidak pernah bohong dan menyembunyikan sesuatu kepadanya. Kalau benar dugaan polisi, pastilah Mat Soleh, suaminya itu, aktor yang luar biasa. Atau dia yang terlalu lugu sebagai istri, sehingga suaminya merahasiakan sesuatu selama ini tanpa sedikit pun dia mengetahuinya. Jadi selama ini suaminya pergi tidak untuk bisnis seperti yang dikesankan kepadanya. Ah, terlalu kau, Kang. Tega benar kau mendustaiku.

Besok paginya, koran-koran memuat berita tentang temuan baru polisi dengan huruf besar di halaman depan. “Polisi Menemukan Tokoh Intelektual Pengeboman Bali”; “Diduga Otak Pengeboman Bali Berinitial MS”; “Polisi Sedang Mencari Mat Soleh, Otak Pengeboman di Bali”. Semua menceritakan pernyataan dari Tim Investigasi yang mengatakan bahwa berdasarkan penyelidikan terhadap para tersangka, telah ditemukan tokoh intelektual pengeboman di Bali yang selama ini dicari-cari. Diceritakan juga bahwa polisi sudah melakukan penggerebekan di rumah tersangka, namun tidak menemukan tersangka yang dicari. Juga dilaporkan bahwa rumah tersangka juga telah digeledah, namun polisi tidak menemukan apa-apa.

Siti tidak bisa membendung tangisnya. Sambil mengelus-elus anaknya, dia terus mengucap doa, “Ya Tuhan, selamatkan suamiku! Selamatkan suamiku!” Tiba-tiba dirasanya ada seseorang yang memeluknya dari belakang.

“Hei, ada apa ini?” Terdengar suara lirih, “Ada apa dengan suamimu? Ini suamimu telah datang, sayang. Kenapa pintu tidak dikunci? Sengaja menungguku, ya? Lihat. Seperti janjiku, aku datang sebelum lebaran.”

Siti kaget. Dibalikkan tubuhnya dan masya Allah, dilihatnya suaminya tersenyum dengan lembut. Dipagutnya suaminya dan diciuminya kedua pipinya habis-habisan. Meski bingung, suaminya hanya tertawa-tawa saja melihat kelakuan istrinya yang tidak seperti biasanya. Mungkin rindu, pikirnya. Atau mungkin karena merasa bahagia karena dia menepati janji dan mereka bisa berlebaran bersama.

Setelah melepaskan suaminya, Siti tersenyum-senyum sendiri. Juga ketika suaminya bertanya ada apa, Siti tidak menjawab. Hanya terus tersenyum-senyum sendiri. Juga ketika suaminya keluar akan ke kamar mandi, Siti masih tersenyum-senyum sendiri; kali ini sambil mendesiskan syukur, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahil Hamdu! (*)

Rembang, akhir Ramadan 1423 H

Jumat, 26 Juli 2013

Watawa shoubil haq watawa shoubis shobri

Sulit rasanya untuk menebak, apakah kami disini dianggap urakan, kurang ajar, nakal structural, dan prasangka negative lainnya. Rasa-rasanya, inilah proses pendewasaan yang vital tentang psikologi kami sebagai pemuda, sebagai  tunas bangsa (cieh..ciehh). Apakah sebegitunya kami dianggap nakal hingga tidak ada celah kebaikan yang selama ini kami perbuat. Nilai-nilai ketaatan, kebenaran yang selama ini kami lakukan hilang begitu saja dengan satu keteledoran yang itu dianggap kenakalan. Lho, kami bukan malaikat, kami bukan setan. Kami manusia, makhluk dinamis yang sewaktu-waktu hasrat untuk lupa, melakukan salah memang menjadi kodrat mutlak. 

Kami ingin berproses menjadi manusia baik-baik, yang melakukan segala nilai-nilai kebenaran tanpa ada pemaksaan, tanpa kepentingan-kepentingan, juga tanpa menyakiti hati siapapun. Tidak gampang memang. Tapi paling tidak, dengarkan suara hati, resapi kehadiran kami disini bukan sebagai halangan, bukan sebagai tamu tak diundang. Kami ingin dipeluk, dirangkul, dianggap anak, disapa dengan sentuhan bukan dengan ‘pentungan’, ‘keprukan’. 

Kami masih muda, hasrat api yang berkobar-kobar dalam diri mudah terbakar. Dipantik sedikit saja, kebakaran kan terjadi dimana-dimana. Bukan bermaksud mendongakkan kepala, gede ndas. namun, lebih sensitive mengenali rasa bahwa seorang pemuda sangat mudah terpancing, gampang emosi, egois, berontak. Salah kuadrat jika kami disamakan dengan anak-anak yang masih sekolah. 

