Senin, 03 Oktober 2011

Chairil Anwar

Chairil Anwar, lahir di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922, dan meninggal tanggal 28 April 1949 di Jakarta. Ayahnya, Toeloes, berasal dari Nagari Taeh Baruah, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Dia menjadi Pamongpraja di Medan, dan pada zaman revolusi sempat menjadi Bupati Indragiri, Karesidenan Riau.

Sedang ibunya, Saleha, berasal dari Situjuh Lima Nagari, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat.
Semasa kecil di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini memberi kesan yang mendalam pada kehidupan Chairil. Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling dipuja Chairil. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar.

Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Dan Chairil melukiskan kedukaannya dalam sajak berjudul “Nisan.”
Perang Dunia II dan masuknya Jepang, telah membuat keadaan jadi tidak menentu. Chairil pun terbelit masalah keuangan, setelah tidak mendapat kiriman dari ayahnya.

Akhirnya ia putus sekolah. Saat putus sekolah itulah Chairil berkenalan dengan dunia sastra.
Chairil mengisi hari-harinya dengan membaca karya-karya pengarang ternama, seperti : Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J.J. Slauerhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini kemudian sangat mempengaruhi tulisan-tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi tatanan kesusasteraan Indonesia.

Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra, setelah pemuatan tulisannya di “Majalah Nisan” pada tahun 1942. Ketika itu usianya dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis ketika itu, berbicara tentang kematian. Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga menjiplak; dikompilasi dalam tiga buku, yakni :
Deru Campur Debu (1949);
Kerikil Tajam & Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan
Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi bersama Asrul Sani dan Rivai Apin).

Chairil Anwar adalah contoh yang baik dalam hal totalitas dalam berkesenian. Jika Sanusi Pane, Amir Hamzah, Rustam Effendi, dan M. Yamin hanya menjadikan kegiatan menulis puisi sebagai kegiatan sampingan – di samping tugas keseharian mereka sebagai redaktur surat kabar, politikus, atau lainnya – Chairil Anwar semata-mata hidup untuk puisi dan dari puisi.

Di kalangan seniman waktu itu, Chairil mulai sering disebut-sebut sebagai penyair muda yang memperkenalkan gagasan-gagasan baru sekitar puisi. Gaya bersajak dan elan vital dalam puisi-puisinya yang bercorak individualistis dan mem-barat membedakannya dengan kecenderungan puisi-puisi yang dilahirkan oleh generasi Poedjangga Baroe.

Bukan secara kebetulan, jika sajak-sajak Chairil memiliki nuansa individualistis yang kental. Pergumulan total Chairil dengan kesenian, agaknya telah membuat sang penyair terjerembab dalam ritus pencarian filosofis. Semacam tertuntun pada sebuah kredo, bahwa di dalam kesenian, berfilsafat menjadi suatu keniscayaan.

Terutama karena berkesenian mengharuskan sang seniman berhadapan dengan problem-problem tentang ketuhanan, kebebasan, idealisme, etika, rasa, dan berbagai permasalahan lainnya. Chairil Anwar yang dikenal sebagai ‘Binatang Jalang’, tap pelak lagi adalah salah seorang penyair terkemuka Indonesia.

Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan ‘45.
Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil.
Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tetapi dia meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusastraan di Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik untuk sikap yang sangat bersungguh-sungguh dalam menggeluti kesenian. Vitalitas puitis Chairil sama sekali tidak berimbang dengan kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang tak beraturan. Sebelum menginjak usia 27 tahun, dia sudah terkena sejumlah penyakit.

Meskipun menganut pola kehidupan yang bohemian, Chairil akhirnya menikah dengan Hapsah. Namun sayangnya, rumah tangga mereka tak berumur panjang. Karena kesulitan ekonomi dan gaya hidup Chairil yang tak juga berubah, Hapsah akhirnya memutuskan untuk bercerai, dan putri tunggal mereka, Evawani Alissa, yang sa’at itu berumur 7 bulan dibesarkan oleh Hapsah.

Tak lama setelah perceraiannya, pada 28 April 1949 Chairil Anwar menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dia dimakamkan di Pemakaman Karet Bivak, Jakarta. Hari wafat Chairil, biasanya selalu diperingati sebagai “Hari Chairil Anwar.”

