Wiridan
atau yang biasa kita sebut dzikir itu baik, dan mulia sekali dihadapan Allah.
Tapi wiridan itu bisa menjadi dhalim, berdosa, dan menyakitkan orang jika salah
meletakkan pada sebuah hukum sosialitas dimana manusia berada. Jangan salahkan
siapa-siapa, jika kepala anda benjol dilempar batu karena wiridan pada hari
minggu ketika orang sekampung lagi kerja bakti.
Juga jangan merasa suudhon pada setiap orang, jika tiba-tiba orang
disekeliling tidak menyapa, tidak
ngurus, bahkan antipati dengan keberadaan anda, karena disaat orang sekampung
gegap gempita menyiapkan acara agustusan, anda kok malah ngeluyur rekreasi
dengan sanak family anda.
Al-qur’an itu kalam mulia, firman Tuhan, pedoman hidup,
cahaya hati. Tapi itu akan berbalik menjadi buruk jika lagi-lagi manusianya
salah menempatkan dialektika Al-qur’an pada tempat yang sesungguhnya.
Rasulullah benar-benar mengapresiasi terhadap umatnya yang selalu menempatkan
Al-qur’an pada setiap langkahnya, gerak-geriknya. Kana Khuluquhul qur’an-Rasulullah
itu akhlaknya qur’ani, kita pun sesungguhnya juga bisa berakhlak qur’ani. Implementasinya
tidak hanya terdapat pada lincahnya gerah lidah dalam memainkan orkestrasi
ayat-ayat Al-qur’an. Bukan hanya lembutnya bibir kita dalam memainkan estetika
huruf-huruf hija’iyah. Saya yakin, setiap huruf hija’iyah-alif, ba’ sampai
ya’-mempunyai filosofi, hikayat, hikmah yang sangat mendalam. Karena
keterbatasan ilmu dan cara berfikir saja yang mungkin sampai saat ini kita saya
belum menemukan apa makna dibalik itu semua. Dan intinya, pergulatan apapun
saja didunia ini dari segi teologi, social, hukum, undang-undang, politik dan
apapun saja semua mengandung kebaikan kalau ditempatkan pada ruangnya.
Prinsip “kullu syai’in mustasnayat” masih
berlaku, tidak saja hukum karma. Maka, manusia yang bijak adalah mereka yang
mampu membaca kejujuran, membaca objektifitas di tengah topeng kemanusiaan yang
dibuat-buat.