Yang kusesalkan, mengapa kami tidak diberikan kesempatan untuk sedikit berungkap, berkata, tentang sesungguhnya apa yang ingin kami pinta. Tiba-tiba saja, kami dihantam, di-just, dipaksa, untuk melakukan sesuatu yang paradoksal, bertentangan dengan hati kami. Semakin hancur dan hanya bisa mlongo ketika kami menyaksikan kebodohan kuadrat yang dipelihara. 

Aku sendiri pun merongrong tak tahan. Kuajak semua teman-teman berunding di sebuah tempat, kuajak mereka keluar. Sejauh mungkin yang tidak diketahui oleh siapapun, kecuali kami. 

‘ Gini aja rek. Kita keluarnya sore, sambil menunggu berbuka kita keliling di depan kampus Unibraw. Cari takjil, sekalian cuci mata. Kita absen shalat jama’ah magrib dan tarawih. ‘ 
‘ Ehmmm….apa ndak berlebihan?’ tukas Ahmad

‘ Ya ndak lah. Maksudku, biar mereka kroso kayak apa kalau ditinggal sama kita. Merasa kehilangan atau malah senang. Mana pernah mereka menghargai kerja kita. Yang ada hanya salah melulu. ‘ 

Sore hingga seperempat malam kami habiskan dengan berbatang-batang rokok, tidak ketinggalan kopi hitam lekat menemani diskusi, sharing, terhadap apa yang kami rasa, yang kami alami. Duduk melingkar saling berhadapan, menemukan idealitas-idelatis cara berfikir yang objektif, menata hati agar apa yang kami bicarakan benar-benar mengandung maslahat. Bukan madzarat. 

‘ Sebelumnya, apa yang kita bicarakan disini aku berharap tidak ada rasa kebencian, permusuhan terselubung terhadap siapa saja. Kedewasaan dan sikap saling menghormati sesama itulah prinsip kita’ 

‘ oke. Sip. Lanjutkan’ sahut yang lain. 

Perbincangan malam itu, aku benar-benar tak bisa menahan diri. Yo wes ceplas-ceplos wae. Apapun pengetahuan tentang kebijakan, keputusan yang tidak fair menjadi bahan serius pada malam di lesehan lampu merah dieng kiri jalan itu. semacam konsolidasi kecil-kecilan. Bukan untuk menggugat atau mencari pembenaran-pembenaran, akan tetapi refleksi, introspeksi diri, lingkungan, dan lain-lain. 

‘ Ini mumpung konco-konco seng tuwek seng ngumpul. Ayok ngomong apa adanya, transparan mungkin, tidak ada yang ditutup-tutupi. Sudah sedemikian rupa kita mengabdi, memberikan yang kita bisa, semampu kita. Namun, sedemian rupa yang kita lakukan ternyata memberikan efek ketidakpercayaan. Aku merasa dikhianati, sudah tidak nyaman perasaan hati ini. Sangat runyam’ 

‘ la yo. Sebenarnya maunya dia itu apa to. Mencla-mencle, sak karepe udele dewe. Isuk dele, bengi tempe. Nggak konsisten. Kita yang jadi salah terus. Ganyanya aja di depan memuji-muji. Njeketek ujungnya nggak penak blass.  

‘ iya tuhh. Ini lho urusannya cuma moral, akhlak, kok ngawur sekali maen tembak pakek materi enam ribu segala. Kok cik gobloke, bodone. 

‘ Yang kecil dibesarkan, yang besar diremehkan. Lupa pada hal-hal yang subtantif, lebih tertipu pada sesuatu yang teknis aplikatif. Sek-sek to. ‘

‘ Sebenarnya apa sih maunya dia. Aku rasa dia tidak siap membuat ‘istana’ yang dia bangun. Tergesa-gesa. Tanpa perhitungan, pemetaan, kesiapan moral maupun spiritual’ 

Malam yang indah. Melingkar bersama untuk menemukan kejujuran, kedewasaan, menghimpun kemerdekaan dengan tetap mengenal batas-batas. Apapun itu, yang kami lontarkan, yang kami caci maki tidak mengurangi sungkem dan hormat kami kepada dia. Kami tetap mencintainya, bukan memusuhinya, tetap menjalin silaturahmi. Persoaalan ini tidak akan menjadi seperti ini jika beberapa dari teman kami tidak melarikan diri, keluar dari barisan karena sudah tidak tahan dengan sikap, perilaku yang semakin hari semakin bergeser. 

