Rabu, 21 September 2011

Tidak ada yang berhak menilai


Menjadi yang terbaik adalah impian banyak orang walau dalam persepsi yang berbeda. Dalam setiap komunitas ada satu yang dianggap nuwe’i dan kuoso dan dia adalah pemegang kendali atau yang disebut dengan ketua komunitas atau ketua geng. Dalam pembelajaran di kelas, ada satu atau dua orang yang minteri diantara yang lain. Dalam perlombaan, juga pastinya ada satu dua, bahkan tiga orang yang menjadi pemenang kompetensi. Itu wajar dalam kehidupan. Menjadi  yang terbaik pastinya memberi sebuah efek kejiwaan mendalam bagi sang empunya keinginan. Dia akan di pandang, dipuji, ataupun dicaci maki oleh beragam orang karena yang terbaik sudah menjadi miliknya. Eksistensi keberadaannya akan tampak. Orang sudah tidak menganggapp sebelah mata, kata-katanya diikuti, perintahnya ditaati, larangannya dijalankan, dan ide-idenya diperhitungkaan. Dia sudah tidak menghamba dengan “nilai”, justru “nilai” itulah yang menghamba padanya. Karena sang terbaik  telah muncul sebagai pemenang.
Menjadi yang terburuk bukanlah dambaan semua orang. Efek yang dirasakan sangat tidak menguntungkan.  Menjadi momok setiap orang agar tidak mendapatkannya. Dalam kehidupan, yang terburuk tidak mendapat tempat dalam skala komunitas, hanya dianggap pelengkap saja. Kata-kata dan pendapatnya seakan berlalu ditelinga saja. “nilai” seakan menjauh darinya karena sang teburuk tenggelam dalam keterburukannya.
Lalu siapakah yang menilai dan mengklaim dia yang terbaik dan terburuk?
Tuhankah, manusiakah, diri sendiri kah?
Tuhan sendiri telah menetapkan bahwa semua manusia hakikatnya sama, laki-laki dan perempuan sama. Tingkat ketakwaannyalah yang membedakannya.
Penilaian manusia tidak selalu benar. Bermacam-macam patokan yang digunakan, hasil yang diputuskan pun menilai pro dan kontra. Subjektifitas dan objektifitas menjadi perdebatan dan pertimbangan.
Kesadaran akan diri sendiri  hanya milik mereka yang benar-benar menggunakan akal dan hatinya. Walau sudah berkali-kali disindir dengan Al-qur’an, banyak yang masih belum sadar. Apakah kalian berfikir, berakal, mengingat adalah bahasa Kitab yang menyindir mereka. Hanya manusia tertentu yang mentadaburi sindiran Tuhan. Selainnya, tidak mau ambil pusing dan cenderung acuh tak acuh.
 Lalu siapakah yang menilai dan mengklaim dia yang terbaik dan terburuk?
Malang, 30 desember 2010

Yang kanan yang bahagia


            Diam-diam aku menyimpan satu firasat buruk tentang buramnya perjalanan hidupku ke depan. Entah, aku tak tahu dan hampir saja tertipu. Seakan tergambar dengan jelas bahwa di depan sana, aku terhimpit asa, merangkak mencari keberadaan Tuhanku yang diam-diam meninggalkan diriku. Dunia ini tiba-tiba menjadi sangat berbeda dengan dunia yang kulihat sekarang, penuh kebusukan, kemunafikan semua bertopeng dan memakai tabir kepalsuan untuk melindungi pencitraaan dan kebrorokan dirinya.  ya Allah..bukannya aku merasa diriku yang paling alim dan suci, melainkan aku juga diam-diam memasuki topeng dan tabir itu. Maka, aku berputus asa dari rahmadMu, dan terngiang-ngiang di fikiran tentang satu pertanyataanmu.
            Engkau mengatakan “ Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu”(Qs.Al-Waqiah;27),
            Lalu, kulihat disebelah kananku, kuraba dan kurasa serta ku cari kebenaran kata-kataMu itu, aku memasukinya, bergaul aku dengan mereka, bercanda, bertawa ria, berdialog dan mengakrabkan diri, bertahun-tahun aku di dunia ‘kanan’ ini, mereka adalah keluarga dan sahabat-sahabatku, aku menyatu dalam diri mereka dan diri mereka menyatu dalam diriku. Tapi tahukah Engkau[i], bahwa aku merasakan kebrorokan disini, aku tidak bahagia seperti yang Kau katakan, aku tidak berselera, aku ingin muntah dan muntab dengan keadaan semua ini. Dan diam-diam aku ingin bertemu denganMu, tak peduli aku mati seperti Musa As yang mati dan kau hidupkan kembali karena ingin bertemu denganMu, dan aku juga tak peduli jika kau turunkan ayat ‘wakallama Allahu “Aan” taklima”[ii] kepadaku.
Wadkur rabbaka Idza nasita….
Malang, 12 Septembar 2011


[i] maaf, aku memperolokMu dengan kata-kata ini seakan Kau tak tahu apa yang sedang ku fikirkan, padahal Kau tahu isi hati dan fikiranku
[ii] Musa As mendapatkan gelar “kalamullah” Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa a.s. merupakan keistimewaan Nabi Musa a.s., dan karena Nabi Musa a.s. disebut: Kalimullah sedang rasul-rasul yang lain mendapat wahyu dari Allah dengan perantaraan Jibril. Dalam pada itu Nabi Muhammad s.a.w. pernah berbicara secara langsung dengan Allah pada malam hari di waktu mi'raj.