Ibda’ Binafsika
yang mati, mati dan mati
Ibda’ Binafsika. Seperti itulah yang pernah diajarkan rasulullah
kepada umatnya akan pentingnya kesadaran diri dalam melakukan kebaikan sebelum
kita menyeru pada orang lain untuk berbuat kebaikan. Subtansi yang terkandung
adalah bagaimana kita menjadi contoh, uswatun hasanah dalam bertindak tanduk
serta kebaikan yang kita seru menjadi compatible dengan apa yang kita lakukan. Antara
ucapan dan prbuatan selaras, berkorelasi.
Itulah yang disampaikan oleh pemuda-pemuda teater Banaspati ketika
mereka performent di Pesantren Anshofa (24/04) kemarin. Acara rutin sebulan sekali itu diisi dengan debat Ilmiah "Poligami dalam pro dan kontra dan apresiasi seni. Termasuk penampilan seni teater yang dibawakan anak-anak putra dan puisi berantai yang santri-santri putri sangat ekspresif sekali membawakannya.
Khusus reportase teater, beragam karakter—setidaknya
ada tiga karakter yang ditonjolkan—karakter dalam pementasan teater ini.
Para aktor sedang berperan |
Beragam
karakter—setidaknya ada tiga karakter yang ditonjolkan—karakter Banaspati,
santri dan Balkadaba. Banaspati menjadi titik tautan pemegang kendali keburukan
walau ia sendiri tidak mau dianggap sebagai sang terburuk. Banaspati ingin
berteriak bahwa ia bisa menjadi cahaya, sinar terang. Seperti yang ia katakana “
Akulah yang terpendam, akulah yang menguatkan. Sinar terang, cahaya malam
yang setiap hari meredup karena nafsu serakah manusia, karena kemalasan
manusia, karena mbandelnya manusia, karena bodohnya manusia”.
Banaspati menganggap dirinya sebagai
rembulan, juga ia menganggap dirinya titisan Sang Syang Semar dan sang Ratu
adil “Akulah sang Badranaya juga akulah sang Pinandito” begitu ucapnya.
Santri Alim (jamaludin) |
Banaspati disertai barisan para
santri mencoba membuka kembali kesadaran Ibda’ binafsika yang semakin luntur,
lemah, dan hampir-hampir semua manusia enggan menggalinya. Empat santri dengan
karakter yang berbeda menambah retorik estetik dalam dialog mereka. Halik marwan
sebagai santri alim. Jamaludin sebagai santri abangan. Arif Saifudin memerankan
santri kejawen dan Imam Suyuti melakonkan santri melankolis. Empat komponen
karakter alim, abangan, kejawen, dan melankolis menyatu dalam teriakan-teriakan
yang menyanyat, memberontak dan seakan tidak terima dengan keadaan yang ada.
Mereka membelot dan ingin menghentak kesadaran yang sudah terkubur serta
terpendam “ Opo ae..opo ae. Kabeh podo mlarat. Podo rusak. Mlarat ilmu,
mlarat pengetahuan, mlarat kemanusiaan dan mlarat kesadaran. Rusak kabehhhh..” seperti
yang diteriakkan Jamaludin sebagai santri abangan.
Begitupun dengan santri yang lain.
Santri alim (Halik Marwan) merongrong sedih, ia menangis, sedu dan tak kuasa
menahan jeritan hatinya. Ia tidak mengucapkan apa-apa, ia hanya mengutip
ayat-ayat al Qur’an “ Ihdinas shiratal mustaqim (Al-fatihah :06) Innallaha
layugayyiru ma bikaumin hatta yugayyiru ma bianfusihim (Ar-Ra’d :11). Ia terjatuh
dan terhentak.
Dialektika persuasive akhirnya
bersambung satu sama lain. Giliran santri kejawen ia menari-nari dengan legokan
kaki dan tangannya. Dengan mata membelalak dan menuding-nuding ia melantunkan
sebuah gending, syair jawa dengan kewibawa’an dan keperkasaan “ Samareka
den prayitno wani mati sajroning urip. Manungso urip ngunduh wohe pakertine
dewe-dewe”. Setelah ia berlantun, ia tidak bergeming, tidak bergerak,
mematung. Sedang iringan tabuh terus berbunyi tiada henti. Mengikuti ritme
dan irama gerak para actor yang berperan.