Malam yang indah. Semburat tawa, canda, slengean, saling gojlok menghiasi kemesraan yang terlarut. Ngobrolin birokrasi, perempuan, koleksi video tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit, dalil-dalil al Qur’an, pijet, kos-kosan hingga terkuras habis apa-apa yang akan dibicarakan. 

Kami tidak sadar bahwa sesungguhnya kami sudah ber-Maiyah. Perlahan-lahan, hingga memasuki malam yang bisu dan kelam. 

Malang, Ramadhan, 25 Juli 2013

Rabu, 24 Juli 2013

Shalawat nabi dan semangat juang ‘45



Sejak ‘tragedy’ ba’da Isya itu—sengaja kami menyebutnya tragedy—psikologis teman-teman terguncang. Sesungguhnya sejak lama hati teman-teman bergejolak, menahan, mengelus dada dari beberapa deretan penglaman yang mereka lalui, yang mereka rasakan. Puncaknya ya ba’da shalat tarawih itu. Titik kulminasi ‘kemarahan’ yang belum pernah terjadi sejak pondok ini didirikan. Ibu muntab, mungkin sudah tidak tahan. Beberapa hari, menurutku sudah sejak almarhum Mas Umam dipanggil Ibu sudah kehilangan keceriaan, tidak percaya diri, murung, terkesan cuek dengan keadaan sekitar. Perasaan perempuan memang halus, sensitive, terhadap siapa saja yang disayanginya, dicintainya. Termasuk Mas Umam, putra sulung Ibu. 

Ba’da shalat tarawih, kami hanya menunduk, diam, salting, mematung, mendengar penuturan Ibu. “ Ya Allah Mas...tolong ya. Sikapnya dijaga, etika beribadahnya ditata. Allah itu tidak tuli. Sekalipun kalian berdo’a dengan berbisik, Allah maha mendengar. Sudah beberapa hari Ibu perhatikan dan Ibu diamkan dan sengaja memang Ibu tidak ikut shalat tarawih dengan kalian. Kalian sudah dewasa, bukan anak TK lagi”. 

Aku menunduk, beruntung rambutku panjang, wajahku tak terlihat oleh Ibu. Kulirik Jamal, dia yang paling apes. Berhadap-hadapan pas dengan wajah Ibu. Kubayangkan, bagaimana ekspresi kemarahan, merah padamnya muka, semprotan bertubi-tubi yang ia dengar. Termasuk Hasan, Suyuti, Nizar dan Inyong diam tak berkata. Bingung mau ekspresi bagaimana. Bingung dan salah tingkah. Kami sangat faham dan mengerti bagaimana karakter Ibu. Tegas, mendidik, ceplas-ceplos. Kami benar-benar menaruh hormat dan sungkem kepadanya. Beliau sangat berwibawa.  

‘ Apa kalian tidak berpikir bagaimana tanggapan orang-orang kampung. Tanggapan bapak-bapak takmir masjid sebelah, mendengar urakan kalian itu. Ibu sudah tidak tahan, ingin rasanya marah. Ibu yakin, kalian ikhlas kok ikut tarawih. Tapi mendengar suara kalian menjawab shalawat, banter-banteran bersuara, rasanya kok itu kurang ajar. Kalian itu mendo’akan Nabi, bukan demonstrasi. Ya Allahhhh’

Setengah jam lamanya kami mendengarkan ‘seminar’. Manggut-manggut seperti kerbau dicocok hidungnya. Bukan berarti kami mengerti dan sadar diri, melainkan bingung mau berekspresi yang bagaimana lagi. Sudah kurasa, pembunuhan karakter sedang terjadi. 

Disini, di pesantren ini kami benar-benar didik menuju pendewasaan diri, diajari bagaimana memaknai kemerdekaan dengan tetap mengenal batas diri. Tidak ada hijab antara santri putra dan putri, karena hijab yang sejati sesungguhnya adalah bagaimana menata dan mengeksplorasi hati menjadi suci. Maka, kami terbiasa masak, berbuka puasa, ngaji, nderes bersama-sama. melingkar dalam satu kemesraan, ikatan saudara yang saling melengkapi dan mengingatkan. Paling tidak, itulah hikmah yang bisa kubaca. 

Lain halnya dengan sebagaian teman-teman—yang aku sendiri pun diam-diam membenarkan—intepretasi yang muncul dari teman-teman sangat beragam. Dan itu aku kira wajar. Setiap manusia dibesarkan, dididik dalam lingkungan, pola fikir, usia dan latar belakang keluarga yang berbeda. Kesimpulan yang muncul pun bermacam-macam. 

