Terpampang
baliho besar ukuran 5x3m di gedung Sport Center bertuliskan “Selamat Datang
Para Calon Pemimpin Bangsa”. Rupa-rupanya baliho itu adalah ucapan selamat
datang kepada mahasiswa baru yang memasuki babak baru dalam proses dinamika
mereka menjadi seorang pelajar di kampus, calon pemimpin, generasi baru dalam
mengemban amanat rakyat dan Negara. Agent of change, agen of control. Untung
nggak agen pulsa, agen minyak tanah. Hehehe. Seorang Margobleh, mahasiswa baru
Uin begitu “Waw” membaca baliho itu.
“Weh-weh,
ternyata kita adalah calon pemimpin ya” lugasnya
“Ah
biasa aja” acuh temannya Margobleh
“Semprol”
Ternyata, dari semester ke semester, tahun ke tahun Margobleh
benar-benar tidak bisa melupakan kalimat “Waw” itu. Ya, Selamat Datang Para
Calon Pemimpin Bangsa itu. Selalu terngiang-ngiang ditelinganya betapa
dahsyatnya, saktinya kalimat itu. Kalimat yang dianggapnya sebuah teka-teki,
rahasia. Mengandung ‘Alimul ghaib’. Keghaibannya mengalahkan keberadaan makhluk
tak kassat mata. Jin, Dalbo, Gendruwo, Sundel Bolong, Banaspati wa akhawatuhum.
Kalau di dunia wayang, kalimat ‘Waw’ itu layaknya Wahyu Teja Maya, mungkin juga
Cupu manik Asta Gina’ yang kadar kerahasiaannya mencapai pusat kewenangan para
Dewata untuk membongkarnya.
Serem.
Disetiap
kesempatan Margebleh selalu mengajak siapa saja yang ditemuinya untuk selalu
ngobrolin kalimat ‘Waw’itu. Di kantin, UKM, kantor Dema Sema, rektorat lantai
tiga, depan Sc, bahkan waktu wiridan shalat jama’ah dhuhur pun masih sempet-sempetnya
ngicau. Apalagi kalau bukan karena
kalimat ‘Waw’itu. Tidak hanya terbawa pada kondisi sadar, di alam bawah
sadarnya pun Mergbebleh selalu meronta-ronta menyebut ‘Kita adalah calon
pemimpin bangsa’.
Kegalauan Margebleh ini akhirnya menjadi satu bentuk rasa
ingin tahu yang mendalam. Ditambah lagi belum ada satu orang pun yang ditemui
Margebleh entah dosen, mahasiswa, karyawan, petugas BAK, Ketua UKM bisa menjadi
partner dialog, ngobrol tentang kalimat ‘Waw’ itu. Sangking jengkelnya,
Margebleh sempat uring-uringan sendiri. Nggrutu-nggrutu sendiri.
“Dasar mahasiswa IQ melati, lemot, diajak ngomongin ini
nggak ada yang nyambung, nyrocos
politik gak mudeng, kapitalis gak nyampek, realita social gak update, sak jane
apa se yang ada di otak mereka itu.
Paling ya isine gendaan, ngopi. Tapi
masih mending. Ngopi maupun gendaan menunjukkan kejantanan paling tidak.
Jangan-jangan utek mereka sudah
kemasukan virus nilai. Nilai A, B, C, D bla..bla. Ah..kosong. pingen nilai
baik, tapi copy paste. Bla..bla..bla…” Margebleh uring-uringan sendiri sesekali
nyedot Dji Sam Soenya
Beberapa
tahun kemudian, ketika Margebleh semester tujuh
Rektorat
lt.3 pukul 08.00 Wib
Pertemuan atau
semacam audensi itu dihadiri banyak kalangan, khususnya berbagai macam latar
belakang mahasiswa. Mahasiswa dari golongan “Hijau”, “kuning”, “merah” ,
“pink”, dll. Begitupun dengan para fungsionaris intra kampus. Dewan eksekutif
dan legislative mahasiswa baik tingkat jurusan maupun fakultas. Hanya Margebleh
yang tidak dari golongan penting. Entah, apa status Margebleh ikut nimbrung di
forum ini. PD sekali dia, dikiranya dia ini siapa. Baginya, tak peduli siapa
dan apa yang berhak memperoleh aksentuasi dalam berfikir, berkarya, maupun
berdinamika. Di segala bidang, teoritis maupun empiris. Margebleh sadar bahwa
ia orang bodoh, tidak update berita, miskin wacana, tak punya manajemen stratag
yang ampuh, bisanya ya cuma sedal-sedul
mangan beluk. makanya wajib baginya untuk selalu nimbrung di berbagai forum
dan seminar untuk mencari pengetahuan, pembacaan sosial, dan transformasi
gerakan-gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa maupun isu reduksitas birokrasi
kampus sebagai gerbong kebijakan structural-verbal-legal.
Audiensi itu membahas tentang agenda besar. Dimana gawe
besar itu akan menentukan segala proses kebijakan selama lima tahun ke depan. Pilrek
(Pemilu Rektor). Tampak di forum itu Presiden Dema-U, Sema-U, beberapa aktivis
LSM, Tampak juga konco-konco UKM dan segelintir mahasiswa netral yang mencoba peduli
terhadap segala wacana atau isu kampus.
Ada sedikit kegetiran di hati Margebleh. Semacam
ketakutan, tapi segera ditepisnya perasaan itu. Tiba-tiba seseorang memangilnya
pelan. Ternyata presiden Dema-U.
“Eh..kamu Margebleh ya?”
“ Ho’oh”
“Nanti kamu Tanya gini ya. Bla…bla..bla…”
“Lho ”
“Nanti tak tambahin dengan pertanyaanku, oke Blehh?”
Margebleh hanya
meng-iyakan saja. Sebuah siasat pertanyaan menjebak. Dan jawabannya pun juga
bisa ditebak. Audiensi yang dipromotori oleh mahasiswa-mahasiswa tesebut
sesungguhnya ingin mendapatkan transparansi, objektivitas, dan bentuk peran
kongkrit civittas akademika-khususnya- mahasiswa sebagai objek kebijakan. Apa
yang ditransparansikan? Yaitu Pilrek.
“ Mana sesungguhnya peraan mahasiswa? Mereka selalu
dijadikan domba, objek kebijakan yang tidak fair. Lalu, apa maksudanya ketika
mahasiswa tidak punya hak pilih dalam Pilrek ini? Dari tahun ke tahun, kita
selalu disambut dengan baliho-baliho besar, ucapan sakral nan agung. SELAMAT
DATANG PARA CALON PEMIMPIN BANGSA. Tapi apa, mereka tidak pernah diberikan
pendidikan politik untuk memilih caon pemimpinnya, calon rektornya” Margebleh dengan suara yang lantang. Entah,
setan jenis apa yang merasukinya.
Malang, November 2012