Santri Melankolis (Imam Suyuti) |
Dung, teeek, dung, teeeek, dung
teeeeek, dung teeek
Dung teeek teeeek dung dungggg
Dunggg dunggg dunggg teeek teeek
tekkkk
“ Zaujaati anti habibati anti..wa
mahma kana mahma soroooo anti habibtai anti” santri melankolis (Imam Suyuti)
bersenandung dengan lagu arab. Ia ingin mengajak rehat sejenak dengan menikmati
keindahan lagu sebagai penawar hati, penghibur lara ketika kesadaran ibda’
binafsika semakin mati. “Sudah..sudah, jangan marah-marah terus. Marilah kita
menikmati keindahan syair dan lagu sebagai obat hati, agar kita tidak strees
dan gundah” begitulah kira-kira ia berpesan.
Santri Kejawen (Arif Saifuddin) |
Teater sederhana ini diiring
musikalisasi lagu Perahu nuh, Ya ampun karya Emha Ainun Nadjib dan gending
kumbang-kumbang kacang konco tani dari Cs Sanggar Buana. Dengan tidak
meninggalkan tabuh manual walaupun hanya dengan galon. Terima kasih buat Mas
Ali Adzim.
Ending teater Banaspati ini ditutup
dengan hadirnya sang Balkadaba (Kang Jamal) sebagai penolong, pembimbing bahwa
jangan kalian menjadi barisan Sang Banaspati. Balkadaba mengingatkan “ ingatlah
apa-apa yang kalian ucapkan, yang kalian pesankan. Agar kalian tidak menjadi
kaburo maktan indallahi antakulu malataf’alun (As-shof :02). Balkadaba bertubuh jangkung memakai jubah putih memanjang sampai ke lutut.
Semoga sendi kehidupan kita selalu
dimulai dengan kesadaran diri yang ikhlas, setia dan patuh. Orang tidak harus
pintar selagi ia setia dengan dirinya sendiri. Teater adalah cermin bagi manusia tatkala ia sudah kehilangan cermin kepribadiaanya. Ia hadir untuk mengajak dan belajar pada kesetiaan diri. Inilah kita inilah saya dan inilah kamu. Wallahu ‘alam. (A'and)
Secrep Teater
Sang Banaspati ber-ritual |
Iringan musik masuk, musik ritual ‘Ya Ampun’.
Bersamaan dengan itu empat tokoh memasuki panggung sembari
‘berjoget’ menyesuaikan music itu. Suasana hening, khusyuk, hampa, sepi
(penonton harus terkena propaganda yang diciptakan empat tokoh ini)
Empat tokoh itu adalah para santri yang mempunyai karakteristik
serta sifat yang berbeda-beda. Santri alim, santri abangan, santri kejawen, dan
santri melankolis.
Segment 2
Terjadi dialog
diantara mereka
Salim (santri alim) : (dia membuka lembar-demi lembar al Qur’an yang ia genggam,
wajahnya layu, sedih, raut mukanya berat—menyimpan goncangan-goncangan hidup.
Ia terpejam dan menangis. Ia membaca ayat al Qur’an—surat al fatihah : 6, Ar
Ra’d :11.
Saringan (santri abangan) : (dengan wajah merah padam, ia marah kepada semua orang, beberapa
kali menghela nafas, ia berteriak ) opo ae…opo ae. Kabeh podo rusak, podo
mlarat. Mlarat ilmu, mlarat kemanusiaan, mlarat pengetahuan dan mlarat kesadaran.
Sawen (santri kejawen) : Semareka den prayitnowani mati sajroning urip. Manugso urip
ngunduh wohe pakertine dhewe-dhewe.
Satalis (santri melankolis) : Nakojboca nakojmaka, tunedil sedeya jodeya.
Nakojbola nakojdola muskora kediya jodeya. Tuhitu tuhecaya tuheyapena paraya,
orekucna janoo pasahitnami janoo oo. Tujme rabdik tahe yara mekyakarooo….
Alunan music masuk dan semua tokoh masuk ke dalam alunan music itu (music
ritual Shalatullah ‘perahu Nuh’) dan muncul ke dalam panggung Tokoh sentral
Banaspati. Banaspati ikut menyatu dalam music ritual. Perlahan namun pasti,
Banaspati flay dengan music itu. begitu pun dengan empat santri tadi.
Banaspati dan Barisannya memanggil arwah Balkadaba |
Banaspati berteriak dan marah |
Banaspati melihat Balkadaba datang |
Sang Balkadaba |
Santri Alim (Halik) menari |