‘ Emang kita salah ya kalau baca sholawat keras-keras. Lha wong semangat kok. Kita ibadah kalau tidak didasari semangat juang dan niat yang ikhlas, apa diterima ibadah kita. Emang siapa bilang Allah itu tuli bro, ngawur aja. Yang betul itu, Allah maha mengerti. Mengerti apa isi hati kita. Kita kayak gini karena kita senang, bergembira kok. Dan bentuk ekspresi kegembiraan kan bermacam-macam’ ujar Jamal. 

Bah, ora ngurus. Mau teriak-teriak kek, mau dianggap urakan kek, aku tak peduli. Di arab sana, justru sholawat di teriakkan dengan keras untuk melerai orang berkelahi, untuk mengajak orang ingat kepada Nabi sekalipun dalam keadaan marah-marah, sekalipun lagi jotos-jotosan. Lha ini, justru kita dimarah-marahin ketika shalat tarawih. Ini bulan ramadhan rek, setiap orang berhak melampiaskan kebahagiaanya pada Tuhan. Mau orang bilang urakan atau apa saja, intinya aku ora ngurus. Seng penting khusyuk’ yang lain menimpali 

‘ Sudah-sudah, besok kita tetap tarawih seperti biasanya. Lampiaskan kebahagiaan kalian pada Tuhan, juga kepada Nabi. Termasuk semangat kalian mengucapkan shalawat Nabi’ 

Maka, kami tarawih seperti biasanya. Dan ketika shalawat dikumandangkan di antara jeda rakaat, lha kok berbeda pada hari sebelumnya. Tidak ada semangat ‘teriakan’ shallu alaiiiiiiiih dengan lantang, dengan semangat juang. 

lho, kok gak semangat bro’ 

 ndak ah, nanti dimarahin lagi sama Ibu’

owalah le..le. gayamu koyok iyo-iyo’o.        

Malang, 16 Ramadhan 1432 H

Sabtu, 13 Juli 2013

Wawancara Emha Ainun Nadjib:

"Itu Refleksi Ketakutannya Sendiri Terhadap Mitologi Jawa"

Logika pewayangan dan mitologi Jawa tak mudah dicerna semua orang. Tapi tetap menarik untuk dikaji. Apalagi jika diucapkan oleh seorang figur sentral republik, Presiden Soeharto—yang memang kental dengan idiom Jawa. Saat menyambut pada ulang tahun Golkar di Jakarta, pekan lalu, Pak Harto menyitir kekuasaan ala Jawa: lengser keprabon, madheg pandito. Ini sebuah isyarat suksesi khas keraton: jika tak lagi berkuasa, maka berdiri tegak sebagai begawan.

Siapa pun rasanya ingat, Pak Harto selalu mengucapkan kata-kata penting menjelang Sidang Umum MPR yang akan berlangsung Maret tahun depan. Menurut Cak Nun --panggilan akrab Emha Ainun Nadjib, cara itu sudah dua kali dilakukan oleh Pak Harto. Pertama, ketika ia meminta kepada para dalang untuk mementaskan lakon Semar, yang menjadi perlambang dari kekuasan rakyat. "Pada saat rakyat akan marah dan Semar akan membangun kayangan itulah Pak Harto mendahuluinya, ia menciptakan sendiri Semarnya, lewat para dalang," ujarnya.

Mengapa bisa begitu? Menurut kiai mbeling yang bisa ditemui setiap malam purnama tanggal 15 Jawa, di Menturo, Jombang, Jawa Timur ini, "Pak Harto ketakutan dengan keberadaan mitologi kekuasaan Jawa yang ia percayai sendiri. Apalagi Pak Harto harus membayar hutang kepada rakyat. Itulah yang membuatnya tidak mau lengser keprabon. Padahal, rakyat Indonesia itu sangat pemaaf, kalau Pak Harto bayar hutangnya hanya 25 persen, pasti rakyat akan memaafkannya," ujar Emha.

Lalu, bagaimana memahami makna politis di balik ucapan Pak Harto itu? Berikut wawancara Edy Budiyarso dari TEMPO Interaktif dengan Emha Ainun Nadjib, 44 tahun, budayawan yang juga suami artis Novia Kolopaking, seusai acara Dialog Publik Tentang Tanggung Jawab Kemanusian Setiap Warga Negara, di Panti Trisula Menteng, Jakarta Pusat, yang juga disambung lagi wawancara lewat telepon.
Berikut petikannya:

Apa makna pernyataan Pak Harto tentang pergantian kekuasaan dengan cara lengser keprabon?

