Kamis, 25 April 2013

Teater Banaspati


Ibda’ Binafsika yang mati, mati dan mati


Ibda’ Binafsika. Seperti itulah yang pernah diajarkan rasulullah kepada umatnya akan pentingnya kesadaran diri dalam melakukan kebaikan sebelum kita menyeru pada orang lain untuk berbuat kebaikan. Subtansi yang terkandung adalah bagaimana kita menjadi contoh, uswatun hasanah dalam bertindak tanduk serta kebaikan yang kita seru menjadi compatible dengan apa yang kita lakukan. Antara ucapan dan prbuatan selaras, berkorelasi. 

Itulah yang disampaikan oleh pemuda-pemuda teater Banaspati ketika mereka performent di Pesantren Anshofa (24/04) kemarin. Acara rutin sebulan sekali itu diisi dengan debat Ilmiah "Poligami dalam pro dan kontra dan apresiasi seni. Termasuk penampilan seni teater yang dibawakan anak-anak putra dan puisi berantai yang santri-santri putri sangat ekspresif sekali membawakannya.  

Khusus reportase teater, beragam karakter—setidaknya ada tiga karakter yang ditonjolkan—karakter dalam pementasan teater ini.
 

Para aktor sedang berperan
           Beragam karakter—setidaknya ada tiga karakter yang ditonjolkan—karakter Banaspati, santri dan Balkadaba. Banaspati menjadi titik tautan pemegang kendali keburukan walau ia sendiri tidak mau dianggap sebagai sang terburuk. Banaspati ingin berteriak bahwa ia bisa menjadi cahaya, sinar terang. Seperti yang ia katakana “ Akulah yang terpendam, akulah yang menguatkan. Sinar terang, cahaya malam yang setiap hari meredup karena nafsu serakah manusia, karena kemalasan manusia, karena mbandelnya manusia, karena bodohnya manusia”. 


            Banaspati menganggap dirinya sebagai rembulan, juga ia menganggap dirinya titisan Sang Syang Semar dan sang Ratu adil “Akulah sang Badranaya juga akulah sang Pinandito” begitu ucapnya.  

Santri Alim (jamaludin)
            Banaspati disertai barisan para santri mencoba membuka kembali kesadaran Ibda’ binafsika yang semakin luntur, lemah, dan hampir-hampir semua manusia enggan menggalinya. Empat santri dengan karakter yang berbeda menambah retorik estetik dalam dialog mereka. Halik marwan sebagai santri alim. Jamaludin sebagai santri abangan. Arif Saifudin memerankan santri kejawen dan Imam Suyuti melakonkan santri melankolis. Empat komponen karakter alim, abangan, kejawen, dan melankolis menyatu dalam teriakan-teriakan yang menyanyat, memberontak dan seakan tidak terima dengan keadaan yang ada. Mereka membelot dan ingin menghentak kesadaran yang sudah terkubur serta terpendam “ Opo ae..opo ae. Kabeh podo mlarat. Podo rusak. Mlarat ilmu, mlarat pengetahuan, mlarat kemanusiaan dan mlarat kesadaran. Rusak kabehhhh..” seperti yang diteriakkan Jamaludin sebagai santri abangan. 

            Begitupun dengan santri yang lain. Santri alim (Halik Marwan) merongrong sedih, ia menangis, sedu dan tak kuasa menahan jeritan hatinya. Ia tidak mengucapkan apa-apa, ia hanya mengutip ayat-ayat al Qur’an “ Ihdinas shiratal mustaqim (Al-fatihah :06) Innallaha layugayyiru ma bikaumin hatta yugayyiru ma bianfusihim (Ar-Ra’d :11). Ia terjatuh dan terhentak. 

            Dialektika persuasive akhirnya bersambung satu sama lain. Giliran santri kejawen ia menari-nari dengan legokan kaki dan tangannya. Dengan mata membelalak dan menuding-nuding ia melantunkan sebuah gending, syair jawa dengan kewibawa’an dan keperkasaan “ Samareka den prayitno wani mati sajroning urip. Manungso urip ngunduh wohe pakertine dewe-dewe”. Setelah ia berlantun, ia tidak bergeming, tidak bergerak, mematung. Sedang iringan tabuh terus berbunyi tiada henti. Mengikuti ritme dan irama gerak para actor yang berperan. 
Santri Melankolis (Imam Suyuti)

