Ada seorang dengan pengetahuan
mumpuni. Ia berwawasan luas, tahu sepak bola, pakar di bidang hukum, ahli
srategi politik, dari soal pendidikan hingga ekonomi kapitalis, dari wacana
kebangsaaan hingga penipuan global. Tampaknya ia menjadi pusat informasi dari
segala pengetahuan yang ia kuasai. Ia adalah model dari orang yang tahu banyak
tentang banyak hal.
ia dikasih Tuhan rahmat berupa
ingatan tajam, kuat, dhobid, sehingga tidak perlu ia belajar berjam-jam.
Ia dengan kelebihannya, mampu hafal segala akses informasi hanya dari hitungan
menit. Ia lebih dari Yudi Lesmana, pemuda Indonesia yang mendapat gelar Grand
Master of Memory dari Malaysia itu. Jika
Yudi Lesmana mampu hafal 880 digit angka dalam waktu satu jam, ia (sebu
saja namanya Abdun) mampu hafal 1000 digit angka dalam waktu setengah jam.
Pun juga itu, ia ‘disidak’ banyak
orang lantaran ke-wawasan pengetahuannya. namun, rasanya tidak fair karena
beberapa orang mengeksploitasinya demi tendensi dan tujuannya masing-masing.
Beberapa kali ia diminta untuk
pasang badan demi membela ‘kepentingan’ orang. Ia begitu baik, begitu lugu,
begitu jujur, hingga semua ‘syahadat’ kebaikannya dieksploitir, dimanipulir,
oleh orang-orang yang punya ambisi dan niat tertentu.
Kasihan. Ia menjadi lilin semua
ruang, menerangi dan memberi cahaya ditengah kegelapan. Ia memancar benderang
dikebutaan malam. Tapi malam maupun gelap tidak peduli, untuk sejenak saja
menoleh, menengok, pada cahayanya yang memancar yang membuat dirinya meleleh
meninggalkan bekas keredupan.
Ia tidak terekam oleh tinta
sejarah. Ia pernah mengatakan “ Saya tidak peduli tidak ditulis oleh sejarah,
karena saya yang menulis sejarah”. Sejarah hanya ditulis oleh mereka yang
menang. Dan arti kemenangan buat dia adalah justru menghilangkan dirinya dalam
cetakan-cetakan sejarah yang dibaca orang.
Ia tidak pernah dikenal orang. Ia
mengutuk filsafat eksistensialisme. Dimana orang sibuk hati dan fikirannya
untuk berlomba-lomba menegakkan kepala demi tertancap eksistensi kepribadiaanya—maupun
prestasi-prestasi hidupnya.
ia melebur dalam konsep tauhid.
Garis lurus vertikal menembus cakrawala langit tujuh. Ia melakukan banyak hal,
mengurai pemahaman atas kebodohan nasional maupun universal, terjun ke parit,
merangkul mereka yang terjerembab, mengajak untuk percaya diri, berani
menghadapi segala kemungkinan kebobrokan dunia, membuat lingkaran-leingkaran
yang penuh kemesraan dan cinta. Ia lakukan semua itu atas dasar perintah Tuhan.
Karena sesungguhnya manusia adalah khalifatullah fil ard.
Kata ikhlas dan tulus tidak mampu
menakar apa yang sudah ia lakukan. Karena sesungguhnya manusia lebih besar,
lebih tinggi, dari derajat keduanya. Dunia menjadi enteng, ringan, karena dunia
hanya sebesar kerikil yang berada digenggaman.
Yang besar adalah Allah. Yang
tertinggi adalah Allah. Allah maha detail atas segala sesuatu. Allah maha
mesra, maha romantis, dari segala kisah roman yang ditulis oleh sejarah
manusia.
Ikhlas itu tidak ada. Yang ada
hanyalah kemurnian. Kebaikan ya kebaikan. Kemulyaan ya kemulyaan. Anda menolong
orang kecelakaan di jalan itu adalah kebaikan. Sedekah adalah kebaikan. Tidak
usah menuntut ganjaran, pahala, balasan, dari semua kebaikan yang sudah anda
lakukan—termasuk balasan dari Tuhan.
Jika Tuhan berbaik hati membalas
atas kebaikan yang anda lakukan, itu adalah romantisme kemesraan. Tuhan tahu
bahwa manusia itu lemah, tidak kuatan hatinya, maka Tuhan menghibur hati
manusia dengan memberi balasan terhadap kebaikannya. Apapun bentuk dan
modusnya. Satu kebaikan dibalas sepuluh ganjaran, jika engkau mendekat ke Tuhan
dengan berjalan, maka Ia mendekatimu dengan berlari. Jika engkau menyapa Tuhan
dengan senyuman, maka ia menyapamu dengan ribuan rahmad dan kecintaan.
Anshofa, Februari 2014