Pak Harto itu mau menghilangkan mitologi kekuasaan Jawa, dan itu sudah terjadi dua kali. Ibaratnya ia memegang petir, itu dalam rangka mendekonstruksi mitologi politik Jawa. Pertama, kasus permintaan kepada para dalang untuk melakonkan Semar. Dalam tradisi Jawa itu ada sebab akibat. Ketika raja berbuat salah sampai derajat tertentu, berdasarkan logika wayang, maka Semar akan marah. Semar naik ke kayangan dan memarahi Bethara Guru karena Bethara Guru dianggap kurang bisa mengatur. Bethara Guru itu kan adik Semar. Jadi, Semar itu lebih berkuasa ketimbang Bethara Guru, atau dengan kata lain rakyat lebih berkuasa dari pada presiden. Nah, pada saat rakyat akan marah dan Semar akan membangun kayangan inilah Pak Harto mendahuluinya, ia menciptakan sendiri Semarnya, lewat para dalang wayang kulit. Itu dalam soal Semar.

Sekarang ini, seharusnya dalam kondisi lengser keprabon, buat Pak Harto. Ia seharusnya sudah Pendita, ia harus memurnikan rohani dan merdeka dari struktur sosial karena ketika menjadi raja, ia mengumpulkan materi. Karena Pak Harto tahu, ia menghadapi kondisi seperti itu, maka ia didahului lagi dengan lengser keprabonnya.

Mengapa?

Itu refleksi dari ketakutannya sendiri terhadap mitologi-mitologi Jawa yang memang ia percaya. Dengan itu, seolah-olah ia sedang meminta ijin kepada Sang Hyang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Esa). Ia minta izin, karena dia merasa sudah waktunya lengser keprabon, jadi bukan salahnya sendiri kalau ada orang mencalonkannya. Padahal yang mencalonkan itu kan dirinya sendiri. Dia ingin menciptakan lakon di mana seolah-olah dia diminta oleh rakyat, dia ingin meyakinkan dirinya bahwa dia diminta oleh rakyat lewat MPR yang pada hakekatnya itu adalah kehendaknya sendiri. Itu yang saya katakan dengan mengeliminir simbol-simbol Jawa.

Saya kira kalau ini sekedar mitologi kekuasaan Jawa, ini masih bisa dihilangkan. Padahal, selain konsep kekuasaan dalam mitologi Jawa, ada juga kekuatan-kekuatan natural dan transendental yang pada saatnya nanti tidak bisa dibatasi oleh manusia. Seperti umur dan segala macam, baik yang datang dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya.

Pak Harto sendiri meminta Golkar untuk mengkaji ulang dukungan rakyat kepada dirinya, apa ini bukan langkah bijaksana?

Itu kan dialog dramanya, sinetronnya seperti itu. Jadi diciptakan suatu adegan bahwa partai terbesar ini meyakinkan bapaknya bahwa rakyat itu memang masih menghendaki. Tetapi, itukan cuma adegan saja.

Jadi Anda melihat permintaan Pak Harto kepada Golkar itu hanya "dagelan" saja?

Ini satu dagelan yang sangat serius dan sangat berbahaya.

Bahayanya?

Saya kira hati nurani Pak Harto sendiri juga tidak mau seperti itu, nurani Harmoko, dan semua anggota MPR itu tahu hal itu, apalagi rakyat pasti tahu. Kalau rakyat dengan lugu memilih Pak Harto, itu karena selama ini rakyat menjadi obyek mobilisasi yang sangat panjang. Selama tiga puluh tahun dan rakyat tidak memiliki akses informasi politik formal dari kekuasaan. Jadi sama halnya pilihan rakyat yang lugu itu dengan Tarzan yang biasa di hutan, lantas kita menuntut ia sama seperti anak sekolah. Bahayanya, kebusukan dan kebohongan itu kan ada batasnya, ada usianya, ada masa senjanya. Entah ledakan atau jenis kematian apa yang nanti akan terjadi dan pasti terjadi.

Anda yakin kalau tragedi yang menimpa bangsa itu sebagai peringatan dari kekuasaan Tuhan?

Kalau kita lihat acara dialog kemanusian, di mana energi kita pergunakan untuk berpuas-puas diri menggugat ini menggugat itu. Seharusnya energi untuk itu tidak boleh banyak-banyak, maksimal 25 persen saja. Sedangkan sisa energi kita sebanyak 75 persen itu kita pergunakan untuk mempersiapkan kondisi di mana tidak ada lagi Pak Harto. Karena sekarang ini semua kelompok pro-demokrasi itu belum sinergi, belum siap dengan kesebelasannya. Kesebelasan yang saya maksud itu bukan sekedar koalisi kepemimpinan saja, termasuk psikologi hubungan politik antar kelompok di masyarakat ini tidak kondusif untuk menyongsong perubahan yang mendasar.

