Chairil Anwar, lahir di Medan,
Sumatera Utara pada 26 Juli 1922, dan meninggal tanggal 28 April 1949 di
Jakarta. Ayahnya, Toeloes, berasal dari Nagari Taeh Baruah, Kabupaten Limapuluh
Kota, Sumatera Barat. Dia menjadi Pamongpraja di Medan, dan pada zaman revolusi
sempat menjadi Bupati Indragiri, Karesidenan Riau.
Sedang ibunya, Saleha, berasal dari
Situjuh Lima Nagari, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat.
Semasa kecil di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini memberi kesan yang mendalam pada kehidupan Chairil. Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling dipuja Chairil. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar.
Semasa kecil di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini memberi kesan yang mendalam pada kehidupan Chairil. Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling dipuja Chairil. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar.
Dalam hidupnya yang amat jarang
berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia.
Dan Chairil melukiskan kedukaannya dalam sajak berjudul “Nisan.”
Perang Dunia II dan masuknya Jepang, telah membuat keadaan jadi tidak menentu. Chairil pun terbelit masalah keuangan, setelah tidak mendapat kiriman dari ayahnya.
Perang Dunia II dan masuknya Jepang, telah membuat keadaan jadi tidak menentu. Chairil pun terbelit masalah keuangan, setelah tidak mendapat kiriman dari ayahnya.
Akhirnya ia putus sekolah. Saat
putus sekolah itulah Chairil berkenalan dengan dunia sastra.
Chairil mengisi hari-harinya dengan membaca karya-karya pengarang ternama, seperti : Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J.J. Slauerhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini kemudian sangat mempengaruhi tulisan-tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi tatanan kesusasteraan Indonesia.
Chairil mengisi hari-harinya dengan membaca karya-karya pengarang ternama, seperti : Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J.J. Slauerhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini kemudian sangat mempengaruhi tulisan-tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi tatanan kesusasteraan Indonesia.
Nama Chairil mulai terkenal dalam
dunia sastra, setelah pemuatan tulisannya di “Majalah Nisan” pada tahun 1942.
Ketika itu usianya dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis
ketika itu, berbicara tentang kematian. Semua tulisannya yang asli, modifikasi,
atau yang diduga menjiplak; dikompilasi dalam tiga buku, yakni :
Deru Campur Debu (1949);
Kerikil Tajam & Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan
Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi bersama Asrul Sani dan Rivai Apin).
Deru Campur Debu (1949);
Kerikil Tajam & Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan
Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi bersama Asrul Sani dan Rivai Apin).
Chairil Anwar adalah contoh yang
baik dalam hal totalitas dalam berkesenian. Jika Sanusi Pane, Amir Hamzah,
Rustam Effendi, dan M. Yamin hanya menjadikan kegiatan menulis puisi sebagai
kegiatan sampingan – di samping tugas keseharian mereka sebagai redaktur surat
kabar, politikus, atau lainnya – Chairil Anwar semata-mata hidup untuk puisi
dan dari puisi.
Di kalangan seniman waktu itu,
Chairil mulai sering disebut-sebut sebagai penyair muda yang memperkenalkan
gagasan-gagasan baru sekitar puisi. Gaya bersajak dan elan vital dalam
puisi-puisinya yang bercorak individualistis dan mem-barat membedakannya dengan
kecenderungan puisi-puisi yang dilahirkan oleh generasi Poedjangga Baroe.
Bukan secara kebetulan, jika
sajak-sajak Chairil memiliki nuansa individualistis yang kental. Pergumulan
total Chairil dengan kesenian, agaknya telah membuat sang penyair terjerembab
dalam ritus pencarian filosofis. Semacam tertuntun pada sebuah kredo, bahwa di
dalam kesenian, berfilsafat menjadi suatu keniscayaan.
Terutama karena berkesenian
mengharuskan sang seniman berhadapan dengan problem-problem tentang ketuhanan,
kebebasan, idealisme, etika, rasa, dan berbagai permasalahan lainnya. Chairil
Anwar yang dikenal sebagai ‘Binatang Jalang’, tap pelak lagi adalah salah
seorang penyair terkemuka Indonesia.
Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin,
ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan ‘45.
Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil.
Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tetapi dia meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusastraan di Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik untuk sikap yang sangat bersungguh-sungguh dalam menggeluti kesenian. Vitalitas puitis Chairil sama sekali tidak berimbang dengan kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang tak beraturan. Sebelum menginjak usia 27 tahun, dia sudah terkena sejumlah penyakit.
Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil.
Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tetapi dia meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusastraan di Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik untuk sikap yang sangat bersungguh-sungguh dalam menggeluti kesenian. Vitalitas puitis Chairil sama sekali tidak berimbang dengan kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang tak beraturan. Sebelum menginjak usia 27 tahun, dia sudah terkena sejumlah penyakit.
Meskipun menganut pola kehidupan
yang bohemian, Chairil akhirnya menikah dengan Hapsah. Namun sayangnya, rumah
tangga mereka tak berumur panjang. Karena kesulitan ekonomi dan gaya hidup
Chairil yang tak juga berubah, Hapsah akhirnya memutuskan untuk bercerai, dan
putri tunggal mereka, Evawani Alissa, yang sa’at itu berumur 7 bulan dibesarkan
oleh Hapsah.
Tak lama setelah perceraiannya, pada
28 April 1949 Chairil Anwar menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dia
dimakamkan di Pemakaman Karet Bivak, Jakarta. Hari wafat Chairil, biasanya
selalu diperingati sebagai “Hari Chairil Anwar.”
Namun, setelah 62 tahun dia wafat,
apakah Chairil Anwar masih ada dalam kenangan kita, terutama para seniman,
khususnya yang merasa dirinya ‘penyair’? Hal ini perlu dipertanyakan, untuk
melihat sebesar mana kita ‘menghargai dan mengapresiasi orang lain’, bukan
sekadar menghargai dan ‘mengapresiasi diri sendiri’ atau ‘kelompok sendiri’.
Bertahun-tahun lampau, Hari Chairil Anwar selalu diperingati dengan sangat
antusias, walaupun hanya sebatas ‘Lomba Membaca Puisi’, yang hadiahnya juga
tidak seberapa. Pada perlombaan-perlombaan yang diselenggarakan, selalu
mendapat perhatian dan apresiasi yang membesarkan hati.
Memang, lomba membaca puisi bukanlah
wadah untuk melahirkan ‘penyair’, akan tetapi arena lomba membaca puisi adalah
awal perkenalan para peserta dengan ‘dunia sastra’ yang asing dan terasing, di
mana sastra tidak dipaparkan secara verbal, tetapi faktual. Berbeda dengan
sastra di sekolah, yang biasanya hanya diajarkan secara verbal dan selintas.
Tentang Chairil misalnya. Yang
diinformasikan hanya namanya saja, lalu beberapa buku karyanya, dan beberapa
sajaknya yang cukup dikenal, seperti “‘Aku,” dan “Krawang Bekasi.” Sangat
verbal.
Murid tidak dipaparkan dengan
(misalnya) gambar/photo Chairil Anwar, dan tidak diperlihatkan buku-buku karya
Chairil Anwar. Yang jelas, sama sekali tak ada ‘penerokaan @ pendalaman’.
Itulah agaknya yang disebut sebagai ‘pengajaran sastra yang kering’.
Hal ini saya alami di SMP, pada
pertengahan tahun 60-an. Mungkin sekarang keadaannya telah banyak berubah.
Bicara tentang Hari Chairil Anwar,
kalaupun ada peringatan Hari Chairil Anwar, mestinya telah diselenggarakan pada
minggu-minggu yang lalu. Tetapi saya tidak mendengar, ada pihak-pihak yang
menyelenggarakan peringatan Hari Chairil Anwar, baik itu oleh sanggar kesenian
maupun oleh komunitas sastrawan. Demikian pula oleh lembaga resmi kesenian
seperti Dewan Kesenian Kota Tanjungpinang dan Dewan Kesenian Provinsi Kepulauan
Riau.
Memang, yang tidak saya ketahui,
bukan berarti tidak [pernah] ada!
Kalau ternyata ada orang perorangan, kelompok atau komunitas yang menyelenggarakan peringatan Hari Chairil Anwar, maka itu sungguh layak dibanggakan.
Kalau ternyata ada orang perorangan, kelompok atau komunitas yang menyelenggarakan peringatan Hari Chairil Anwar, maka itu sungguh layak dibanggakan.
Tetapi, dengan tidak
diselenggarakannya Hari Chairil Anwar, menjadi jelas bahwa ‘pamor Chairil Anwar
mulai memudar’, setelah 62 tahun dia perlaya.
Apakah benar demikian? Jawabnya ada
dalam diri para seniman @ penyair, yang tampaknya hanya sibuk mematut-matut
dirinya sendiri, tetapi lupa untuk belajar menghargai orang lain. Wallahu’alam
bissawab***