Selasa, 23 Oktober 2012

Semua ada porsinya



 Wiridan atau yang biasa kita sebut dzikir itu baik, dan mulia sekali dihadapan Allah. Tapi wiridan itu bisa menjadi dhalim, berdosa, dan menyakitkan orang jika salah meletakkan pada sebuah hukum sosialitas dimana manusia berada. Jangan salahkan siapa-siapa, jika kepala anda benjol dilempar batu karena wiridan pada hari minggu ketika orang sekampung lagi kerja bakti.  Juga jangan merasa suudhon pada setiap orang, jika tiba-tiba orang disekeliling  tidak menyapa, tidak ngurus, bahkan antipati dengan keberadaan anda, karena disaat orang sekampung gegap gempita menyiapkan acara agustusan, anda kok malah ngeluyur rekreasi dengan sanak family anda.
            Al-qur’an itu kalam mulia, firman Tuhan, pedoman hidup, cahaya hati. Tapi itu akan berbalik menjadi buruk jika lagi-lagi manusianya salah menempatkan dialektika Al-qur’an pada tempat yang sesungguhnya. Rasulullah benar-benar mengapresiasi terhadap umatnya yang selalu menempatkan Al-qur’an pada setiap langkahnya, gerak-geriknya. Kana Khuluquhul qur’an-Rasulullah itu akhlaknya qur’ani, kita pun sesungguhnya juga bisa berakhlak qur’ani. Implementasinya tidak hanya terdapat pada lincahnya gerah lidah dalam memainkan orkestrasi ayat-ayat Al-qur’an. Bukan hanya lembutnya bibir kita dalam memainkan estetika huruf-huruf hija’iyah. Saya yakin, setiap huruf hija’iyah-alif, ba’ sampai ya’-mempunyai filosofi, hikayat, hikmah yang sangat mendalam. Karena keterbatasan ilmu dan cara berfikir saja yang mungkin sampai saat ini kita saya belum menemukan apa makna dibalik itu semua. Dan intinya, pergulatan apapun saja didunia ini dari segi teologi, social, hukum, undang-undang, politik dan apapun saja semua mengandung kebaikan kalau ditempatkan pada ruangnya.      
                Prinsip “kullu syai’in mustasnayat” masih berlaku, tidak saja hukum karma. Maka, manusia yang bijak adalah mereka yang mampu membaca kejujuran, membaca objektifitas di tengah topeng kemanusiaan yang dibuat-buat.

Semua ada porsinya



 Wiridan atau yang biasa kita sebut dzikir itu baik, dan mulia sekali dihadapan Allah. Tapi wiridan itu bisa menjadi dhalim, berdosa, dan menyakitkan orang jika salah meletakkan pada sebuah hukum sosialitas dimana manusia berada. Jangan salahkan siapa-siapa, jika kepala anda benjol dilempar batu karena wiridan pada hari minggu ketika orang sekampung lagi kerja bakti.  Juga jangan merasa suudhon pada setiap orang, jika tiba-tiba orang disekeliling  tidak menyapa, tidak ngurus, bahkan antipati dengan keberadaan anda, karena disaat orang sekampung gegap gempita menyiapkan acara agustusan, anda kok malah ngeluyur rekreasi dengan sanak family anda.
            Al-qur’an itu kalam mulia, firman Tuhan, pedoman hidup, cahaya hati. Tapi itu akan berbalik menjadi buruk jika lagi-lagi manusianya salah menempatkan dialektika Al-qur’an pada tempat yang sesungguhnya. Rasulullah benar-benar mengapresiasi terhadap umatnya yang selalu menempatkan Al-qur’an pada setiap langkahnya, gerak-geriknya. Kana Khuluquhul qur’an-Rasulullah itu akhlaknya qur’ani, kita pun sesungguhnya juga bisa berakhlak qur’ani. Implementasinya tidak hanya terdapat pada lincahnya gerah lidah dalam memainkan orkestrasi ayat-ayat Al-qur’an. Bukan hanya lembutnya bibir kita dalam memainkan estetika huruf-huruf hija’iyah. Saya yakin, setiap huruf hija’iyah-alif, ba’ sampai ya’-mempunyai filosofi, hikayat, hikmah yang sangat mendalam. Karena keterbatasan ilmu dan cara berfikir saja yang mungkin sampai saat ini kita saya belum menemukan apa makna dibalik itu semua. Dan intinya, pergulatan apapun saja didunia ini dari segi teologi, social, hukum, undang-undang, politik dan apapun saja semua mengandung kebaikan kalau ditempatkan pada ruangnya.      
                Prinsip “kullu syai’in mustasnayat” masih berlaku, tidak saja hukum karma. Maka, manusia yang bijak adalah mereka yang mampu membaca kejujuran, membaca objektifitas di tengah topeng kemanusiaan yang dibuat-buat.