Kelompok mana saja yang Anda maksud?

Partai politik, Ormas, bisa perbedaan-perbedaan visi, suku, agama dan lainnya. Semua kelompok itu saya lihat belum siap, karena komandan-komandannya juga belum siap, masih jalan sendiri-sendiri.

Anda kurang percaya kepada lokomotif demokrasi seperti Gus Dur, Megawati dan Amien Rais?

Saya percaya kepada mereka. Tetapi, mengapa mereka selalu tidak kompak? Padahal kalau kita bertanya kepada mereka, toh jawabannya relatif sama, mereka setuju kelaliman itu harus dilawan. Kenapa mereka sampai tidak bisa membentuk kesebelasan di antara mereka sendiri. Dalam pandangan saya, mereka-mereka itu memang memiliki visi yang kosmopolitan yang mempertimbangkan nasionalisme, hanya saja pijakan mereka masih golongan.

Ibaratnya, pikiran mereka sudah merdeka namun kakinya yang belum merdeka. Misalnya saja Gus Dur, ia sangat kosmopolitan, demokratis dan progresif dalam Forum Demokrasi, itu kepalanya Gus Dur. Sedangkan kaki Gus Dur masih berpijak di NU, di mana dia harus tawar-menawar dengan Tutut, menyodorkan nama-nama untuk bisa menjadi calon anggota MPR, yang ternyata tidak digubris satu pun oleh Tutut. Saya tidak menyalahkan hal itu, tetapi meletakkan diri dalam pijakan yang primordial itu membuat sulit melangkah.

Maka, saya pribadi tidak mau meletakkan diri dalam satu golongan. Kecuali hanya menjadi suporter saja. Menjadi suporter pun sudah langsung diklaim masuk ke dalam satu kelompok, karena semua orang itu bersikap posesif, selalu beranggapan itu anak sendiri. Jadi selalu ada klaim-klaim primordial di mana-mana, kalau ada yang independen tidak ada temannya. Contohnya saya saja, sayangerewangi (membantu) PPP disebut saya orang PPP, saya ikut mendorong truk, kok disebut penumpang truk, kan tidak begitu.

Menurut Anda, mengapa lokomotif demokrasi kita tidak berjalan dengan cepat di Indonesia?

Kita telah lama mengalami kekalahan kolektif, misalnya visi demokrasi, pemahaman agama yang benar, visi mengenai kebudayaan yang kosmopolitan itu tidak sempat kita tanam dalam-dalam sampai berakar. Semuanya itu rusak karena sebentar-sebentar dihantam badai dan diinjak-injak orang. Seperti diskusi Dialog Kemanusian, itu kan seperti perahu di tengah-tengah laut yang tidak lama kemudian kita akan berganti kapal, dan kita menghadapi kenyataan yang sama pula. Toh dialog seperti itu pernah terjadi pada tahun 1974, bisa terjadi pada tahun 1980. Jadi peletakan waktu, periodisasinya tidak kontinyu dan tidak dengan kesadaran yang konstan.

Misalnya, sebut saja Permadi. Ia itu kan orang yang sangat naluriah, bagus ide-idenya tetapi spontan. Itu saya anggap sikap politik yang instan dan kita tidak bisa terus menerus seperti itu, kalau kita menginginkan perubahan politik yang mendasar.

Mungkinkah dukungan kepada Pak Harto akan bergulir melalui doa politik dan kebulatan tekad dari umat Islam?

Kalau permintaan dukungan kepada umat Islam, itu sudah pasti akan ada. Tetapi saya tidak akan ikut dalam dukung-mendukung Pak Harto. Di Monas saja (saat berlangsung takbir masal), sudah saya katakan bahwa kita jangan terlalu kejam-kejam kepada Pak Harto, karena beliau itu sudah tua, mbok dikasih kesempatan untuk hidup bebas. Jangan diberi tugas berat terus. Itu yang saya katakan, tetapi toh tidak ada satu media massa pun yang berani memuat. Itu kan bisa disebut balagoh penyampaian tidak setuju dengan nada yang halus.