            Dung, teeek, dung, teeeek, dung teeeeek, dung teeek


            Dung teeek teeeek dung dungggg
            Dunggg dunggg dunggg teeek teeek tekkkk

            Zaujaati anti habibati anti..wa mahma kana mahma soroooo anti habibtai anti” santri melankolis (Imam Suyuti) bersenandung dengan lagu arab. Ia ingin mengajak rehat sejenak dengan menikmati keindahan lagu sebagai penawar hati, penghibur lara ketika kesadaran ibda’ binafsika semakin mati. “Sudah..sudah, jangan marah-marah terus. Marilah kita menikmati keindahan syair dan lagu sebagai obat hati, agar kita tidak strees dan gundah” begitulah kira-kira ia berpesan. 

Santri Kejawen (Arif Saifuddin)
            Teater sederhana ini diiring musikalisasi lagu Perahu nuh, Ya ampun karya Emha Ainun Nadjib dan gending kumbang-kumbang kacang konco tani dari Cs Sanggar Buana. Dengan tidak meninggalkan tabuh manual walaupun hanya dengan galon. Terima kasih buat Mas Ali Adzim.

            Ending teater Banaspati ini ditutup dengan hadirnya sang Balkadaba (Kang Jamal) sebagai penolong, pembimbing bahwa jangan kalian menjadi barisan Sang Banaspati. Balkadaba mengingatkan “ ingatlah apa-apa yang kalian ucapkan, yang kalian pesankan. Agar kalian tidak menjadi kaburo maktan indallahi antakulu malataf’alun (As-shof :02). Balkadaba bertubuh jangkung memakai jubah putih memanjang sampai ke lutut.

            Semoga sendi kehidupan kita selalu dimulai dengan kesadaran diri yang ikhlas, setia dan patuh. Orang tidak harus pintar selagi ia setia dengan dirinya sendiri. Teater adalah cermin bagi manusia tatkala ia sudah kehilangan cermin kepribadiaanya. Ia hadir untuk mengajak dan belajar pada kesetiaan diri. Inilah kita inilah saya dan inilah kamu.  Wallahu ‘alam. (A'and) 

Secrep Teater

Sang Banaspati ber-ritual

Iringan musik masuk, musik ritual ‘Ya Ampun’.

Bersamaan dengan itu empat tokoh memasuki panggung sembari ‘berjoget’ menyesuaikan music itu. Suasana hening, khusyuk, hampa, sepi (penonton harus terkena propaganda yang diciptakan empat tokoh ini)

Empat tokoh itu adalah para santri yang mempunyai karakteristik serta sifat yang berbeda-beda. Santri alim, santri abangan, santri kejawen, dan santri melankolis.
  
Segment 2
Terjadi dialog diantara mereka
Salim (santri alim) : (dia membuka lembar-demi lembar al Qur’an yang ia genggam, wajahnya layu, sedih, raut mukanya berat—menyimpan goncangan-goncangan hidup. Ia terpejam dan menangis. Ia membaca ayat al Qur’an—surat al fatihah : 6, Ar Ra’d :11.
Saringan (santri abangan) : (dengan wajah merah padam, ia marah kepada semua orang, beberapa kali menghela nafas, ia berteriak ) opo ae…opo ae. Kabeh podo rusak, podo mlarat. Mlarat ilmu, mlarat kemanusiaan, mlarat pengetahuan dan mlarat kesadaran.
Sawen (santri kejawen) : Semareka den prayitnowani mati sajroning urip. Manugso urip ngunduh wohe pakertine dhewe-dhewe.
Satalis (santri melankolis) : Nakojboca nakojmaka, tunedil sedeya jodeya. Nakojbola nakojdola muskora kediya jodeya. Tuhitu tuhecaya tuheyapena paraya, orekucna janoo pasahitnami janoo oo. Tujme rabdik tahe yara mekyakarooo….
Alunan music masuk dan semua tokoh masuk ke dalam alunan music itu (music ritual Shalatullah ‘perahu Nuh’) dan muncul ke dalam panggung Tokoh sentral Banaspati. Banaspati ikut menyatu dalam music ritual. Perlahan namun pasti, Banaspati flay dengan music itu. begitu pun dengan empat santri tadi.  


Banaspati dan Barisannya memanggil arwah Balkadaba

Banaspati berteriak dan marah
Banaspati melihat Balkadaba datang

Sang Balkadaba

Santri Alim (Halik) menari