Selasa, 13 November 2012

Baliho Dan Calon Pemimpin Bangsa



Terpampang baliho besar ukuran 5x3m di gedung Sport Center bertuliskan “Selamat Datang Para Calon Pemimpin Bangsa”. Rupa-rupanya baliho itu adalah ucapan selamat datang kepada mahasiswa baru yang memasuki babak baru dalam proses dinamika mereka menjadi seorang pelajar di kampus, calon pemimpin, generasi baru dalam mengemban amanat rakyat dan Negara. Agent of change, agen of control. Untung nggak agen pulsa, agen minyak tanah. Hehehe. Seorang Margobleh, mahasiswa baru Uin begitu “Waw” membaca baliho itu.
“Weh-weh, ternyata kita adalah calon pemimpin ya” lugasnya
“Ah biasa aja” acuh temannya Margobleh
Semprol
            Ternyata, dari semester ke semester, tahun ke tahun Margobleh benar-benar tidak bisa melupakan kalimat “Waw” itu. Ya, Selamat Datang Para Calon Pemimpin Bangsa itu. Selalu terngiang-ngiang ditelinganya betapa dahsyatnya, saktinya kalimat itu. Kalimat yang dianggapnya sebuah teka-teki, rahasia. Mengandung ‘Alimul ghaib’. Keghaibannya mengalahkan keberadaan makhluk tak kassat mata. Jin, Dalbo, Gendruwo, Sundel Bolong, Banaspati wa akhawatuhum. Kalau di dunia wayang, kalimat ‘Waw’ itu layaknya Wahyu Teja Maya, mungkin juga Cupu manik Asta Gina’ yang kadar kerahasiaannya mencapai pusat kewenangan para Dewata untuk membongkarnya.
            Serem.
Disetiap kesempatan Margebleh selalu mengajak siapa saja yang ditemuinya untuk selalu ngobrolin kalimat ‘Waw’itu. Di kantin, UKM, kantor Dema Sema, rektorat lantai tiga, depan Sc, bahkan waktu wiridan shalat jama’ah dhuhur pun masih sempet-sempetnya ngicau. Apalagi kalau bukan karena kalimat ‘Waw’itu. Tidak hanya terbawa pada kondisi sadar, di alam bawah sadarnya pun Mergbebleh selalu meronta-ronta menyebut ‘Kita adalah calon pemimpin bangsa’.     
            Kegalauan Margebleh ini akhirnya menjadi satu bentuk rasa ingin tahu yang mendalam. Ditambah lagi belum ada satu orang pun yang ditemui Margebleh entah dosen, mahasiswa, karyawan, petugas BAK, Ketua UKM bisa menjadi partner dialog, ngobrol tentang kalimat ‘Waw’ itu. Sangking jengkelnya, Margebleh sempat uring-uringan sendiri. Nggrutu-nggrutu sendiri.
            “Dasar mahasiswa IQ melati, lemot, diajak ngomongin ini nggak ada yang nyambung, nyrocos politik gak mudeng, kapitalis gak nyampek, realita social gak update,  sak jane apa se yang ada di otak mereka itu. Paling ya isine gendaan, ngopi. Tapi masih mending. Ngopi maupun gendaan menunjukkan kejantanan paling tidak. Jangan-jangan utek mereka sudah kemasukan virus nilai. Nilai A, B, C, D bla..bla. Ah..kosong. pingen nilai baik, tapi copy paste. Bla..bla..bla…” Margebleh uring-uringan sendiri sesekali nyedot Dji Sam Soenya
Beberapa tahun kemudian, ketika Margebleh semester tujuh
Rektorat lt.3 pukul 08.00 Wib
            Pertemuan atau semacam audensi itu dihadiri banyak kalangan, khususnya berbagai macam latar belakang mahasiswa. Mahasiswa dari golongan “Hijau”, “kuning”, “merah” , “pink”, dll. Begitupun dengan para fungsionaris intra kampus. Dewan eksekutif dan legislative mahasiswa baik tingkat jurusan maupun fakultas. Hanya Margebleh yang tidak dari golongan penting. Entah, apa status Margebleh ikut nimbrung di forum ini. PD sekali dia, dikiranya dia ini siapa. Baginya, tak peduli siapa dan apa yang berhak memperoleh aksentuasi dalam berfikir, berkarya, maupun berdinamika. Di segala bidang, teoritis maupun empiris. Margebleh sadar bahwa ia orang bodoh, tidak update berita, miskin wacana, tak punya manajemen stratag yang ampuh, bisanya ya cuma sedal-sedul mangan beluk. makanya wajib baginya untuk selalu nimbrung di berbagai forum dan seminar untuk mencari pengetahuan, pembacaan sosial, dan transformasi gerakan-gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa maupun isu reduksitas birokrasi kampus sebagai gerbong kebijakan structural-verbal-legal.
            Audiensi itu membahas tentang agenda besar. Dimana gawe besar itu akan menentukan segala proses kebijakan selama lima tahun ke depan. Pilrek (Pemilu Rektor). Tampak di forum itu Presiden Dema-U, Sema-U, beberapa aktivis LSM,  Tampak juga konco-konco UKM dan segelintir mahasiswa netral yang mencoba peduli terhadap segala wacana atau isu kampus.
            Ada sedikit kegetiran di hati Margebleh. Semacam ketakutan, tapi segera ditepisnya perasaan itu. Tiba-tiba seseorang memangilnya pelan. Ternyata presiden Dema-U.
            “Eh..kamu Margebleh ya?”
            “ Ho’oh”
            “Nanti kamu Tanya gini ya. Bla…bla..bla…”
            “Lho ”
            “Nanti tak tambahin dengan pertanyaanku, oke Blehh?”
Margebleh hanya meng-iyakan saja. Sebuah siasat pertanyaan menjebak. Dan jawabannya pun juga bisa ditebak. Audiensi yang dipromotori oleh mahasiswa-mahasiswa tesebut sesungguhnya ingin mendapatkan transparansi, objektivitas, dan bentuk peran kongkrit civittas akademika-khususnya- mahasiswa sebagai objek kebijakan. Apa yang ditransparansikan? Yaitu Pilrek.
            “ Mana sesungguhnya peraan mahasiswa? Mereka selalu dijadikan domba, objek kebijakan yang tidak fair. Lalu, apa maksudanya ketika mahasiswa tidak punya hak pilih dalam Pilrek ini? Dari tahun ke tahun, kita selalu disambut dengan baliho-baliho besar, ucapan sakral nan agung. SELAMAT DATANG PARA CALON PEMIMPIN BANGSA. Tapi apa, mereka tidak pernah diberikan pendidikan politik untuk memilih caon pemimpinnya, calon rektornya”  Margebleh dengan suara yang lantang. Entah, setan jenis apa yang merasukinya.
Malang, November 2012