Dari dulu saya mengatakan itu sampai Jawa Tengah, saya dicekal selama dua tahun oleh Pak Soeharyoto, itu karena saya berani mengatakan itu di muka forum Kodam dan di depan para wartawan dan sekarang pun saya masih mengatakan itu. Tetapi saya melihat Pak Harto itu sudah tidak bisa berbuat lain, ia sudah terlanjur. Kalau dia mundur sebagai presiden ia harus membayar banyak hal terutama sebab akibat yang ditimbulkan oleh dirinya. Karena harus membayar utang itulah Pak Harto jadi tidak mau turun. Padahal, dalam sejarah itu berlaku hukum kausalitas, menanam apa akan berbuah apa, menabur angin akan menuai badai.

Lalu, apa yang terjadi pada Pak Harto berkaitan dengan kekuasaan?

Saya kira Pak Harto itu sudah mengalami fase, di mana ia tidak bisa hidup tanpa kekuasaan. Selama ini ia hidup tiga puluh tahun dalam kekuasaan. Jadi ibarat orang yang setiap hari makan hamburger, sehingga orang lupa bagaimana cara makan soto. Tiga puluh tahun itu waktu yang lama sekali, jadi betapa sangat tidak terkontrolnya dia, karena dia juga menghadapi masalah, kalau dalam waktu yang lama ia diperhitungkan orang kemudian tiba-tiba ia tidak punya kekuasaan, itu masalah tersendiri.

Apakah Anda setuju Pak Harto dipilih lagi?

Kalau saya tidak setuju Pak Harto menjadi presiden lagi, karena saya melihat Pak Harto punya peluang memandu kepada perubahan yang lebih damai. Dengan syarat, pertama, dia sendiri yang harus berkorban. Kalau nanti dia turun dengan tidak baik, kalau tiba-tiba dia dipanggil Tuhan, padahal belum ada orang yang akan menggantikan dia, kan lebih bertambah berbahaya.

Jadi saya tidak setuju Pak Harto naik lagi itu karena ada kearifannya, bukan masalah senang atau tidak senang. Itu tidak saya perdulikan. Yang penting Indonesia itu harus selamat dalam transisi nanti, proses perubahannya jangan sampai membuat kita terlalu tergoncang-goncang. Dan saya melihat Pak Harto memiliki kesempatan untuk ikut mencegah kegoncangan itu dengan dia sendiri yang harus banyak berkorban.

Caranya?

Ia harus mengerem anak-anaknya, lantas ia harus mencari informasi yang akurat mengenai keadaan rakyat dan didengarkan dengan baik. Kita dengar saja apa yang dikatakan para jenderal-jenderal itu. Pak Harto sekarang ini tidak mendapatkan informasi yang benar tentang rakyatnya. Karena bawahan-bawahannya itu sudah tidak lagi memberikan informasi yang akurat, mereka takut informasinya itu menggelisahkan bapak. Jadi laporannya itu sudah dipernis, dihaluskan sedemikian rupa. Jadi serba sulit, apalagi dia sudah memposisikan dirinya sebagai pandita ratu.

Apakah akan terjadi suksesi seperti raja-raja Jawa yang biasanya disertai pertumpahan darah?

Pak Harto itu tidak ingin terjadi seperti pada diri Ken Arok. Sehingga, ketika ia mengambil kekuasaan dari Soekarno tidak memakai cara Singosari, tidak menggunakan cara-cara seperti lakon Empu Gandring, lalu ada Kebo Ijo yang menjadi kambing hitam. Empu Gandring itu kan seperti umat Islam yang diminta untuk membuat keris, mateng atau tidak mateng akan diambil, dan terus umat Islam yang lain akan dikambinghitamkan seolah-olah dialah yang membunuh Tunggul Ametung. Sekarang ini yang menjadi Kebo Ijo dan Tunggul Ametung itu bisa dari NU dan ICMI atau sebaliknya.

Tunggul Ametung itu kan simbol yang menghalangi kekuasaan. Pak Harto sudah berhati-hati untuk menggunakan cara seperti itu, tetapi pada hakekatnya sama saja cara yang dipakai, itu hanya kamuflase atau bungkus saja. Intinya sama saja, keris yang berdarah yang dibungkus dengan kayu yang mengkilap dengan hiasan pita bunga yang indah.

Apakah akan lebih baik kalau Pak Harto memiliki putra mahkota yang akan menggantikan kekuasaannya?

Tidak sesederhana itu, Pak Harto itu seharusnya ikut memandu transisi masyarakat Indonesia menuju pagi hari yang baru yang lebih baik. Tidak harus menyiapkan pengganti dia, tetapi menyiapkan tatanan negara ini menjadi lebih baik. Sebab, kalau hanya menyiapkan penggantinya saja, maka yang dilakukan hanya upaya penyelamatan di paska kekuasaannya. Jadi tidak hanya memikirkan penggantinya saja, tetapi lebih luas dan lebih kompleks.