Namun, setelah 62 tahun dia wafat, apakah Chairil Anwar masih ada dalam kenangan kita, terutama para seniman, khususnya yang merasa dirinya ‘penyair’? Hal ini perlu dipertanyakan, untuk melihat sebesar mana kita ‘menghargai dan mengapresiasi orang lain’, bukan sekadar menghargai dan ‘mengapresiasi diri sendiri’ atau ‘kelompok sendiri’. Bertahun-tahun lampau, Hari Chairil Anwar selalu diperingati dengan sangat antusias, walaupun hanya sebatas ‘Lomba Membaca Puisi’, yang hadiahnya juga tidak seberapa. Pada perlombaan-perlombaan yang diselenggarakan, selalu mendapat perhatian dan apresiasi yang membesarkan hati.

Memang, lomba membaca puisi bukanlah wadah untuk melahirkan ‘penyair’, akan tetapi arena lomba membaca puisi adalah awal perkenalan para peserta dengan ‘dunia sastra’ yang asing dan terasing, di mana sastra tidak dipaparkan secara verbal, tetapi faktual. Berbeda dengan sastra di sekolah, yang biasanya hanya diajarkan secara verbal dan selintas.

Tentang Chairil misalnya. Yang diinformasikan hanya namanya saja, lalu beberapa buku karyanya, dan beberapa sajaknya yang cukup dikenal, seperti “‘Aku,” dan “Krawang Bekasi.” Sangat verbal.

Murid tidak dipaparkan dengan (misalnya) gambar/photo Chairil Anwar, dan tidak diperlihatkan buku-buku karya Chairil Anwar. Yang jelas, sama sekali tak ada ‘penerokaan @ pendalaman’. Itulah agaknya yang disebut sebagai ‘pengajaran sastra yang kering’.

Hal ini saya alami di SMP, pada pertengahan tahun 60-an. Mungkin sekarang keadaannya telah banyak berubah.

Bicara tentang Hari Chairil Anwar, kalaupun ada peringatan Hari Chairil Anwar, mestinya telah diselenggarakan pada minggu-minggu yang lalu. Tetapi saya tidak mendengar, ada pihak-pihak yang menyelenggarakan peringatan Hari Chairil Anwar, baik itu oleh sanggar kesenian maupun oleh komunitas sastrawan. Demikian pula oleh lembaga resmi kesenian seperti Dewan Kesenian Kota Tanjungpinang dan Dewan Kesenian Provinsi Kepulauan Riau.

Memang, yang tidak saya ketahui, bukan berarti tidak [pernah] ada!
Kalau ternyata ada orang perorangan, kelompok atau komunitas yang menyelenggarakan peringatan Hari Chairil Anwar, maka itu sungguh layak dibanggakan.

Tetapi, dengan tidak diselenggarakannya Hari Chairil Anwar, menjadi jelas bahwa ‘pamor Chairil Anwar mulai memudar’, setelah 62 tahun dia perlaya.

Apakah benar demikian? Jawabnya ada dalam diri para seniman @ penyair, yang tampaknya hanya sibuk mematut-matut dirinya sendiri, tetapi lupa untuk belajar menghargai orang lain. Wallahu’alam bissawab***


Bingung


Akhir-akhir ini aku dihadapkan dengan sebuah masalah batin, dalam bahasa psikologi dihadapkan pada masa dimana remaja mulai menghadapi kebingungan akan dirinya sendiri dan pencarian tentang siapa dirinya. ini adalah sebuah kewajaran. Semua remaja dipastikan merasakan hal demikian sebagai pperkembangan motoriknya. Namun, pertanyaannya, sampai kapan remaja harus merasakan hal demikian? Sampai masa keremajaannya sudah matang kah, atau bahkan dia harus merasakannya sampai bertahun-tahun selama hidupnya.
Tulisan ini bukan ntuk menjawab pertanyaan permasalahan diatas. Bukan bahkan tidak sama sekali.  Pembahasan diatas hanyalah sebagai interpretasi dari perasaan yang aku harasakan beberapa pekan hari ini.
Aku adalah orang yang jika berbicara tentang masalah hati, aku pasti tidak akan tahan dan aku akan kalah. Permasalahn ini adalah permasalahan yang paling krusial yang sering aku hadapi. Berubah-rubahnya perasaan, hilangnya himmah, terbukanya sifat dengki, dan lain-lain. Kadang suatu waktu aku merasa bersemangat, kadang suatu waktu pula aku drop out.
Aku tidak bisa mengontrol kekuatan hati. Aku hanya bisa menggunakan akal sebagai kontrol hati, dan kadang itupun tidak berhasil. Rasa yang timbul dalam hati sangatlah sulit diungkapkan dalam suatu tulisan. Pun kalau ada itu adalah seorang sastrawan dengan kualitas sastranya yang yang hebat.
Ah.. sulit sekali rasanya mengungkapkannya kawan, , ,
07 Desember 2010