Apa dalam usianya yang sudah sepuh Pak Harto mampu menyiapkan tatanan yang Anda maksud itu?

Loh, kenapa tidak mampu? Kalau Pak Harto meludah saja bisa menjadi lautan, atau mendehem saja bisa terjadi mobilisasi besar-besaran. Itu yang namanya sabda pandita ratu, walaupun perintahnya salah atau benar tidak bisa dibantah. Kalau Pak Harto memberi contoh untuk mau berkorban, mau konsisten, mau benar-benar, nantinya akan ada kekuatan di bawah yang mengontrol bawahannya Pak Harto. Namun bagaimana lagi kalau semuanya ini tidak dilakukan justru karena Pak Harto sendiri yang tidak mau, karena pangkalnya pada dia sendiri. Misalnya kasus Udin, kasus ecstasy, kan muaranya ke situ-situ juga. Padahal orang Indonesia itu sangat pemaaf dan kalau dia melakukan itu pasti akan dimaafkan oleh rakyat. Artinya Pak Harto membayar utangnya 25 persen saja, pasti sudah bisa dimaafkan.

Mengapa hal itu tidak dilakukannya?

Karena ia tidak punya teman untuk berdialog. Ia hanya kenal dengan orang-orang yang urusannya hanya kekuasaan. Baik Tutut, Hartono, mereka itu orang-orang yang sedang memuncak kariernya dan konteksnya hanya kekuasaan dan modal saja.

Mengapa tidak Anda saja yang memberi nasehat?

Nanti saya dikatakan berangkul-rangkulan, dianggap berkolusi. Ketika takbir akbar, sebenarnya saya sedang mengingatkan Pak Harto, karena orang seperti dia itu harus dikandani tetapi bagaimana lagi kalau teman-teman sendiri yang menuduh saya macam-macam. Orang ini harus diberitahu, telinganya dibuka. Dan Alhamdulillah sedikit dibuka telinganya, dan dia langsung takbiran dan memukul beduk lama sekali. Siapa yang berani memerintahkan kepada Pak Harto takbiran, kan tidak ada yang berani memerintah toh.

Mengapa malam itu Pak Harto mau takbiran, lantas kenapa saya tidak mau salaman dengan Pak Harto dan Pak Hartonya tidak marah? Sebenarnya itu kan menghina presiden toh, ada anak kecil tidak mau salaman dan tidak mau rangkulan. Padahal semua yang hadir disitu seperti Roma Irama berangkulan. Itu di hadapan dua ratus juta rakyat yang berada di depan televisi.

Mustinya teman-teman itu bersyukur, karena menurut nabi sebaik-baiknya ulama itu yang didatangi oleh umaro dan seburuk-buruk ulama itu yang sowan kepada umaro yang berarti bargaining position-nya lebih rendah. Saya tidak mengatakan bargaining power saya tinggi, tetapi paling tidak saya menunjukan bahwa saya itu tidak patheken, tidak salaman tidak apa-apa, aku tidak punya kepentingan apa-apa sehingga aku enteng-enteng saja.

Begitu Pak Harto menyodorkan tangan kepada saya, saya langsung mengambil mick dan takbiran. Itu yang terjadi bisa dilihat kembali di rekaman videonya. Seharusnya kawan-kawan itu mempercayai saya dan meminta saya untuk memberi peringatan seperti itu lagi. Toh saya sepeser pun tidak mau menerima uang dari pemerintah, dari pengusaha atau siapapun yang sifatnya tidak murni. Saya membuat sekolahan, menyantuni anak-anak yatim karena saya menulis di koran dan karena buku-buku saya

Menurut Anda, mengapa Pak Harto tidak berterus terang saja seandainya sudah tidak mau dicalonkan lagi?

Pak Harto kok disuruh ngomong terus terang. Raja Jawa itu etosnya etos priyagung. Ciri priyagung itu halus bicaranya, tidak bisa blaka (terus-terang), itu prajurit. Ratu tidak boleh bicara seperti itu, bicaranya harus simbolis, metaforis. Pak Harto mencoba melawan ketakutannya kepada mitos Jawa dan itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang telah melewati jalur-jalur dan tahapan-tahapan kebatinan. Ia tafsirkan sendiri akan kedatangan Semar dan Semarnya didahului. Sekarang lengser keprabon itu suatu mitos dalam konsep kekuasaan Jawa. Sebelum itu berlaku pada dirinya, ia ambil lebih duhulu.